X

“Menurut saya pembunuhan ini sudah direncanakan dari lama, dan saya yakin korban sudah jadi mayat saat kebakaran itu terjadi. Alasannya, karena tubuh korban ditemukan di tengah-tengah ruangan. Karena kan orang yang masih hidup gak mungkin diem aja di tengah ruangan kalau ada kebakaran, setidaknya mereka bakal berusaha lari menyelamatkan diri ke pintu."

Huga menelengkan kepala dengan ekspresi bertanya\-tanya. "Mungkin dia memang tidak berniat menyelamatkan diri?"

      "Yakali, bundir pake cara itu tuh ga efektif dan sangat menyiksa. Yah kecuali si korban udah benar-benar sakit jiwanya." Lilya mendengus namun sedetik kemudian kembali fokus. "Tapi kalau boleh jujur, saya juga tidak terlalu dekat dengan pak Ian, jadi ntahlah."

      "Sepertinya kau mulai ragu dengan pendapatmu sendiri?" Huga mengambil gelas dan meminum tehnya sedikit-sedikit.

       Lilya mengedikkan bahu, "anda mungkin megang hasil otopsi dan bukti konkret lainnya, tapi saya punya pendekatan metode pembuktian yang tidak mampu kalian para polisi lakukan, dan bapak sendiri secara sadar mengakui hal itu bukan? Karena kalau tidak, mana mungkin seorang anggota polisi membiarkan warga sipil pulang begitu saja setelah menyelinap ke TKP."

       Huga menaruh gelas, lalu menatap Lilya sambil tersenyum, "mari kita fokus ke inti permasalahannya dulu. Bagaimana dengan kemungkinan perampokan?"

Lilya menghela nafas panjang setelah sadar telah bicara keluar topik. "Yah, mana ada perampok yang bunuh orang seheboh itu. Kasus ini lebih kompleks."

       "Kemungkinan korsleting listrik?"

       Lilya membuat angka nol dengan menautkan jari telunjuk dan ibu jarinya. "Itu adalah kamuflase terbodoh yang pernah saya lihat."

Sambil tersenyum puas, Huga bangkit dan berjalan ke bangku paling belakang tempat tumpukan kertas berada.

"Tapi ya, kalau disebut pembunuhan biasa juga kayaknya kurang tepat..." komentar Lilya dengan arah pandangan mengikuti Huga. "Soalnya CCTV di sepanjang jalan ke gedung tua juga dirusak."

"Dengan informasi seminim itu kau cukup berani mengambil banyak kesimpulan ya." Huga kembali dengan secarik kertas ditangannya. "Satu pertanyaan lagi. Kenapa pagi hari?"

       "Kebakarannya? Ya tentu aja buat caper dan bikin kehebohan. Guru-guru juga bakal susah ngontrolnya, karena murid yang baru dateng pada langsung ke TKP dan foto-foto buat bikin status di sosmed." Jelas Lilya dengan santai.

        "Harus saya akui, daya analisis kau itu lebih bagus dari pada junior saya yang punya akses langsung ke semua bukti." Huga kembali duduk, ia menyodorkan secarik kertas yang dibawanya tadi ke hadapan Lilya dan mengeluarkan kertas lain serupa surat resmi di dalam amplop ber kop polisi. "Karena itu saya punya penawaran."

         Lilya tergelak menatap isi kedua kertas yang saling bertolak belakang itu, "jadi ini alasannya bapak tidak langsung mengiyakan pas saya ajak bikin kesepakatan?"

       "Loh, tidak ada salahnya kan berhati-hati?." Huga tersenyum.

       "Jaminan ya?" Lilya mengalihkan pandangan ke arah jam dinding yang menunjukan pukul 2.10. Setelah beberapa saat berfikir akhirnya ia mengangguk. "Ibu pasti sedih kalau sampai saya pulang membawa surat sanksi."

       "Sebenarnya saya juga bakal kena masalah kalau kau memilih kertas yang satunya lagi. Karena bagaimana pun juga warga sipil tidak boleh ikut campur dalam penyelidikan." Huga meraih gelas dan kembali meminum tehnya.

       "Haha! meski begitu sepertinya bapak tidak terlalu perduli ya." Lilya ikut mengambil gelas dan mencicip tehnya yang masih penuh. "Kan tujuan bapak cuman pengen tahu kebenaran dibalik kasus ini."

       "Keberhasilan penyelidikan itu nomor satu." Huga mengangkat gelasnya seperti hendak bersulang. "So... do we have a deal?"

     Lilya menyeringai. "Why not?"

Mereka pun bersulang.

...* * *...

Terpaan cahaya jingga menghiasi bagian atas mobil hitam yang baru saja terparkir di halaman sebuah rumah minimalis dengan pekarangan asri. Sarah keluar dari mobil dengan tote bag besar dalam dekapan. Sebelum menutup pintu mobil, wanita 40 tahunan itu menatap rumahnya seraya tersenyum. Seberapa melelahkannya pun pekerjaan, ia selalu merasa damai ketika kembali ke rumah.

        Dengan perasaan ringan wanita yang masih mengenakan segaram Nakes itu berlalu menaiki tangga batu menuju pintu rumah. Akan tetapi ketika hendak memutar kenop, ia baru sadar kalau kuncinya masih tersimpan di tas jinjing dalam mobil. Dengan terburu-buru ia pun berbalik setengah berlari. Sayangnya karena pandangan terhalang tote bag, Sarah tidak bisa memperkirakan jarak hingga tergelincir saat menuruni tangga batu.

Brakk!

"Hati\-hati tan!"

Seruan itu datang bersamaan dengan tangan yang dengan sigap menahan tubuh Sarah sementara tangannya lainnya mengamankan kotak yang terjatuh dari dalam tote bag.

"H\-Hampir aja..." Sarah mendongkak, membuat pandangannya bertemu dengan sosok yang masih memakai helm lengkap dengan jaket kulit hitam. "N\-nak Lia? aduh maaf tante ceroboh..."

Buru\-buru Sarah menegakkan tubuh dan mengambil kotak dari genggaman gadis itu.

"Itu teh melati? Pasti buat Arvin ya tante?" Dengan ceria Lilya membuka helm kemudian berlalu menaruhnya ke jok motor yang terparkir sembarang di ambang gerbang.

"Tau aja kamu minuman favoritnya," Sarah menyimpan tote bag di samping pintu lalu melanjutkan apa yang harus dia lakukan, mengambil kunci rumah dari dalam mobil. "Ohya tumben Arvin ga pulang bareng kamu?"

    "Ya kan udah tante jemput duluan tadi." Lilya melihat ke arah mobil yang kosong, lalu menuju pintu rumah yang masih terkunci dan berakhir menatap Sarah yang kebingungan.

"Apa? Tante jemput Arvin? Maksud kamu?" Sarah bertanya dengan suara menuntut jawaban.

Sementara itu Lilya terhenyak seakan baru menyadari sesuatu. "ahhaha yaampun aku ngomong apa sih, Arvin kan tadi bilang mau belajar dulu di perpus. Aduhh aku pelupa deh. Maaf tante."

Sarah menatap penuh selidik meski beberapa saat kemudian memilih mengabaikan dan kembali menuju pintu, memutar kunci rumah.

"Ah! Sini tante, belanjaannya biar aku aja yang bawain." tanpa pikir panjang Lilya langsung mengambil tote bag dari samping pintu. Gadis itu berusaha keras mencairkan suasana dengan sikapnya yang ramah.

"Aduh malah jadi ngerepotin gini, maaf ya," Sarah membuka pintu lalu mempersilahkan Lilya masuk.

"Ga papa kok! Aku langsung taruh ke dapur ya, tinggal lurus aja kan? permisi..." tanpa berlama\-lama Lilya langsung melesat melewati lorong.

Saat sampai di dapur, ekspresi cerah Lilya berubah suram. Ia langsung menaruh tote bag ke atas meja lalu merogoh hp dari saku.

Arvin 14.45: "ibu dah jemput, gua pulang duluan yak"

Begitulah chat terakhir yang diterima Lilya tepat setelah diskusinya dengan Huga selesai.

Lilya menghela nafas panjang berusaha keras menjaga emosinya. Kenapa juga saat itu ia tidak curiga sedikitpun? Arvin yang ia kenal tidak mungkin mau merepotkan ibunya sampai meminta jemputan. Meski setelah mendapat pesan itu Lilya langsung mengecheck UKS dan kelas, tapi kan tidak ada jaminan kalau Arvin memang pergi dengan Sarah.

      Dengan frustasi Lilya menatap layar hp.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!