13. Rumah Sakit Dan Kronologi Kasus

Kini kelima remaja itu tengah berada di rumah sakit. Empat lainnya bertugas untuk mengawasi dan menjaga Eric selama pemuda berambut pirang itu belum sadarkan diri. Jevan sangat terpukul melihat keadaan adiknya yang masih setia dengan mata yang terpejam erat itu.

Sudah hampir satu setengah jam mereka ada di rumah sakit dan bolos dari sekolah. Orang tua si kembar juga berulang kali menelpon Jevan setelah dikabari tentang Eric yang harus dirawat di rumah sakit. Mereka terus bertanya tentang perkembangan keadaan Eric karena keduanya masih berada di Los Angeles karena Oma si kembar sedang sakit disana.

Jevan berkali-kali mengusap wajahnya kasar dengan perasaan gusar. Dia yang duduk pada sofa dalam ruangan itu menatap kosong pada Eric yang tengah berbaring di bangsal rumah sakit. Jarum infus yang menusuk punggung tangan kirinya serta pernafasannya yang dibantu dengan masker oksigen, membuat Jevan benar-benar merasa bersalah.

Dia bahkan tidak memikirkan dirinya sendiri yang masih dalam kondisi setengah basah pasca harus masuk ke air untuk menyelamatkan adiknya. Arashya, Yohan, dan Narendra yang menemani mereka juga ikut terpukul melihat keadaan si kembar yang memprihatikan itu.

“Entah kenapa gue yakin kalau Harris yang ngelakuin semua itu. Gue yakin banget kalau Eric pasti habis ketemu Harris tadi disana.” Yohan berucap memulai pembicaraan selama beberapa menit hanya keheningan yang menyelimuti mereka.

“Gue ga mau berburuk sangka sih, maka dari itu kita harus tunggu Eric sadar dan minta penjelasan dia kenapa sampai bisa kaya gini. Tapi, kalau benar si Harris yang ngelakuin ini semua, parah sih!” balas Arashya menggebu-gebu hingga ingin rasanya dia menghantam dinding rumah sakit dengan tinjunya untuk melampiaskan kekesalan.

“Gini deh, selama Eric masih belum sadar gimana kalau kita coba susun kepingan kasusnya dulu? Nanti setelah Eric sadar, kita bisa langsung jelasin ke dia dan bertindak,” usul Jevan yang disetujui oleh semua orang.

“Gue salut sama lu, Jev. Disaat kaya gini, lu masih kepikiran buat susun kronologi yang bakal lu jadiin hadiah setelah Eric siuman,” Jevan yang dipuji hanya mengangguk pelan dan kembali fokus pada perkataannya di awal.

“Well. Kita langsung mulai diskusi aja sambil nunggu Eric.” Jevan kembali melanjutkan sembari menatap 3 orang yang ada diruangan sama dengannya secara bergantian.

Arashya disebelah Jevan langsung melirik ke arah Yohan. “Kak Yohan, katanya Kak Marka hilang? Kenapa lu ga cari dia aja dulu?” tanya Arashya heran.

Yohan yang ditanya menghela nafasnya seperti putus asa dan mengangkat kedua bahunya. “Ya gue juga ga tahu harus nyari Marka kemana, ga ada petunjuk jelas tentang itu. Niatnya gue mau nanya tadi ke Eric, tapi karena Eric masih dalam keadaan kaya gini, ya mau gimana lagi? Gue juga khawatir sama Eric,” balas Yohan sambil menunduk dan Jevan mengulas senyum di wajahnya.

“Ric, lu harus cepat sadar. Lu juga harus tahu kalau orang-orang disini sayang sama lu, terutama gue.” —batin Jevan. Dia menatap lembut ke arah saudaranya yang masih belum sadarkan diri.

“Oh ya, gue baru ingat ini.” Jevan menepuk pelan keningnya karena lupa, dan dengan segera dia mengeluarkan ponselnya. Untung tadi sebelum masuk ke air Jevan sempat menitipkan ponselnya pada Arashya, jadi dia tidak panik lagi karena ponselnya mati karena kemasukan air.

Dia melihat catatan yang tadi pagi dia catat dan menunjukkan layar ponselnya pada setiap orang disana. “Look at this!” suruhnya pada mereka.

Yang lain hanya menuruti perkataan Jevan, kemudian fokus pada layar ponselnya. “Kita lagi nyari siapa yang punya ide dan bawa racun itu ke tempat ini untuk bunuh Kak Denandra,” celetuk Narendra.

Yohan menjadi semakin bingung karena dia melihat namanya juga tercatat disana. “Ini maksudnya gimana? Kok gue ga paham?” Yohan fokus lagi dan menunjuk pada namanya yang muncul pada catatan Jevan.

"Kenapa gue ada disini? Ini artinya gue masuk dalam list tersangka kasus gitu?” tanyanya tak paham.

Arashya menggeleng cepat, “bukan gitu, Kak. Gimana ya jelasinnya, ck! Ya udah, Na. Lu aja yang jelasin,” pintanya yang diiyakan Narendra.

Narendra mengangguk semangat, “gue harus ceritain semua dari awal?” tanyanya menatap Arashya dan Jevan menuntut jawaban. Lalu mereka segera mengangguk.

Narendra membetulkan posisi duduknya menjadi tegak dan sedikit berdeham. Yohan fokus padanya hendak mendengarkan semua cerita yang bahkan dia tidak ketahui sebelumnya.

“Gini, Kak. Awal semua ini bermula dari Arashya yang dapat e-mail aneh. Isinya kaya nyuruh kita sabar dan bakal main game gitu,” jelas Narendra memulai ceritanya.

“Game apaan? Apa bunuh-bunuhan ini termasuk ke dalam game itu?” tanya Yohan kaget.

Narendra mengangguk cepat, “kayanya sih begitu ya, Kak. Karena setelah Arashya dapat e-mail itu, kita cari tuh siapa pengirimnya. Tapi ternyata sama sekali ga bisa di lacak.” Lanjutnya.

“Setelah e-mail pertama itu, besoknya kita dapat surat yang dibawain sama teman kita namanya Haekal. Nah, selepas surat itu muncul, mulai deh si Eric dapat e-mail yang sama berkali-kali,” ucap Narendra sambil menunjukkan e-mail yang dikirimkan ke ponselnya.

“Bukan cuma Naren, Kak,” sela Jevan yang ikut menunjukkan e-mail yang dia dapat, “gue juga dikirimin. Tapi, yang lebih parah itu Eric. Dia sering bilang ke kita kalau pengirim e-mail itu beberapa kali kirim e-mail dan katanya bakal ngasih kejutan ke dia,” sambung Jevan.

Yohan mengernyit heran. Dia hendak bertanya tapi lebih dahulu dipotong oleh Arashya.

“Dan ya, setelah Eric dapat e-mail yang katanya mau ngasih kejutan itu, akhirnya kejadian deh itu 2 kasus pembunuhan,” celetuknya yang membuat Yohan hanya bisa mengangguk seperti boneka pajangan di dashboard mobil.

“Jadi intinya semua kasus ini sambung menyambung menjadi satu kaya negara Indonesia?” tanya Yohan dan lengannya dipukul pelan oleh Arashya disebelahnya.

“Fokus, Kak! Lu malah bercanda!” bentaknya kesal.

Yohan hanya menatap sinis Arashya dan sedikit menjauhkan dirinya. “Itu kan ada 2 kasus kematian. Nah, gue tahunya tentang Brian aja. Dia dipukul dengan brutal gitu deh intinya pakai balok kayu yang ditemuin dekat gudang sampai tulang tengkoraknya retak. Kalau kematian Denandra?” tanya Yohan.

“Jadi gini, Kak. Kak Denan itu meninggal karena keracunan,” balas Jevan.

“Keracunan? Racunnya lewat perantara apaan?” Yohan terkejut mendengarnya.

“Racunnya dicampur lewat teh, Kak. Kebetulan waktu itu Kak Denandra sempat pingsan pas upacara, jadi dari PMR ngasih teh ke dia setelah siuman di klinik kesehatan. Eh, tahunya malah dicampur sama racun.” Jelas Narendra yang kini menatap pada Eric. Anak itu masih saja tetap tertidur disana.

“Kalau kata Eric sih bukan cuma karena teh itu aja, Kak. Eric bilang kalau kemungkinan Kak Denan udah lama ga sengaja konsumsi makanan ataupun minuman yang udah terkontaminasi sama racunnya. Pas di hari kematiannya, dosis racun itu dalam skala tinggi dan baya banget,” sambung Jevan melengkapi ceritanya.

“Lu pada tahu itu racun apa?” tanya Yohan dengan rasa penasarannya yang mulai memuncak.

“Polonium, Kak.” Balas Narendra dengan lirih.

Yohan terkejut bukan main mendengar nama racun itu.

“Polonium?!” tanya seseorang dengan nada sedikit membentak karena tak percaya. Namun, itu bukan suara Yohan.

Tiba-tiba ada 2 orang pemuda masuk ke ruang rawat Eric dan memekik kaget mendengar kata ‘Polonium’. Yang lainnya juga terkejut dan menoleh ke arah pintu.

“Lu kenapa disini?” tanya Yohan ketika mendapati kedua pemuda itu tersenyum kepadanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!