VIII

Hal pertama yang muncul di kepala Lilya ketika melihat pria asing itu adalah 'kenapa pakai overcoat hitam di siang bolong begini?' Entah disengaja atau tidak, tapi berkat itu Lilya juga jadi ingat dengan salah satu petugas kepolisian yang berpapasan dengannya kemarin. Selagi memperhatikan pria yang tengah membopong sahabatnya, ia mulai menyadari kalau pertemuan ini bisa cukup berbahaya.

       Saat tiba di UKS, Huga langsung menidurkan Arvin di ranjang pasien sebelah jendela. Pencahayaan dan sirkulasi udara yang bagus membuat ruangan ini terasa nyaman.

      "PMR pada kemana sih?" Decak Lilya setelah memastikan tidak ada satu pun orang yang berjaga.

      "Tentunya selain guru, banyak juga murid yang tidak masuk akibat kekacauan kemarin," tanggap Huga dengan tenang sambil mengangkat kedua kaki Arvin setinggi 30 cm.

Lilya berjalan menuju nakas mengeluarkan baskom dan handuk kecil. "Terus kalau tau situasinya masih belum kondusif kenapa sekolah ga diliburin aja?"

"Itu saya yang minta," ujar Huga dengan enteng.

Dalam diam Lilya mengisi baskom dengan air dari washtafel dan menghampri meja samping kasur yang ditiduri Arvin. Sambil berfikir, ia memeras handuk kecil lalu menaruhnya di kening Arvin. Sekarang kecurigaannya telah terbukti, Huga bukanlah petugas polisi biasa. Mulai sekarang ia harus menjaga ucapannya.

      "Wah... sepertinya bapak ini orang penting ya. Sejujurnya saya sendiri tidak terlalu peduli dengan insiden kemarin, tapi kalau dampaknya merugikan seperti ini repot juga sih," jelas Lilya dengan tenang

      Huga tersenyum semu. "Saya kira murid-murid suka situasi tidak pasti seperti ini, bahkan beberapa dari mereka sudah memulai penyelidikannya sendiri loh. Memangnya kau tidak penasaran dengan apa yang terjadi?"

      "Haha! saya malah lebih penasaran sama detektif senior seperti anda yang getol menanyai para murid seakan mereka itu ada hubungannya dengan kebakaran itu. Padahal sudah jelas penyebabnya karena korsleting listrik, kan?" Lilya sengaja menekan akhiran kalimatnya sembari mengamati Huga dari sudut mata. Terlihat jelas lengkung di bibir pria itu makin lebar.

"Saya tidak ingat pernah memperkenalkan diri sebagai 'detektif senior', saya juga tidak mengatakan keperluan saya di sini untuk apa, dan saya ingat kalau kau itu 'tidak terlalu peduli' dengan insiden kemarin. Lalu bagaimana bisa orang yang 'acuh' seperti kau berdeduksi sangat tepat kalau memang tidak tidak punya ketertarikan?"

      Lilya terkekeh sambil mengutuk diri dalam hati. Kenapa juga ia bisa salah omong? Terasa jelas kalau suasananya jadi berat. Meski Huga semua itu sambil tersenyum ramah, Lilya bisa sangat paham kalau kecurigaan Huga tidak main-main. Kini Lilya harus memikirkan cara untuk menetralkan keadaan.

      "Itu tidak--"

"Eng... di mana nih?" suara lemah Arvin tiba\-tiba menyela, membuat perhatian keduanya teralihkan.

      "Akhirnya bangun juga," ujar Huga sembari menurunkan kaki Arvin.

      Arvin yang masih kebingungan mengerjapkan mata mencoba menyesuaikan penglihatan dengan ruang UKS yang kaya akan cahaya. Ia kemudian menoleh ke samping mendapati Lilya yang tengah tertegun.

      "Kenapa... lu?" tanya Arvin.

      Tanpa aba-aba Lilya langsung memeluk Arvin yang masih terbaring lemah. "Arvin! sialan lo pake pingsan segala lagi!"

"Oi nyet, berat\-"

"Maafin gue ya, tadi udah kelewatan." Tanpa mengindakhan perkataan Arvin, Lilya malah makin erat mendekap sahabatnya itu.

"G\-gimana... maafinnya? lu rese kek gini..." lirih Arvin sembari menepuk\-nepuk pelan punggung Lilya.

"Ah, ok ok sorry." Lilya lekas melepaskan Arvin dan tersenyum cerah.

Arvin menatap datar sahabatnya itu sambil mengacungkan jari tengah. Sebenarnya ada banyak kata\-kata kasar yang mengantri keluar dari mulutnya, tapi karena terlalu lemas, semua umpatan itu ditelannya kembali.

      "Bentar ye, gua masih pusing..." Arvin bangkit dan duduk menyender sambil melepaskan kompresan dari keningnya. Dengan kepala pening ia mencoba mengingat kejadian sebelum dirinya tumbang. Bersamaan dengan itu ia pun melirik Huga.

"Loh, Pak Huga kenapa ada di sini? kemaren kan saya sama ibu saya udah ngejawab semua pertanyaan bapak." tanya Arvin sambil mengembalikan handuk basah ke dalam baskom.

"Tentunya saya sangat menghargai bantuan nak Arvin dan ibu Sarah dalam kasus ini." Huga menoleh ke arah Lilya yang nampak memberengut. "Saya cuman kebetulan lewat, tidak ada salahnya kan membantu."

      "Iya nih gegara semalam saya ajak ujan-ujanan, sakit deh dia," Cetus Lilya sambil merangkul bahu Arvin.

Mendengar ucapan ceroboh itu Arvin langsung memberikan tatapan 'WTF' pada gadis itu. Entah apa yang sedang direncanakan Lilya, tapi kalimatnya barusan bisa saja memancing Huga untuk bertanya lebih lanjut, dan tentu saja Arvin tidak mau soal mereka yang menyelinap ke TKP malam tadi sampai ketahuan.

      "Yah, namanya juga masa muda, nikmati selagi sempat," tanggap Huga dengan santai.

      Arvin melohok, reaksinya itu hampir-hampir membuat ia pingsan lagi saking di luar dugaannya. Bagaimana bisa ini adalah pria yang sama dengan orang yang mebombardir ibunya dengan berbagai pertanyaan kemarin?

"Setuju!" Lilya mengangguk degan semangat.

      Arvin nampak kebingungan dengan dinamik kedua orang ini. Sebenarnya apa yang telah terjadi saat dirinya tidak sadarkan diri?

"Kalau begitu nak Arvin mau saya antar pulang? kebetulan saya ada kendaraan," tawar Huga yang langsung dibalas dengan gelengan kepala.

"Nanti saya minta jemput ibu aja," tolak Arvin.

"Begitu ya," kekecewaan sekilas tersirat di raut wajah Huga. "Kalau begitu saya permisi. Jika ada apa\-apa hubungi saja, nomornya ada kan?"

"Ya, kemarin ibu sudah save kok."

Cuit! Cuit!!

Mendengar suara familiar itu Arvin dan Lilya seketika mematung. Mereka ingat jelas kalau itu adalah suara burung pipit yang sama dengan yang mereka dengar waktu di TKP semalam.

Sementara itu Huga merongoh saku overcoat nya dan mengeluarkan hp. "Wah junior saya telfon nih, kalo gitu saya duluan ya." Huga pun berjalan santai ke luar pintu sembari mengangkat telfon.

"Bukan mbak kunti toh," celetuk Arvin dengan polos.

"Bukan. Malah lebih parah vin." Lilya mengacak\-acak rambutnya frustasi. Sikap tenang Huga malah membuatnya merasa tercekat, karena kalau ia jadi Huga ia pasti akan pempertanyakan lagi soal 'hujan\-hujanan semalam' yang tadi sempat disinggung.

"Untuk sekarang anggep aja kalo skenario buruk itu ga terjadi." ujar Lilya setelah menenangkan diri. "Sekali lagi gue minta maaf ya."

      Arvin memandangi Lilya dalam diam sebelum akhirnya membuang muka menatap jendela. "Lu mau gua jelasin?"

       "Sekarang itu ga terlalu penting, lo lagi sak-"

       "Singkat aja, dan lu ga boleh nanya-nanya lagi."

Lia menatapi wajah Arvin yang sedang menghadap ke samping itu. "Oke"

Arvin menghela nafas panjang. "Jadi tuh pas umur gua 8 tahun ortu gua cerai, sejak itu mereka ga pernah bergubungan lagi. Gua ikut ibu, makanya gua sama sekali ga deket sama bokap, terlebih dianya sendiri emang ga pernah ada niatan buat ketemu apalagi ngasih nafkah. Bahkan pas ketemu lagi di sekolah ini pun kita masing\-masing aja kek orang asing, soalnya dia juga yang sengaja ngehindarin gua."

       Lilya menunduk, seketika perasaan bersalah merasukinya. "Jadi gitu... gue ga tau Vin, maaf udah bikin lo ngomongin hal gaenak kek gini..."

"Yah gua juga salah kagak ngasih tau lu. Jadi impas ya," Arvin kembali menoleh dan tersenyum lembut.

Lilya mendengus, ia seakan diingatkan kembali akan alasannya berteman dengan cowok aneh satu ini.

      "Dahlah maaf-maafan terus kek lagi lebaran aja. Nih obat, abis minum ini lo tidur dulu aja." Lilya menyodorkan satu kaplet paracetamol dan air mineral gelas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!