XVII

"Napa diem?" Renaldi menunduk, mensejajarkan mata dengan Lilya yang sedikit lebih pendek darinya. "Mendadak bisu kah?"

"Heh! sabar kali gue juga lagi milih kata\-kata yang pas biar lo ga ngamuk," timpal Lilya tanpa gentar.

"Oh gue ngerti," Renaldi menegakkan tubuh dan memandang rendah Lilya. "jangan\-jangan lu kayak mereka\-mereka yang suka nudu\-"

     "B—belajar bareng!" Tiba-tiba Ersya berteriak. Selain sukses menghentikan kalimat Renaldi, ia juga sukses menghentikan jantung orang-orang.

     "Apa?" Tanya Renaldi.

   "Buat UAS nanti. M—mereka temen-temen aku." Sorot mata Ersya begitu meyakinkan sampai-sampai Renaldi luluh.

      Sementara itu sebuah garis lengkung tercipta di bibir Lilya. Bukan hanya tertolong, ia juga telah diberi ide untuk berimprovisasi.

     "Nah itu. Tadi kan gue bilang kalo gue tuh murid baru, jadi masih belum adaptasi sama kurikulum di sini. Jadi... gue mo minta tolong sama pacar lo yang genius itu buat ajarin gue. Udah janjian kok dari kemaren, cuman gue tadi bingung jelasin soalnya Ersya bilang dia takut gak dibolehin kalau lo ampe tau," terang Lilya dengan lancar.

"Terus tuh cowok?" Renaldi menunjuk cowok bermasker di belakang Lilya dengan dagunya.

     "Namanya Arvin. Dia juga kelewat bego jadi harus dihajar, eh, diajar."

Renaldi menatap lekat\-lekat Arvin dan Lilya sebelum akhirnya berbalik mendekati Ersya. Dengan penuh perhatian ia menatap lekat pacarnya itu.

"Kamu gak perlu takut... lagian semua yang aku lakuin itu demi kebaikan kamu, kan?" Tutur Renaldi yang langsung disambut anggukan kepala Ersya.

     "Lain kali kabari aku kalo ada yang kek gini lagi, biar ga salah paham." Renaldi mengelus rambut Ersya sebelum beralih ke Lilya dan Arvin lagi.

     "Awas ya kalo sampai ada apa-apa sama Ersya." Ancam Renaldi sambil menunjuk Lilya dan Arvin sebelum berlalu pergi.

     "Ribet banget sih jadi cowok," Gumam Lilya. Setelah Renaldi benar-benar pergi, barulah ia mendekati Ersya.

     "Lo diapain tadi? Gak ada yang aneh-aneh kan?" Lilya memastikan tidak ada luka di tubuh mungil gadis itu.

    "Aku gak papa." Ersya menggeleng lalu tersenyum penuh ketulusan. "Makasih ya, umm..."

"Lilya. Tadi kan udah gue sebut."

"Ah iya, Lilya dari 11 farmasi A ya?" Ersya kemudian mengalihkan pandangannya menuju cowok bermasker dan tersenyum penuh arti. "Arvin juga, makasih ya."

"Enggak\-enggak. Gua ga ngapa\-ngapain kok, ga perlu bilang makasih," sanggah Arvin dengan suara terpendam di balik masker.

"Udah lama ya kita gak ngobrol kayak gini..." Seperti belum puas, Ersya mendekat dan menyentuh leher Arvin. "Kamu lagi sakit ya? Kenapa gak istirahat di rumah aja?"

Refleks Arvin mundur, dan menutupi bagian leher yang tadi di sentuh Ersya. "G—gua gak papa."

     Untuk sesaat yang terasa sangat lama itu, Lilya merasa seperti nyamuk yang kebetulan lewat dan tak sengaja menyaksikan adegan reuni nolstagic dengan aura mencurigakan itu. Kalau saja saat di pelabuhan kemarin Arvin mau menjelaskan, meski hanya sedikit saja, Lilya mungkin tidak akan jadi nyamuk pengganggu yang siap menghisap darah keduanya.

"Heee... udah saling kenal ternyata..." Lilya sambil tersenyum lebar. "Dari interaksinya kayaknya dah kenal lama ya? Bahkan jauh sebelum lo pacaran sama Renaldi?"

    "Umm... iya, kita kan dulu satu club. Emangnya Arvin ga pernah cerita?" Kebingungan, Ersya pun melirik Arvin.

Sambil menghela nafas panjang Arvin yang sedari tadi memperhatikan bahasa tubuh kedua orang di hadapannya itu mulai berusaha tetap fokus. "Gua gak ngerasa perlu aja nyeritain hal yang gak terlalu penting."

     Kekecewaan nampak di raut wajah Ersya yang ia berusaha tutupi dengan senyuman, berbanding terbalik dengan Lilya yang terang-terangan tertawa.

     Dari kemarin, ketika Lilya menunjukan kertas berisi data Ersya, Arvin jadi sangat pendiam. Apa pun pertanyaan yang dilontarkan, terutama yang berhubungan dengan Ersya akan diabaikannya seolah ia tidak mendengar apa-apa. Meski bagi Arvin hal itu tidaklah penting, tapi bagi Lilya itu sama saja dengan Arvin telah memberinya cap sebagai 'orang yang tidak bisa dipercaya'.

     Selama ini Lilya sudah cukup bersabar. Entah kenapa gara-gara kasus ini, sahabat baiknya itu jadi terasa makin jauh. Lilya memang enggan mengakuinya, tapi fakta kalau dia tidak tahu apa-apa soal Arvin semakin keras bergema seiring berjalannya waktu.

     "Ersya... Arvin gak cerita soalnya dia gak anggep gue temennya," ujar Lilya dengan nada riang.

     "Bukan itu yang gua maksu-"

     "Apa? Gak bermaksud boong? Atau pura-pura gak denger pertanyaan gue?" Lilya tergelak. "Kalo lo gak terima yaudah coba jelasin sekarang."

     Arvin menatap Ersya. Gadis itu nampak sangat kebingungan."Ya ga bisa sekarang juga..."

     Ekspresi Lilya berubah dingin. "Lawakan lo ga lucu, tau gak."

     Seketika suasana menjadi super canggung. Antara Arvin yang enggan menjelaskan, Lilya yang emosi, dan Ersya yang berusaha keras memahami apa yang sedang terjadi saat ini. Mereka sibuk dengan permasalahannya masing-masing.

     "Anu... maaf, kalau boleh tau..." akhirnya Ersya memberanikan diri membuka mulut dengan sangat hati-hati. "Tadi katanya kalian nyariin aku karena ada urusan? Pastinya bukan buat belajar bareng kan...?"

     "Ah itu..." Lilya hampir lupa dengan tujuan utamanya. Gara-gara Arvin ia jadi terlalu kesal untuk mengingat strategi yang sudah disiapkan semalam. Untungnya Renaldi sudah tidak ada, sekarang ia bebas tidak perlu berhati-hati lagi. "Yang nuduh lo bunuh pak Ian ada banyak ya?"

     "Lia! Kok gitu pertanyaannya?" Protes Arvin yang hanya mendapat senyuman mengejek dari Lilya.

     "Iya. Emang banyak yang nuduh, terutama anak-anak dari luar club." Suara Ersya terdengar pilu. "Tapi... mereka cuman buang-buang waktu aja. Karena faktanya bukan aku pelakunya."

     "Hm, kalo itu sih lo gak punya hak buat putusin. Anyway ada orang yang lo dicurigain gak? Secara lo kan murid yang paling deket sama korban." Lilya makin lantang berbicara, sementara itu Arvin mencoba menghentikan dengan menarik tangan Lilya, tetapi gadis itu langsung menepisnya dengan sikap acuh.

     "A—aku ga bisa nuduh siapa pun..." Ersya terdiam beberapa saat sebelum kembali bicara. "Tapi anak-anak di club pada nuduh satu orang, dan orang itu juga anggota club."

     "Wah menarik. Siapa tuh?" Tanya Lilya penuh semangat.

     "Namanya Udo. Tapi gara-gara dituduh terus-terusan sama temen sendiri, dia jadi ga mau masuk sekolah lagi."

     "Dan alasan dia dituduh adalah?"

     Ersya menunduk, cukup lama ia terdiam seperti enggan memberi tahu. Namun, pada akhirnya ia pun menjawab. "Dia... orang terakhir yang kontekan sama pak Ian di hari kejadian."

     "Binggo! Lo tau Udo tinggal di mana?" Lilya nampak kegirangan sampai hampir melompat.

     "Tau. Deket kok dari sini tinggal ke daerah kost deket kampus swasta di ujung jalan." Ersya menerangkan sambil membuat arah imajiner menggunakan tangannya.

     "Sip. Ntar pulang sekolah kita jenguk si Udo yuk! Lo bikin alesan aja ke pacar lo, mau belajar di rumah gue. Ok gak?"

    "Eh? Umm..." Ersya nampak panik dan bingung di saat bersamaan.

     "Kok ngedadak gini sih? Lia, lu udah kelewatan. Bukannya tujuan lu itu buat nanya-nanya doang?" Untuk kesekian kalinya ucapan Arvin itu hanya ditertawakan oleh Lilya. Saat ini otak gadis itu penuh dengan dopamin dan adrenalin, sehingga segala sesuatu yang tidak penting otomatis terblock dari pikirannya.

    "O—ok deh, kalo gitu kita ketemuan di parkiran abis pulang sekolah?" Tanya Ersya yang tentu saja langsung dibalas dengan anggukan penuh semangat Lilya.

Sementara Arvin memijat pelipisnya yang mendadak pening.

     "Parkiran, pulang sekolah." Ulang Lilya sambil mengacungkan jempol.

Tanpa berpikiran aneh, Ersya yang tidak menyangka kalau saat pulang sekolah nanti perseteruan antara Lilya dan Arvin akan makin runyam pun malah jadi ikut terlibat.

"U—udah dong kalian jangan berantem." Ersya berusaha keras melepas cengkraman Lilya dari kerah baju Arvin. Ia tak menyangka kalau tangan Lilya begitu kuat, sampai\-sampai meski telah mengerahkan seluruh tenaganya Ersya masih tidak bisa melepaskan tangan Lilya yang hanya sebelah itu.

     "Gue sama Ersya mau ke rumah Udo. Lo kalo mau ikut terserah, tapi jangan gangguin gue, ngerti?" Setelah mengucapkan itu, Lilya pun melepaskan cengkramannya membuat Arvin dan Ersya hampir terjatuh.

     Sambil mengatur nafas, Ersya menatap Arvin cemas. Seakan mengerti, Arvin pun memberi isyarat agar Ersya segera pergi dengan Lilya.

     "Ntar gua nyusul pake ojek. Lu duluan aja bareng Lilya," tutur Arvin berusaha bersikap baik-baik saja meski jauh di lubuk hatinya ia menyadari kalau setelah ini berakhir, semuanya tidak akan sama lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!