IV

Malam itu hujan turun cukup deras membasuhi jalan, kendaraan yang terparkir dan para penyidik yang beranjak setelah menyelesaikan pekerjaannya. Setelah seharian sibuk mencari dan mengamankan barang bukti, suasana di kantor unit penyelidikan pun jadi sepi melompong.

Namun, meski barang bukti telah terkumpul dan hasil autopsi sudah keluar, Ridwan masih belum puas. Sendirian ia merenung, masih enggan meninggalkan tempatnya.

        Di antara meja dan kursi kantor yang kosong Ridwan duduk sambil menopang dagu. Dengan wajah muram ia terus memikirkan alur penyelidikan dari awal laporan sampai sekarang. Sejujurnya sebelum hasil forensik keluar, pria 32 tahunan itu merasa sangat optimis seakan sanggup menyelesaikan kasusnya dengan cepat. Tetapi kenyataan berkata lain, semua petunjuk yang ditemukan tidak mengarah pada penyelesaian apapun. Hanya ada jalan buntu dan ketidakpastian.

        Ridwan mengamati barang bukti yang berjejer di atas meja. Mulai dari palu berdarah, kunci ruang club yang ditemukan menggantung di bagian dalam pintu, dompet berisi sejumlah uang serta kartu identitas korban, handphone remuk, serta jerigen 5 liter yang sepertinya dipakai pelaku untuk membawa bensin. Semua sudah terbungkus plastik steril dengan harapan jejak si pelaku tidak terjamah, meski kenyataannya yang di sebut 'jejak' itu tidak benar-benar ada. Hasil daltiloskopi malah menunjukan sidik jari korban saja di semua barang bukti.

        Spekulasi sempat menjurus pada kemungkinan bunuh diri, tetapi dugaan itu langsung terbantah karena hasil otopsi korban menunjukan bahwa dia telah meninggal 14 jam sebelum insiden kebakaran itu terjadi. Ditambah penyebab kematian yang sesungguhnya adalah pendarahan otak bagian belakang dekat tengkuk, yang mana akan sangat sulit bagi seseorang untuk memukul kepalanya sendiri dari belakang sampai dirinya meregang nyawa.

        Dengan lelah Ridwan menyenderkan badan ke punggung kursi lalu memejamkan mata. Ia mencoba mengingat kembali keadaan TKP kalau-kalau ada sesuatu yang terlewat.

        "Bekerja sepenuh hati memang bagus, tapi kau juga harus memikirkan keluarga di rumah. Anak istri kau itu pasti khawatir." ujar sebuah suara membuat Ridwan langsung terlonjak hampir terjengkal.

        "P-pak Huga toh..." Ridwan berusaha mengatur nafasnya yang tersengkal sembari menatap pria ramping nan kekar di hadapannya itu. "Belum pulang pak?"

        "Kau tidak lihat saya basah kuyup begini?" Huga melepas overcoat hitamnya lalu duduk di hadapan Ridwan. "Saya baru datang."

        Ridwan menghela nafas, "Jangan bilang anda melalukan hobi aneh anda lagi?"

        "TKP itu lebih terasa hidup ketika malam, akan jadi sia-sia kalau kita melewatkan kesempatan itu untuk mencari petunjuk baru, ya kan?" jelas Huga sembari mengaitkan overcoat basahnya ke punggung kursi.

        "Lalu bagaimana? ada petunjuk barunya?" tanya Ridwan skeptis.

         "Tentu saja ada. Yang terbaik malahan." Huga tersenyum simpul.

         Wajah Ridwan seketika berubah serius. "Apa petunjuknya?"

          "Tenang, nanti saya beri tahu. Yang pasti besok kita harus tanya anggota club bahasa inggris satu persatu tanpa terlewat seorang pun." jelas Huga dengan tenang.

          "Pelakunya ada di antara mereka?" tanya Ridwan dengan suara pelan. "Sulit dibayangkan anak seusia mereka bisa melakukan hal sekeji ini pada gurunya sendiri."

           Huga tersenyum kecut menanggapi spekulasi kurang matang juniornya itu. "Kau ini terlalu fokus pada si pelaku, karena itulah petunjuk pentingnya terlewat."

           "Maksudnya?" Ridwan menatap sebal. Meski bukan pertama kalinya mereka ditugaskan bersama, tapi tetap saja Ridwan masih merasa tidak cocok berkerja dengan tipe orang yang senang menyimpan segala sesuatunya sendiri tanpa bemberikan pejelasan.

        Di sisi lain Huga merasa tidak ada keharusan untuk menjawab. Dengan santai ia menyenderkan badan ke punggung kursi.

      Melihat itu Ridwan menghela nafas panjang, ia jadi merasa perannya dalam penyelidikan tidak begitu diperlukan. Menunduk lesu, ia menatap muram benda-benda yang berjejer di hadapannya. "Semuanya sia-sia saja...," gumamnya.

        "Kau benar tapi juga salah." Huga kembali menegakkan tubuh. "Ketidakbergunaan barang bukti ini secara tidak langsung telah memberikan informasi tentang karakter si pelaku."

        "Karakter?" Ridwan nampak bingung tapi juga penasaran.

        "Ya. Seperti karakternya yang sangat berhati-hati dan sangat teliti dalam menghapus jejak. Tanpa adanya zat pembersih yang tertinggal saja sudah menunjukan kalau si pelaku ini punya intelektualitas yang tinggi di bidang ilmu kimia." jelas Huga dengan kilat mata yang menunjukan kekaguman, "ini adalah pembunuhan terencana yang sangat apik. Karena itu, besar kemungkinannya si pelaku punya hubungan dekat dengan korban."

        "Tapi... bisa saja si pelaku membayar orang profesional untuk melakukannya." sanggah Ridwan sambil melipat kedua tangan di dada.

        "Kau ini sama sekali tidak mengerti ya?" Huga menggelengkan kepala penuh sesal. "Kalau pun kemungkinan itu ada, tetap saja otak dibalik pembunuhan ini adalah dia yang punya niat dan ikatan emosional dengan si korban. Kenapa pembunuhan ini dilakukan dengan begitu rapih dan bersih? Karena kalau ada sedikit saja petunjuk ditemukan maka identitas pelakunya akan langsung terungkap."

Ridwan tertegun mendengar penjelasan cemerlang itu. Ia juga baru sadar alasan kenapa seniornya itu langsung sibuk mengintrogasi orang-orang tanpa menunggu hasil olah TKP atau otopsi. Pastinya dia sudah tahu kalau itu semua tidak akan terlalu berguna dalam kasus ini. Dengan kata lain, sedari awal Huga sudah tahu langkah tepat apa yang harus diambil tanpa membuang-buang waktu. Meski terkesan sembrono dan seenaknya sendiri, Ridwan akui kemampuan seniornya itu bukanlah isapan jempol belaka.

        "Lalu bagaimana dengan mobil korban yang menghilang, kalau tujuan pelaku hanya untuk mengakhiri hidup korban kenapa ia repot-repot membawa kabur mobil korban? Padahal kalau dijual pun malah akan membuatnya terlacak." tanpa sadar Ridwan meninggikan suara akibat terlalu bersemangat.

        Huga menaruh kedua siku di atas meja dan perlahan menyondongkan tubuhnya ke depan. Ia pun berbisik, "karena pertunjukan utamanya adalah kebakaran di keesokan harinya..."

Ridwan mengernyit sambil ikut menurunkan nada suaranya. "Saya sama sekali tidak mengerti."

        "Petunjuknya ada di penjaga sekolah. Kendaraan yang masih terparkir hingga sore itu bisa membuat si penjaga curiga lalu berkeliling mencari pemiliknya." Huga kembali menyender ke punggung kursi. "Dengan membawa mobil korban, si pelaku bisa menunda penemuan jasad. Kenapa dia tidak ingin jasad itu ditemukan dulu? itu karena dia harus membersihkan semua jejaknya yang tertinggal di malam hari agar lebih leluasa."

        "Begitu ya..." meski mengangguk, kerutan di dahi Ridwan nampak bertambah. "Lalu pertunjukan utama yang anda sebut itu, maksudnya apa?"

        "Menurut kau, kenapa ruangannya harus dibakar pagi-pagi dan bukannya saat malam?" Huga mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke meja sedangkan matanya menunjukkan kejahilan seperti orang yang sedang memberikan tes.

        "Anda benar, itu aneh. Lumrahnya orang akan melakukan itu di malam hari karena kemungkinan adanya saksi mata sangat kecil... tapi kenapa malah dibakar saat para murid berdatangan..." Ridwan menatap langit-langit kantor sembari memvisualisasikan kejadian pagi tadi dalam otak.

         Sementara itu Huga menggulum bibir, berusaha sekuat tenaga agar tidak tertawa.

Terpopuler

Comments

Filanina

Filanina

apakah ini akan jadi beberapa kasus dalam 1 buku atau hanya kasus ini?

detektifnya udah bagus. anak2 bisa jadi malah membuat pelaku kesal dan mengincar mereka.

2024-04-04

0

Filanina

Filanina

memberikan

2024-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!