XVIII

Terkadang sebuah keheningan bisa menjawab berbagai pertanyaan yang sebelumnya diliputi misteri. Itulah yang Lilya pahami selama di perjalanan bersama Ersya. Gadis yang diboncengnya itu tidak banyak bicara, tetapi akan dengan senang hati menjawab dan menanggapi setiap kalimat yang dilontarkan kepadanya.

     Seperti yang dikatakan Ersya saat jam istirahat tadi, 'rumah' Udo memang dekat dari sekolah. Hanya butuh 15 menit menggunakan motor hingga mereka tiba di sebuah kompleks perkosanan tingkat 3 yang kalau boleh jujur, nampak sedikit kumuh.

     Sambil memarkirkan motornya di samping salah satu gedung yang kata Ersya merupakan tempat Udo tinggal, Lilya mengamati cat biru pudar yang menyelimuti gedung kosan suram itu.

     "Kamar kosan Udo yang mana satu dah?" Tanya Lilya sambil beralih memperhatikan jumlah pintu yang setelah dihitung menunjukan hasil 15 itu.

     "Di lantai 2, yang deket tangga." Ersya menjawab sambil menyodorkan helm yang dipinjamnya kepada Lilya.

     Sebelumnya Lilya tidak terlalu memperhatikan, tetapi saat menerima helm retro chips itu ia tanpa sengaja melihat dua jari Ersya terbalut plester di tiap ujungnya. Jari manis dan tengah di tangan kanannya itu nampak kehilangan kekuatan menggenggam sehingga sedikit terangkat menandakan kalau luka itu masih baru.

     "Jari lo kenapa?" Dengan santai Lilya mengambil helm itu dan menaruhnya di jok motor.

     Seketika Ersya menjadi kikuk, ia berusaha menutupi tangan kanannya di balik tubuh. "N—ngak papa. Cuman luka pas motong sayur..."

     "Ohh... lo suka masak?" Tanya Lilya enteng hampir dibarengi kekehan.

     Belum sempat Ersya membalas, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah belakang gedung.

"AAAAAA!!!"

     Lilya dan Ersya saling berpandangan. Lalu sedetik kemudian kaki mereka bergerak, membawa mereka menuju ke sumber suara.

Saat tiba Ersya langsung menutup mulutnya sambil tertegun. Sudah dipastikan pemandangan yang menyambutnya tidaklah menyenangkan.

Tersudutkan oleh dua pria besar berpakaian seperti preman, seorang pemuda yang sudah babak belur terduduk hampir bersujud sambil melindungi kepala dengan kedua tangannya. Meski niat ingin melindungi diri, tetapi tinju dari kedua preman itu masih sukses melukainya.

     "Udo..." bisik Ersya lirih.

     Sementara itu, memanfaatkan kedatanganya yang belum diketahui, Lilya membuka helmnya dan langsung berlari melemparkan helm itu tepat ke kepala salah satu preman. Bersamaan dengan tersungkurnya pria denga tato macan di lengan kirinya itu, rekan disampingnya langsung menatap Lilya sengit.

     "Heh! Ngapain lu-"

     Belum sempat preman itu menyelesaikan kalimatnya ransel Lilya telah melayang ke wajahnya. Memanfaatkan pengalihan itu, Lilya langsung menendang kaki si preman dari bawah meruntuhkan keseimbangan hingga kepalanya jatuh menghantam tanah.

     "Cewek sialann!!" Kini giliran si preman bertato macan yang bangkit. Dengan sekuat tenang ia melayangkan tinjunya. Namun, berhasil dihindari Lilya dengan sedikit gerakan sederhana. Preman itu mulai kehilangan kesabaran dan beralih menendang.

     Kali ini Lilya tidak menghindar, ia justru menangkap kaki preman itu, menguncinya, lalu maju satu langkah hingga keseimbangan musuhnya goyah, kemudian dengan satu gerakan cepat, Lilya menukikkan tangannya ke bawah dengan sangat kuat menghantam lutut preman itu. Di saat bersamaan bunyi patahan nyaring terdengar.

KREK!

     "Aarrrggghhhh!!" Pria itu tumbang dengan sebelah kaki yang tidak lurus lagi.

     Melihat pemandangan itu Lilya menyeringai. Sudah lama sekali ia tidak merasakan sensasi ini. Sensasi yang membuatnya merasa hidup dan segar.

     Melihat rekannya yang kesakitan, preman yang sempat menerima tendangan setelah dilempar ransel pun bangkit dan hendak membalas. Namun, belum juga satu langkah kakinya sudah dicegat oleh tangan bertato macan yang gemetaran.

     "Kaki gua patah! R-rumah sakit! Bawa gua ke rumah sakit sekarang!" Rengeknya dengan wajah pucat pasi.

     "Tapi nih urusan belom kelar!" Timpal rekannya yang sudah terlanjur murka.

     "NTAR AJA!"

Setelah bergelut dengan egonya sendiri, preman itu pun lebih memilih menolong rekannya ketimbang membalas Lilya yang sedari tadi berusaha keras menahan tawa.

     Membopong temannya yang terus menjerit kesakitan, mereka melewati Lilya dan yang lainnya dengan tatapan membunuh.

     "Ini belom selesai, awas aja ntar lebih banyak orang yang bakal dateng." Itulah kata-kata terakhir si preman sebelum menghilang di belokan.

"Haha! Mau keroyokan aja sombong!" Tawa Lilya pun akhirnya pecah.

Di sisi lain Ersya yang sedari tadi menahan diri untuk tidak hilang kesadaran setelah menyaksikan perkelahian tadi pun berlari menghampiri Udo yang sama shocknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!