IX

Koridor nampak begitu sepi ketika Lilya keluar dari UKS. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi yang jelas insiden kemarin telah merubah kehidupan SMK Tunas Nusa yang damai menjadi penuh terror.

      Sembari menghela nafas lelah, Lilya yang hendak kembali ke kelas tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika mendapati seseorang tengah memperhatikannya dari atas tangga.

"Saya kira detektif seperti anda tidak punya waktu untuk santai\-santai ditengah kasus yang masih belum terpecahkan?" Lilya tersenyum simpul sembari mengamati sosok pria yang tengah duduk di anak tangga sambil menikmati rokoknya itu.

"Tepat seperti yang kau bilang, tidak ada waktu untuk santai\-santai." Huga lekas mematikan rokok lalu membuangnya ke tempat sampah di samping. "Kenapa kita tidak langsung ke inti pembicaraan saja?

      Lilya merasa sesuatu terbakar dalam dirinya, ia mengutuk diri karena gagal menyadarinya sejak awal. "Pak Huga semalam ada di ruangan samping TKP kan? Kalau iya, kenapa bapak cuman diam dan gak mergokin kita?"

      "Saya cuma ingin membenarkan spekulasi kalian soal 'burung' dan 'mbak kunti'. Terlebih lagi..." Huga bangkit, menuruni anak tangga dengan santai hingga akhirnya berdiri di hadapan Lilya. "Saya tidak mau menggagu proses penyelidikan kecil kalian."

     Lilya tergelak, "itu aneh, apakah kasus ini sebegitu sulitnya sampai anda memberi orang awam kesempatan untuk ikut terlibat?"

"Jangan salah faham, saya bisa saja memberikan surat panggilan ke orang tua kalian karena bagaimana pun yang semalam itu aktifitas ilegal yang bisa menghalangi proses penyelidikan."

Lilya menatap sengit. "Bapak ngancam saya?"

"Saya hanya menjalankan kewajiban, tapi semuanya tergantung kau juga sih." Huga mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya.

Sementara itu Lilya berfikir keras, akan sangat fatal kalau sampai orang tuanya terlibat, disisi lain hampir semua ucapan Huga seolah bertumpu pada kesalahan Lilya sendiri. Meski dalam hati memuji metodenya, gadis itu tidak terima kalau harus terseret arus yang sengaja dibuat.

      "Pak Huga, ayo buat kesepakatan. Saya tahu penyelidikan anda sedang buntung, bagaimana pun juga anda butuh seseorang yang bisa membaur agar lebih leluasa mencari informasi. Saya akan bantu, tapi sebagai gantinya tadi malam saya dan Arvin cuma main 'hujan-hujanan' aja. Gimana?"

Masih dengan sikap tenang Huga menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Untuk beberapa saat ia hanya menatap Lilya tanpa ekspresi. Sifat gadis ini mengingatkannya pada seseorang yang telah lama hilang dalam hidupnya.

"Orang\-orang mengenal saya sebagai anggota kepolisian dan punya bakat untuk jadi penyidik. Tapi yang mereka tidak tahu adalah rasa apatis saya terhadap instansi dan gelar profesinya, karena sejatinya saya ini budak rasa ingin tahu. Jadi tidak peduli metode dan jalan apa yang digunakan selama keingintahuan saya terjawab, itu sudah cukup."

Lilya menghela nafas panjang, sejujurnya ia tidak menyangka akan menedengar pengakuan blak\-blakkan seperti ini keluar dari mulut seorang detektif resmi. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga kalau Huga berkata begitu agar kewaspadaan Lilya melonggar. Apa pun itu yang penting sekarang semuanya beres.

"Berarti deal ya!, sekarang saya permisi mau mulai cari informasi ke anak\-anak lain." Ujar Lilya yang hendak melengos pergi.

"Sebelum itu ikut saya dulu." Huga berjalan ke arah sebaliknya, tanpa menunggu ia terus melangkah sambil menikmati rokoknya.

"Ikut kemana?" Lilya menoleh mendapati punggung Huga kian menjauh.

Tanpa menoleh Huga menjawab. "Kalau memang ingin tahu, kenapa tidak pastikan sendiri?"

Klek!

      Setelah pintu ruangan itu terbuka Lilya pun mengikuti Huga masuk ke dalam kelas yang dipakai sebagai tempat introgasi murid.

      "Teh manis atau tawar?" Tanya Huga yang langsung berjalan ke salah satu meja dengan teko pemanas dan gelas-gelas kertas bertumpuk di atasnya.

      "Karena diabetes tipe dua itu penyakit ribet, jadi teh tawar aja." Lilya memperhatikan seisi ruangan yang tak ubahnya sebuah kelas, terkecuali gundukan kertas dan keresek sampah yang ditaruh berdampingan di bangku paling belakang.

       "Pak Huga, anda ini beneran detektif dari kepolisian kan?" Tanya Lilya acuh tak acuh.

        "Untuk sekarang sih iya, tapi tidak setelah kasus ini selesai." Sambil bicara Huga merogoh saku bagian dalam overcoatnya dan menunjukan sebuah police badgen, "benda ini tidak berarti apa apa setelah saya keluar nanti."

       Lilya mendekat dan mengamati logam di atas bungkus kulit hitam itu dengan takjub. "Wah sayang sekali ya, padahal detektif itu profesi yang lumayan susah didapat, kan?"

       "Hmm... tidak juga, buktinya banyak junior saya yang berkualitas dan loyal terhadap perkerjaannya. Saya ingin memberi mereka kesempatan, lagi pula saya sudah tua." Setelah dirasa cukup, Huga pun mengantongi police badgenya dan kembali sibuk membuat teh.

         "Padahal masih kelihatan muda..." Lilya berbalik dan duduk di salah satu bangku. "Terus apa rencana bapak setelah nanti keluar?"

      "Yahh... kalau itu sih biar diri saya di masa depan yang memutuskan," jawab Huga tanpa beban.

      Lilya menopang dagu. Ia kira Huga itu tipe orang yang sangat perhitungan, tapi sepertinya tidak begitu.

      "Btw kalian semua memang pekerja keras ya, sampai-sampai TKP aja dijagain semaleman," Lilya tersenyum simpul sembari melirik Huga. "Atau cuman anda saja yang begitu?"

       Huga tergelak lalu berbalik sambil membawa gelas berisi teh hangat di kedua tangan. "Perlu saya ingatkan kembali, yang seharusnya memberikan penjelasan itu nak Lilya, bukan sebaliknya."

         Lilya mengedikkan bahu "penjelasan apa? Kesepakatannya kan saya bakal bantu cari info dari anak-anak sekolah."

        Huga menaruh kedua gelas itu di meja sebelum duduk di hadapan Lilya. "Kau yakin? saya tidak pernah mengiyakan ajuan kesepakatannya loh."

         Lilya hendak perotes, tapi dalam ingatannya pun ia sadar kalau Huga hanya menjelaskan tentang tujuannya sendiri tanpa menyinggung soal kesepakatan. Sayangnya saat itu Lilya salah mengartikannya sebagai tanda persetujuan.

        "Tenang, saya hanya perlu memastikan sesuatu" lanjut Huga dengan santai.

       "Ah udah lah langsung aja, emang apa yang mau bapak pastiin?"

       Huga menyender ke punggung kursi. "Apa pendapat kau soal kasus ini? Tentunya selain yang sudah diberitakan ke publik."

        "Yah menurut saya sih itu-" seakan baru tersadar dengan pertanyaannya, seketika ekspresi Lilya mengeras, ia menegakkan tubuh dan mulai menatap Huga lekat. Kapan lagi ia bisa membicarakan kasus dengan detektif sungguhan. Tak bisa dipungkiri Lilya jadi merasa sedikit bersemangat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!