Arashya dan Jevan berjalan tergesa-gesa menuju lantai 1 gedung tersebut. Jevan sudah mencatat segala hal yang mereka berdua temukan tadi di ruang arsip, kini mereka hanya harus mencari Eric dan melaporkan semua hal ini.
“Kira-kira Eric dimana ya?” tanya Jevan membuka pembicaraan sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah selesai mencatat semua informasi pada sebuah aplikasi di ponselnya.
Arashya menoleh dan mengangkat bahunya tanda tak tahu. “Ya mana gue tahu, Jev. Harusnya gue ga sih yang nanya itu ke lu? Kan lu kembarannya,” balas Arashya yang membuat Jevan mendengus kesal.
“Gue emang kembarannya. Tapi, anak kembar itu ga semuanya kembar. I mean kayak, muka kita doang yang sama, untuk otak dan kelakuan jelas beda,” jawab Jevan.
“Mana ada beda, kelakuan kalian 11 12 sama setan gitu,” kata Arashya menelan di akhir dan mendapat tatapan sinis dari Jevan.
“Lu kalau mau ditonjok langsung ngomong aja, ga udah kode-kode gitu.” Jevan langsung menggulung lengan bajunya yang membuat Arashya meneguk ludahnya kasar.
“Dih si Jevan baperan banget. Gue bercanda ini,” ucap Arashya tertawa konyol sembari memperlihatkan jarinya yang membentuk peace.
“Udahlah, kita cari Eric aja sekarang.” Ajak Jevan yang diangguki Arashya. Mereka lalu menyusuri beberapa gedung disebelah untuk menemukan Eric.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Eric berjalan cepat untuk menuju areal kolam renang sekolah yang Yohan bilang kalau Harris ada disana. Eric sekarang sedang bergelut dengan pikirannya dan sesekali terngiang-ngiang perkataan Yohan tadi.
Eric menunjukkan senyum miringnya ketika hanya beberapa langkah lagi dia sampai di depan pintu masuk.
“Gue harap apa yang Kak Yohan bilang memang ada disini,” gumamnya pelan, lalu membuka pintu masuk kolam renang secara kasar.
BRAK!
Orang yang Eric lihat di dalam areal kolam renang itu terkejut karena Eric membuka pintu dengan cara menendangnya.
“Lu disini juga, Ric?” tanya orang yang sedang duduk di tepi kolam saat mendapati Eric yang datang.
Eric tersenyum ramah dan berjalan mendekat pada orang itu. “Gapapa sih, cuma suntuk aja. Gue ke sini dia jalan-jalan doang, soalnya kalau di kelas terus juga ga ngapain.” Jawab Eric yang kini tepat berada di belakang orang tersebut.
Yang bertanya pada Eric tadi bangkit dari duduknya dan menyamakan posisi berdirinya dengan Eric. Jadi, mereka salam keadaan saling berhadap-hadapan sekarang.
“Lu ngapain disini, Harris?” tanya Eric karena orang didepannya hanya tersenyum.
“Cuma merenungi beberapa kejadian kemarin,” balasnya singkat.
Eric semakin penasaran karenanya, “lu serius tentang kata-kata lu barusan?” tanyanya.
“Tampang gue kaya tampang penjahat emangnya?” tanya Harris balik dengan nada menantang.
Eric kembali menunjukkan smirk di wajahnya. “Lebih ke tampang pembunuh, sih.” Ucapan Eric ini sukses membuat Harris melotot tak percaya mendengarnya.
“Opini dari mana lu?!” sahut Harris tak terima.
Eric tertawa setelahnya, “biasa aja kali, kalau kata-kata gue bukan fakta. Tapi, kalau dilihat dari reaksi lu yang kaya gini, gue jadi curiga kalau lu beneran pembunuh,” ucapnya.
Harris membuang wajahnya dan menatap ke air kolam yang tenang. “Mau gue bersikap biasa ataupun ga biasa kayak gini, gue udah yakin kalau lu curiga sama gue.”
“Lu tahu itu?” tanya Eric.
Harris mengangguk cepat, “ga mungkin lu tanpa alasan datang ke sini, kan? Udah pasti banget kalau lu nyari gue dari tadi, dan berujung ketemu di tempat ini,” tanyanya sambil menatap Eric dengan tajam.
Eric perlahan berjalan menjauh dari Harris dan meletakkan kedua tangannya dibelakang. “Well, ternyata lu lebih pintar dari yang gue duga sebelumnya.”
“Jadi orang jahat itu ga gampang, Ric!” sela Harris cepat dengan nada membentak.
“Berarti benar kalau lu adalah dalang dari semua kejadian ini?” Eric segera membalikkan badannya dan menatap Harris secara intens.
“Kalau lu ngomongin tentang dalang dan ngira itu gue, berarti dugaan lu salah, Ric,” balas Harris disusul oleh tawa kecilnya.
“Tapi gue yakin kalau lu yang membunuh Kak Brian dan Kak Denandra waktu itu!” Bentak Eric yang membuat Harris bergidik ngeri, namun beberapa saat kemudian tawanya makin terdengar keras.
“Lu tahu itu dari mana, Ric? Kayaknya lu harus coba ngomong berdasarkan fakta deh,” ucap Harris meremehkan Eric.
Eric yang kesal sudah berancang-ancang mengepalkan tangannya. Jika saja dia tidak bisa mengontrol emosinya, maka dia yakin kalau Harris bisa tergeletak pingsan ditepi kolam hanya dengan sekali pukulan dari Eric.
“Jangan pernah anggap remeh gue dan teman-teman gue, Ris!”
“Terus apa buktinya kalau lu nuduh gue?!” tanya Harris semakin nyolot.
Eric menghela nafasnya kasar, “lu harusnya mikir pas ngasih kesaksian. Ga mungkin pembunuh Kak Brian bisa kabur dengan loncat tembok belakang gudang. Tembok disana di design dengan pecahan kaca di atasnya. Dan ya, ga mungkin banget pembunuhnya bakal kabur lewat sana kalau dia ga mau berakhir di rumah sakit.” Jelas Eric menatap tajam pada Harris.
“Penjelasan lu mungkin masuk akal, tapi itu ga bakal membuat gue tertuduh karena pembunuhan itu, cih.” Harris berdecak kesal mendengarnya.
“Ya lu pikir aja, kalau lu ngarang cerita disuruh Pak Vernon ambil bola sepak. Gue udah tanya ke Pak Vernon dan beliau bilang ga pernah nyuruh lu sama Felix tentang itu. Dan ya, gudang waktu itu posisinya dikunci, sedangkan kunci gudang cuma 1 yang saat itu dibawa sama Kak Brian. Lu cuma bawa balok kayu yang lu pakai untuk bunuh Kak Brian yang kebetulan ke sana dengan brutal.” Jelas Eric panjang lembar yang lagi-lagi membuat Harris terkejut karena tidak percaya dengan kelengkapan informasi dari seorang Eric Devandra.
Eric tersenyum penuh kemenangan saat melihat raut wajah Harris yang sangat terkejut karena perkataannya tadi. Namun tidak berhenti disana, Harris dengan segera kembali menetralkan wajahnya dan tersenyum miring.
“Jangan pikir kalau pembunuhnya itu cuma gue!”
“Ya gue juga tahu, tapi gue masih ga yakin sama orang yang lu ajak kerja sama. Udah ada beberapa nama di kepala gue, entah nama mana yang bakalan muncul sebagai penjahat utama,” balas Eric terkesan acuh.
“Okay, so? Sekarang lu bakal laporin gue ke polisi?”
“Kantor polisi dan penjara bukan tempat yang pantas untuk lu. Lu cocoknya masuk neraka jahanam aja sekalian!” Pekik Eric lalu berlari ke arah Harris dan melayangkan tinjunya.
BRUK!
Sebuah tubuh jatuh terhempas dan tergeletak di lantai tepi kolam renang. Nafasnya terdengar memburu menahan sakit yang teramat. Pandangannya terlihat berputar dan perlahan mulai kabur.
Bukan! Bukan Harris yang hampir pingsan itu, tapi Eric.
Bagaimana mungkin? Itu semua terjadi karena secara tiba-tiba seseorang muncul dari salah satu ruang ganti yang ada dalam areal kolam renang dan kedatangannya tidak disadari sama sekali oleh Eric.
Saat Eric bergerak hendak melayangkan pukulannya pada Harris. Sosok dengan hoodie dan bawahan serba hitam itu segera datang, lalu membekapnya. Ketika Eric memberontak meminta untuk dilepaskan, orang itu malah menyuntikkan sebuah cairan tepat di lengan kanan Eric yang membuatnya mengerang kesakitan beberapa saat, dan akhirnya terhempas ke lantai.
Eric berusaha sekuat tenaganya untuk bangkit. Namun sialnya, kini bahkan tubuhnya tak bisa digerakkan. Dia hanya merasakan sakit yang teramat menjalar ke seluruh tubuhnya. Eric perlahan paham dan sadar, kalau tubuhnya sudah mati rasa. Untuk bicara pun sekarang sulit rasanya untuk Eric. Dia tidak bisa menahan rasa sakit luar biasa ini.
“Udahlah, Ric. Ga usah berusaha banget, ga ada hasil. Setelah ini gue rasa gue harus berterima kasih sama Narendra Nasution. Karena bius yang waktu itu dia buat, efeknya bakal seluar biasa kaya gini,” ucap Harris yang kini mengulurkan tangannya dan mengisyaratkan pada sosok berbaju hitam itu untuk membantunya mengangkat Eric.
“Gue ga nyangka kalau Narendra bakal seceroboh itu untuk ninggalin sisa bius yang dia buat di lab sekolah. Jadi, dengan gampangnya gue bisa masuk dan ngambil benda itu. Dan ya, lu adalah korban pertama dari bius yang sahabat lu sendiri ciptain,” lanjutnya dan dalam hitungan detik mereka melemparkan tubuh Eric yang masih mati rasa ke dalam kolam renang dingin itu.
“Bye, Eric!” Ucap Harris final lalu melangkah keluar dari areal kolam renang dan diikuti oleh sosok berbaju hitam.
Eric hanya bisa memandang kepergian 2 orang itu ketika tubuhnya sudah mengambang di permukaan air. Dia yakin dalam beberapa menit dia akan tenggelam dalam air dingin itu. Tubuhnya gemetar merasakan suhu dingin secara mendadak begitu. Dalam hatinya dia terus merapalkan doa, agar kematian tidak datang menghampirinya hari ini.
“Gue bakal coba telepati ke Jevan dan semoga dia bisa peka,” —batin Eric.
“Jevan, help me please!” Eric terus membatin dan mengulangi kalimat tersebut dengan mata terpejam, berharap agar Jevan segera datang menolongnya. Sebenarnya keputusan itu bukanlah hal yang tepat, karena dengan memejamkan mata akan membuat biusnya semakin terasa menyakitkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Iyang Raiyah
Thor up terus ya, ceritanya sangat menarik
2023-04-28
1