Setelah perbincangan terkait dengan kasus kematian Denandra Prahita kemarin, keempat pemuda tampan yang terdiri dari si kembar Jevan dan Eric, Narendra, serta Arashya kini memutuskan untuk berkumpul di suatu tempat untuk membahas kelanjutan semua ini. Mulai dari beberapa e-mail yang kerap kali mereka terima. Lalu disusul oleh 2 kasus kematian yang diyakini sebagai kasus pembunuhan yang tiba-tiba terjadi di sekolah mereka.
Ide untuk berkumpul ini sebenarnya dipelopori oleh Narendra karena dia sempat bilang kalau ada hal-hal penting yang harus dia bahas bersama yang lainnya dan semuanya masih berhubungan dengan 2 kasus kematian mendadak itu. Akhirnya, mereka putuskan untuk berkumpul di rumah Arashya. Mengingat si pemilik rumah ditinggal sendirian di rumah karena ayah dan ibunya harus pergi ke Australia untuk sebuah pertemuan.
Disinilah mereka sekarang, duduk melingkar di atas karpet yang disediakan di ruang tamu rumah Arashya. Tuan muda sudah menjamu tamunya dengan baik, bahkan dia sudah meminta pada bibi agar menyajikan minuman kesukaan mereka masing-masing.
“Jadi, sekarang gimana? Ada hal penting apa yang bikin kita harus kumpul kayak gini?” tanya Jevan memulai diskusi mereka hari ini.
“Gue agak heran sih, tadi setelah pulang sekolah si bibi langsung laporan ke gue tentang berita di koran. Gue ga terlalu dengerin juga, tapi mungkin kalian bisa lihat langsung ditumpukan koran yang ada di meja sana,” ucap Arashya sambil menunjuk pada tumpukan beberapa koran yang sengaja diletakkan di atas meja tak jauh dari tempat duduk mereka.
Jevan yang posisinya paling dekat, dengan berat hati mengulurkan tangannya untuk meraih koran-koran itu dan membaca banyak judul yang tertera. Namun, atensinya terfokus pada salah satu judul berita yang menurutnya lumayan membuat terkejut.
“Iya, berita itu benar. Tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah, ayah gue sempat bilang kalau pemerintah ada rencana untuk nutup sekolah kita, SMA 8 Puncak.” Narendra segera menyela sebelum Jevan mengatakannya.
Eric mengernyit heran, “rencana penutupan sekolah? Karena ada 2 kasus kematian kemarin itu?” tanyanya yang dibalas anggukan oleh Narendra.
“Sebentar. Sebelum ayah gue pergi ke Australia, beliau ga ada bilang apa-apa. Agak aneh, bukan? Biasanya kalau ada kabar kayak gini, pasti pemerintah pusat tahu,” ujar Arashya sambil menyeruput jus pir kesukaannya.
“Karena ini bukan putusan pemerintah pusat. Tapi cuma putusan dari pemerintah daerah dan itupun masih jadi bahan pertimbangan,” balas Narendra yang kini merebahkan tubuhnya di karpet.
Jevan membulatkan matanya terkejut, “terus kalau misalkan nantinya disetujui dan setelahnya sekolah kita ditutup gimana?” tanya Jevan tak terima.
Arashya bersikap santai seolah tak terjadi hal yang mengejutkan apapun. Dia mengulurkan tangannya untuk menepuk pundak Jevan pelan.
“Ya udah sih, Jev.. Kalau semisal sekolah memang ditutup, ikhlasin aja. Ga usah repot-repot belajar, kan?” kata Arashya dengan menampilkan smirk di wajah tampannya.
Narendra menepuk pelan dahinya, “sumpah! Gue ga habis pikir, kok bisa ya ada manusia kaya Arashya. Kelakuannya ga mencerminkan kalau dia anak pejabat,” ucap Narendra sambil menatap sinis ke arah Arashya.
Yang ditatap hanya bergidik ngeri, “bawa santai aja. Selama itu belum disetujui, kita masih bisa bantu polisi untuk mengungkap kasus ini. Setidaknya, kalau kita bisa selesaikan kasusnya dan ngasih bukti, pasti kita bisa meyakinkan pemerintah,” ucap Arashya memelan diakhir.
Eric menjentikkan jarinya setelah hanya diam dan melihat perdebatan tak berguna itu. “Kali ini gue setuju karena Arashya benar. Kita harus fokus pada tujuan utama kita, yaitu selesaikan kasusnya!” seru Eric semangat.
“Apa rencana kita setelah ini? Kita ga mungkin melangkah tanpa rencana. Kejadiannya makin hari makin aneh. Gue penasaran dimana si pembunuh itu bisa dapat racun itu, bukannya langka ya?” tanya Jevan membuat yang lainnya kembali berpikir.
“Gue juga punya pertanyaan yang sama tentang dimana dia dapat racun itu. Karena setahu gue, polonium bisa didapatkan di atmosfer sama tanah,” jawab Narendra.
“Singkatnya gini, polonium pasti bisa ditemukan di negara asalnya dengan cukup mudah. Nah, polonium sendiri asalnya dari Polandia. Kelanjutannya mungkin ada yang tahu?” tanya Eric menggantung ucapannya.
Arashya mengubah posisi duduknya menjadi tegak dan serius. “Racun kaya gitu menurut gue ga akan diperjualbelikan secara bebas. Kalau menurut gue pribadi, kemungkinan si pembunuh pernah pergi ke Polandia dan beli racun itu disana, atau kemungkinan kedua dia punya orang dalam untuk bantu dia buat impor racun ini,” kata Arashya mengejutkan Narendra dan Jevan.
“Tapi ga menutup kemungkinan kalau dia memang berasal dari sana? Atau mungkin pernah ke sana dan menghabiskan beberapa waktunya di negara itu, kan?” tanya Jevan yang membuat semuanya terdiam lagi.
“Gimana kalau besok kita jalanin rencana kita? Gue ga mau terjebak dalam permainan yang bakal ngabisin banyak nyawa kaya gini dan berujung sekolah bakal ditutup. Mau jadi apa kita kalau berhenti sekolah gara-gara sekolah ditutup gitu?” tanya Eric serius.
“Kalau ga sekolah jadi gembel kita,” celetuk Arashya yang akhirnya mendapat sebuah pukulan nyaring dipundak kanannya dengan Narendra sebagai oknum pelaku pemukulan.
“Lu ngomong sekali lagi, pingsan lu setelah ini,” ancam Jevan sambil menunjukkan tangannya yang terkepal.
“Please, stop it! Jevan, kalau lu mau masuk penjara, silahkan tonjok Arashya sekarang juga dan gue ikhlas. Tapi, sekarang yang terpenting adalah kita harus bisa bergerak cepat untuk selesaikan kasus ini. Dan ya, lu pada ada nemuin hal yang janggal sejak kematian beruntun 2 orang itu?” bentak Eric karena merasa pusing oleh pertengkaran ketiga orang yang bahkan lebih tua dari dirinya tapi malah tidak bisa bersikap dewasa.
“Gue sih ga ada nemuin hal janggal, selain itu kenyataan kalau Kak Denan dalam beberapa hari ini kelihatan pucat pas latihan sampai dia ga fokus mainnya, dan ternyata itu semua efek dari racun yang entah dicekoki sama siapa ke makanan dan minumannya,” balas Jevan yang diangguki Arashya.
“Jangan lupain kemarin pas kita ngobrol tentang ini di lapangan, gue lihat ada Harris di lantai 2 lagi lihatin kita. Entah kenapa gue malah jadi curiga sama itu orang.” Arashya lagi-lagi membuat semua orang terkejut.
“Lu yakin kalau lu lihat Harris di lantai 2 lagi mantau kita?” tanya Eric tak percaya.
“Yakin banget, waktu itu setelah kita selesai sama obrolan kita waktu itu dan posisinya lu lagi di tengah lapangan, Ric.. Kita semua lihat ke atas dan ya gue lihat kalau itu Harris,” kata Arashya meyakinkan mereka semua.
“Awalnya gue malah ngira kalau itu orang yang ga sengaja lihat kita dari lantai 2 terus pergi gitu aja pas kita lihat dia. Ternyata itu Harris,” gumam Eric pelan tapi masih dapat di dengar oleh yang lainnya.
Keheningan kembali meliputi mereka berempat. Semuanya sedang menyelam ke dalam lautan pikiran masing-masing. “Hari ini ga ada yang dikirimin e-mail aneh itu ya?” tanya Narendra yang memecah keheningan dan mendapatkan atensi penuh dari ketiganya.
“Kebetulan untuk hari ini belum. Mungkin dia masih siapin kejutan lainnya buat gue,” balas Eric santai sambil melemparkan ponselnya ke karpet.
“Sekarang gue jadi penasaran lagi. Masing-masing dati kita udah pernah dapat e-mail aneh kaya gitu, tapi kenapa Eric yang lebih sering dikirimin?” tanya Arashya yang diangguki semuanya.
“Benar juga. Mungkin aja kalau Eric bakal jadi pemeran utama dalam kisah ini,” sela Jevan cepat.
Eric hanya merotasikan bola matanya malas, “jangan buat seolah-olah gue seorang protagonis yang bakal jadi pahlawan dari kisahnya. That’s so flat! Kita bakal ciptain sebuah kisah yang isinya pemeran antagonis semua!” kata Eric diakhiri dengan tawa kecilnya.
“Look at him! Sumpah, Jev. Gue ga ngerti lagi sama kelakuan adik lu. Udah 11 12 sama iblis tahu ga,” ucap Narendra sewot.
“Udah, udah. Mending sekarang kita bahas rencana kita aja. Keburu malam ini,” ucap Arashya mengembalikan topik pembahasan.
“Oke, jadi gimana kalau Arashya sama Jevan gue kasih tugas buat bobol ruang arsip dan curi salah satu berkas tentang orang yang kemungkinan pernah ngabisin masa kecilnya di Polandia, sampai dia dengan mudah punya akses keluar masuk. Setuju?” tanya Eric menatap kedua orang ang dia sebut namanya secara bergantian.
“Gue sih mau aja biar kasusnya cepat selesai, tapi latihan basket besok gimana?” tanya Jevan bingung.
“Lu lupa, Jev? Latihannya bakal diberhentikan sementara buat menghormati Kak Denandra yang meninggal. Jadi ya besok kita kosong dan cosplay jadi pengacara,” balas Arashya menenangkan Jevan.
“Apaan tuh pengacara?” tanya Narendra penasaran.
“Pengangguran banyak acara,” jawab Arashya disusul tawa kencangnya.
Narendra berdecak kesal setelah mendengar jawaban konyol Arashya. Kemudian dia memilih untuk fokus mendengarkan Eric yang kebetulan duduk dihadapannya.
“Narendra gue minta tolong untuk tetap selidiki 2 kasus kematian itu. Lu harus minta dan pelajari tentang otopsi keduanya, untuk memudahkan kita cari tahu pelakunya. Karena bisa jadi ada beberapa hal yang terselip dan kita ga temukan waktu itu,” ucap Eric yang diangguki semuanya.
“Gue bakal mantau kalian semua, dan ngomong face to face sama Harris dan Felix,” sambung Eric final dan siap untuk menjalankan semua rencananya besok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Ayano
Jangan diperjelas ih 😅
Biar keliatan keren gitu
2023-06-30
0
Ayano
Sebenernya kalo di jaman sekarang
..gak sekolah bisa mulai jadi tiktokers sih 😅😅
2023-06-30
0
Ayano
Akhirnya obrolan kembali lurus
2023-06-30
0