09. Kantor Polisi

Hari ini sesuai dengan rencana Eric semalam, mereka semua kembali berkumpul dulu di sekolah. Setelah jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, baru mereka semua menjalankan rencananya. Arashya dan Jevan sudah pergi untuk melancarkan aksinya. Sementara yang tersisa hanya Eric dan Narendra.

Narendra memandang Eric yang hendak pergi dari kelas. “Eric, lu yakin ini gue bolos sekolah?” tanya Narendra agak tidak yakin.

Eric memberhentikan langkahnya dan menoleh pada yang bertanya. “Bukannya bolos emang cita-cita lu dari dulu?” tanya Eric balik sambil terkekeh pelan.

Narendra hanya merotasikan bola matanya malas, “ya ga gitu juga kali, Ric. Gue agak takut sih, ini gue bolos terus langsung ke kantor polisi gitu?” tanya Narendra lagi.

Eric mengangguk cepat, “gue rasa ini ga bakal jadi masalah. Di sekolah juga cuma jadi pengangguran, belajar juga kita udah ngga. Tinggal nunggu info liburan doang kita,” balas Eric sambil mengangkat bahunya acuh.

“Oke, kalau gue di marah ayah, gue jual nama lu ya, Ric?” Narendra segera menyambar tas sekolahnya yang kebetulan tergeletak di mejanya.

“Terserah lu, ini juga kita lakuin buat sekolah. Wajar sih, nanti kan kita bisa kasih argumen buat ngelawan mereka,” jawab Eric lagi yang menyusul Narendra keluar kelas.

Mereka kemudian berpisah. Eric tetap berkeliling di sekolah untuk mengawasi pergerakan Jevan dan Arashya, sekaligus ingin bicara dengan Harris ataupun Felix yang mungkin akan dia lihat pertama kali. Sedangkan, Narendra berjalan menjauh dari gedung kelas dan berjalan menuju parkiran.

Disana dia melihat motor ninja kesayangannya dari jauh. Hari ini dia membawa sepeda motor karena menang sengaja untuk bolos sekolah dan mencapai tempat apapun dengan cepat. Segera Narendra naik ke motornya dan bersiap untuk pergi ke kantor polisi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hari ini di kantor polisi ternyata cukup ramai. Bahkan bisa dikatakan ini sebuah kejadian yang cukup langka karena kondisinya sekarang lebih ramai dibandingkan dengan kelas Narendra di sekolah.

Narendra yang merasa aneh dengan hal itu pun akhirnya memilih untuk mendekat pada salah satu petugas kepolisian yang dia tahu sebagai teman ayahnya. Kebetulan beliau yang Narendra lihat pertama kali setelah ada di dalam kantor.

“Om Shaka..” panggil Narendra agak pelan pada seorang pria dengan seragam polisinya yang tak jauh dari Narendra.

Yang dipanggil langsung menoleh dan segera menghampiri Narendra. “Kenapa, Naren?” tanya pria itu.

“Naren ke sini rencananya mau cari ayah, tapi kenapa hari ini kantor polisi kelihatan lebih ramai dari biasanya?” tanya Narendra memperhatikan sekelilingnya heran.

“Beberapa orang ini ada yang mau besuk tahanan. Sedangkan, sisanya ada wartawan dan orang tua korban yang mau kita mintain keterangan,” balas pria dengan nametag ‘Shaka’ di dada kanannya.

Narendra mengangguk cepat. “Oh ada wartawan juga? Untuk apa mereka ke sini, Om? Emang ada kabar baru apa yang sampai buat mereka rela desak-desakan ke kantor polisi?” tanya Narendra lagi yang tangannya terulur menyeret sebuah kursi lalu duduk dengan kaki dinaikkan sebelah.

Shaka Jayendra, hanya bisa menggeleng pelan dan menghela nafas panjang ketika melihat kelakuan Narendra yang menurutnya sangat tidak sopan itu.

“Naren, kamu ini apa kurang diajarin sopan santun sama ayah bunda kamu? Om jadi curiga kalau sebenarnya kamu itu bukan anak kandungnya Pak Seandra Nasution dan Ibu Yuna Adriani. Kelakuanmu tumpang tindih sama mereka,” ucap Pak Shaka yang kini ikut duduk dihadapan Narendra.

Yang ditegur hanya bisa memasang cengiran khasnya yang terlihat konyol dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Hehe, maaf Om. Kebiasaan nih, ajarannya Arashya,” balas Narendra berlindung dengan nama anak dari salah satu pejabat pemerintahan itu.

“Kadang Om heran sama kalian, kenapa gitu? Udah kaya brandal, terus hobi banget sama hal-hal yang kaya gini. Om yakin kalau kamu bolos hari ini cuma untuk nyari secuil informasi. Om benar, kan?” tanya Pak Shaka memicingkan matanya curiga.

Lagi-lagi Narendra tertawa kecil, “Om kok bisa tahu, sih? Harusnya Om itu ga jadi polisi, coba aja sampingan jadi peramal. Lumayan cuan, Om,” balas Narendra dengan tampang tak bersalahnya.

Shaka hanya bisa memijat kedua pelipisnya karena merasa pening menghadapi anak sahabatnya ini. “Oke, jadi pertanyaan kamu apa tadi? Om ga bisa biarin kamu lebih lama lagi disini, sebelum ayah kamu balik. Om ga tega lihat kamu dicoret dari Kartu Keluarga kalau ketahuan bolos kaya sekarang.” Kata Shaka yang kembali membuat Narendra menegakkan posisi duduknya karena takut.

“Gini, tadi Om bilang kalau ada beberapa wartawan ke sini, emang ada berita gempar apa?” tanya Narendra fokus pada hal yang ingin dia tanyakan tadi.

“Kamu tahu berita tentang sekolah kamu yang rencananya mau ditutup karena ada kasus kematian 2 orang beberapa hari lalu?” Shaka menatap Narendra secara intens dan mendapatkan balasan berupa anggukan.

“Nah, itu yang buat para wartawan ini ke sini, karena kebetulan ayah kamu juga yang nanganin kasusnya. Mereka juga mau tanya tentang pertimbangan itu, kalau semisal SMA 8 Puncak bakal ditutup beneran kelanjutannya itu gimana,” lanjutnya.

Narendra mengernyit heran, “terus ayah gimana? Masa dibiarin sih manusia-manusia ini menuhin kantor polisi kayak gini?” tanya Narendra.

“Ayah kamu lagi menghadap ke pemerintah daerah. Dari tadi Om juga udah nyuruh mereka buat pergi dulu, nanti balik lagi setelah Om kabarin kalau ayah kamu udah balik. Tapi ya kamu tahu gimana mereka,” balas Shaka sambil mengangkat bahunya acuh.

Narendra mengangguk paham akan situasi. Kemudian dia mengedarkan pandangannya dan menangkap ada 4 orang paruh baya duduk dipojok ruangan itu. Ada 2 wanita dan 2 pria. Para wanita itu menangis sejadi-jadinya dan 2 pria itu kelihatannya sedang menenangkan mereka masing-masing.

“Terus kalau mereka itu kenapa, Om? Kok ibu-ibunya nangis?” tanya Narendra dengan jarinya menunjuk pada orang-orang tersebut.

Shaka mengikuti arah yang ditunjuk Narendra, “oh. Itu mereka orang tua korban yang meninggal kemarin. Ayah kamu juga manggil mereka kemari untuk melengkapi beberapa data dan minta keterangan tentang gimana kondisi anak mereka sebelum meninggal,” balas Shaka yang dengan cepat mengambil sebuah catatan kecil dan pena.

Narendra yang mendapatkan jawaban seperti itu hanya mengangguk mengiyakan. Lalu dia kembali menatap Shaka yang duduk tepat dihadapannya.

“Kali ini Naren serius Om,” katanya yang dibalas dehaman oleh Shaka yang tengah menuliskan sesuatu. “Naren tahu kalau Om yang nanganin dan ngawasin jalannya otopsi untuk kedua jasad orang itu. Kak Brian Jefferson dan Kak Denandra Prahita. Ada beberapa hal yang harus Naren tanya sama Om yang nantinya bakal Naren kasih ke Eric,” lanjut Narendra.

Shaka tertawa pelan, “haha, jadi Eric yang minta kamu ke sini? Pilihan dia tepat banget dan Om yakin kalau dia bisa selesaikan kasus janggal ini bareng kalian,” balas Shaka menghentikan kegiatan menulisnya.

Narendra menaikkan sebelah alisnya, “Om tahu kalau ini kasus janggal?” tanyanya tak percaya.

Shaka yang ditanya mengangguk cepat, “jelas janggal Naren, ga ada pembunuhan yang dilakukan secara tiba-tiba gini, apalagi di sekolah. Om yakin kalau apapun yang Eric curigai, berarti itu hal penting. Dan ya, Eric nyuruh kamu ke sini itu adalah pilihan yang tepat.”

“Maksud Om pilihan yang tepat itu, gimana?” Narendra memiringkan kepalanya bertanya.

Shaka membuka halaman-halaman buku yang tadi dia tulis dengan cepat dan menyodorkan 2 lembaran kertas kecil pada Narendra.

“Sebenarnya ini melanggar hukum, karena jatuhnya Om nyuri bukti yang bisa ngarahin kasus ini kemana. Tapi karena pas kita dari kepolisian ke sekolah, disana Om lihat kalau kalian adalah anak yang pintar, cerdas, dan tentu bisa selesaikan kasus ini. Polisi juga masih punya banyak kasus yang harus diselesaikan. Jadi harapan Om ada di kalian untuk tolongin kami tuntaskan kasus ini, kalian mau, kan?” tanya Shaka pada Narendra yang mengambil lembaran kertas kecil itu dari tangan Shaka.

“Ini apa, Om?”

“Om juga ga terlalu paham. Ini Om temuin di salah satu saku mereka berdua saat proses otopsi. Mungkin Eric atau yang lainnya bisa ngerti tentang ini. Jadi kamu bisa diskusi bareng sama mereka setelah ini,” ucap Shaka yang bangkit dari posisi duduknya.

“Oke, Om. Makasih ya, sekarang Naren harus pergi sebelum ayah balik dan terjadi sesuatu yang diluar nalar,” kata Narendra final yang diangguki oleh Shaka dan segera beranjak dari kantor polisi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!