III

"Oi, jangan ngebut-ngebut dong!" Protes Arvin sambil memegang erat pundak gadis itu.

        "Vin, menurut gue kebakaran itu bukan karena korsleting listrik," ujar Lilya acuh mengabaikan rengekkan sahabatnya.

        "Iye gua paham, lagian lu udah bilang kek gitu berkali-kali."

        "Nah kalo emang gegara korsleting listrik, berarti listrik sekolah harus dimatiin ampe sumber kerusakannya dibenerin. Tapi kerjaan kek gitu kan ga mungkin beres sehari, apalagi polisi-polisi juga pada sibuk olah TKP. Ampe sini gue bener dong?"

        Sesaat Arvin terdiam, enggan meneruskan, "Jadi sekarang lu mau mastiin listrik sekolah dimatiin engganya?"

      "Itu baru rencana tahap satu. Kalo semisal listriknya nyala, berarti kita lanjut ke tahap dua alias otw ke TKP" Lilya menjelaskan dengan enteng, sedangkan Arvin mulai memijit pelipisnya yang mendadak pening.

        "Itu ilegal, bodoh..."

        Lilya menggelengkan kepala penuh kekecewaan. "Wahai anak muda, sesungguhnya tidak ada kata ilegal dalam pencarian kebenaran."

        "Lu kata Sun Go Kong yang ke barat nyari kitab suci?!"

        "Lah iya dong, gue Sun Go Kong lu si Pat Kai. Dah cocok emang!"

        "Hah?! Monyet ama babi dong?" Arvin menyerah.

       Sementara itu Lilya tergelak heboh sambil menambah kecepatan. Mereka pun melesat menembus malam.

...* * *...

20 menit berlalu, akhirnya mereka sampai di sekolah. Setelah memarkirkan motor di bahu jalan, mereka pun berdiri menghadap gerbang setinggi 3 meter yang terkunci. Tentunya masing-masing dari mereka memikirkan hal yang berbeda.

        "Sialan... kenapa pake nyala sih." Dengus Arvin sambil melirik Lilya yang nampak begitu bangga pada dirinya sendiri.

        "Tahap dua vin, gue duluan yang naik ntar lo nyusul. Ok?" Tanpa menunggu jawaban, Lilya langsung membuka resleting jaketnya dan maju mengambil posisi untuk memanjat.

        "Oi Lia tunggu dulu!" Arvin berusaha keras menahan suaranya agar tidak berisik.

        Namun dengan sengaja Lilya mengabaikan Arvin dan terus naik hingga mencapai puncak.

         "Lihat, gampang kan?" Ujar Lilya kemudian berganti sisi dan menuruni pagar hingga mendarat di bagian dalam dengan selamat.

        Arvin tak berkutik. Ia akui kalau Lilya lebih hebat dalam hal-hal nekat seperti ini.

        "Ayo buruan. Gue tungguin nih," Lilya tersenyum jahil.

        "Tangkep gua ya kalo jatuh." Dengan enggan Arvin mendekati pagar. Ia mendongkak, mencoba mengukur jarak.

         Setelah merasa cukup yakin, cowok itu pun mulai memanjat dengan gerakan kaku. Meski membutuhkan lebih banyak waktu dari pada Lilya, tapi akhirnya ia berhasil sampai di atas. Semua tampak baik-baik saja hingga saat berpindah posisi, kaki Arvin salah menjejak hingga meruntuhkan keseimbangannya.

         "Aahhh! Lia tolongin gue! Pa-pagernya! Pagernya mo copot!"

        "Pfftt! Mana ada pagernya copot" Lilya mundur beberapa langkah agar mendapat visual penuh dari sahabatnya yang bergelantungan heboh di atas sana. "Yang ada lo nya aja yang ja-"

        Bukk!

       "...tuh."

        "Aaaa!!!"

        Dengan posisi pantat yang mendarat terlebih dahulu, Arvin berteriak menahan nyeri.

        "Pfftt! Anjir vin j-jangan berisik!!" Sambil berusaha keras menahan tawa Lilya berlari menghampiri Arvin dan membekap mulut cowok itu.

        "Mmmpp!" Arvin melepas tangan Lilya. "Lu kagak nolongin gua!"

        "Sssttt!!! Gue kan tadi ga bilang 'iya'" Lilya kembali membekap mulut Arvin, ia tak kuasa menahan tawa hingga airmatanya mencuat dari sela-sela mata. "Haha..., Lagian gue harus apa? Jadi matras buat nahan pantat bau lo?"

        Arvin kembali melepas tangan Lilya dan menyalak. "Iya!"

        Plak!

        Lilya membekap kembali mulut Arvin. Kali ini cukup keras hingga cowok itu tak bisa bernafas.

        "Mmpp! Mmmppp!" Arvin menyilangkan kedua tangan tanda menyerah.

        Lilya berusaha mengatur nafas hingga rasa tergelitiknya benar-benar hilang.

        "Kita ga boleh buang-buang waktu di sini, ayo." Perlahan Lilya melepaskan cengramannya.

        Dengan nafas terengah-engah, Arvin memegangi leher sambil menatap datar sahabatnya. "Gila lu... mau bunuh gua apa?"

        "Iya iya sorry. Abisnya lo ngakak materials bet." Lilya menjulurkan tangan, membantu Arvin bangkit.

         Tentu saja bagi Arvin pengalaman terjun dari ketinggian 3 meter itu tidak bisa dilupakan begitu saja. Terlebih, kini pantatnya mulai berdenyut.

        Sambil berdebat dan saling melempar canda, mereka pun berjalan menuju bagian belakang sekolah tempat gedung lama berada. Meski lampu jalan dan koridor menyala, suasana sekolah masih saja terasa mencekam.

        Selama perjalanan Arvin tak bisa berhenti mengeluh dan menggerutu, sementara Lilya nampak acuh mengamati lingkungan sekitar dan bangunan-bangunan yang mereka lewati.

        Setelah melewati persimpangan dan lab teknik mesin, akhirnya mereka sampai di depan gedung berlantai 2 yang nampak tua namun terurus itu.

        "Demi apa.... kita beneran dateng ke sini...?" tanpa sadar Arvin bergidik ketika kilat petir mempertegas siluet gedung di hadapannya.

        "Ya demi mengungkap kebenaran lah," Lilya dengan santai mengacungkan kepalan tangan dan berjalan mantap menuju tangga.

        "Tunggu bentar napa." Protes Arvin sambil mengekori.

        "Lo pengen cepet balik kan? Yaudah jangan buang-buang waktu." Dengan penuh semangat Lilya menjejaki tiap anak tangga di hadapannya. "Lagian keknya bentar lagi mau ujan deh, dari tadi banyak petir soalnya."

          Arvin tak bisa perotes, toh dia sendiri juga yang memutuskan untuk ikut. Setelah menaiki semua anak tangga dan melewati beberapa ruangan kosong, akhirnya mereka sampai di ujung koridor tempat ruangan club bahasa inggris dulunya berada.

        Garis kuning nampak membentang di pintu yang lapuk menghitam itu. Bisa dirasakan juga aura aneh keluar dari sela-sela retakannya yang hangus. Tanpa ragu Lilya mendorong pintu itu, dan ruangan sebesar kelas pun menyambut dalam gelap dan hening.

         Arvin yang berdiri di belakang Lilya langsung menutup hidung akibat bau gosong yang menyengat. Sementara itu Lilya menelan ludah, tak menyangka kondisinya akan seburuk ini. Meski begitu gadis itu tetap melangkah maju dan masuk. Dengan hati-hati ia melewati garis polisi sembari menyalakan lampu flash hp sebagai penerangan.

        Cuit! Cuit!!

       Tiba-tiba terdengar gema suara seperti burung pipit dari ruang sebelah. Mereka berdua pun seketika mematung dan saling menatap.

      "Apaan tuh?" Bisik Arvin dengan hati-hati.

     "Halah... c-cuman suara burung kan itu?" Lilya tetap berusaha tenang, meski tangannya mulai gemetaran.

      "Katanya sih suara mbak kunti juga gitu" timpal Arvin dengan lebih santai. Ia pun ikut menyalakan flash hp dan mengarahkannya ke tembok dan langit-langit. "Mau dicheck ga, kali aja iya."

      Lilya berdecak, "Ish! Orang aneh macam apa yang malah sengaja cari mati coba?"

        Arvin menatap datar gadis itu sembari menunjukkan jari tengahnya. "Sadar diri napa nyet."

       "B-berisik ah, mending kita cepetan cari petunjuk." Lilya memalingkan wajah dan mulai menyusuri tembok mencari saklar listrik yang rusak.

      Arvin terdiam memperhatikan gelagat Lilya yang berubah kikuk itu. "Lu sebenernya penakut ya? makanya lu ngajak gua."

       "Kalo iya emang kenapa?" Lilya berbalik dan mengarahkan lampu flashnya ke wajah Arvin.

        "Anjir lu, silau tau!" Protes Arvin sembari menghalau cahaya itu dengan tangannya.

      "Eh lihat deh," Lilya kembali mengarahkan flashnya ke depan. "Saklarnya di pojokan sana, tapi yang parah kebakar malah tembok samping lu."

       Mendengar itu Arvin pun mengarahkan flashnya ke samping dan mendekati tembok. "Paan nih kabel-kabel?"

       "Coba tarik," titah Lilya yang masih sibuk memperhatikan saklar di seberang ruangan.

        "Plis lah gua ga mau ngotak ngatik nih tempat, ntar polisi tau lagi kita ke sini." Tolak Arvin sembari melipat tangan di dada.

        "Yah, kagak ditarik juga gue yakin kalo kabel-kabel itu ga nyambung ke mana pun. Alias palsu. Alias petunjuk jebakan," jelas Lilya yang mulai mengarahkan flashnya ke lantai dan menemukan sesuatu yang selama ini ia cari-cari.

       "Kenape juga dugaan gue bener semua?" bersamaan dengan kilat petir, Lilya menatap teduh gambar garis yang membentuk tubuh manusia di lantai.

        Arvin menghampiri, berdiri di samping Lilya dan ikut memperhatikan pola yang sedang gadis itu amati. "Sialan lu... sekarang kita harus apa?"

       "Pertanyaan bagus," Lilya berjongkok, memperhatikan setiap bercak merah dan hitam di lantai dengan seksama. "Kita harus cari tahu siapa pelakunya."

Terpopuler

Comments

Filanina

Filanina

Thor, support balik ya. kritik dan saran juga.

2024-04-04

1

Filanina

Filanina

dugaan apa maksudnya?

2024-04-04

0

Filanina

Filanina

nekad.

2024-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!