II

Dalam kamar yang hanya berisikan kasur matras, Arvin terbaring santai menatap layar hpnya. Meski ingin mengakhiri hari dengan ketenangan, tapi pembicaraan di grup chat sekolah membuatnya tergelitik hingga melupakan kantuk.

Balon-balon pesan berisi opini bergulir cepat tiap detik sebab banyak detektif dadakan yang menyuarakan spekulasi rumpangnya secara bersamaan. Walau banyak analisis cerdas, tetapi esensi jawaban masih berputar bagai pusaran air tak berdasar.

"Harusnya Lia ikut nimbrung nih." Batin Arvin ketika menyadari ketidakhadiran sahabatnya itu di grup.

Karena tidak ada diskusi yang cukup menggugah, Arvin pun menguap bosan dan menatap jam dinding yang telah menunjukan pukul 22:45.

"Udah jam segini aja..." gumamnya lesu sambil memejamkan mata.

Dalam gelap, ia mencoba mengingat kembali kejadian pagi tadi. Tepatnya setelah pak Danu membubarkan para siswa. Tak lama berselang setelah semua masuk ke kelasnya masing-masin, guru-guru lain datang memberikan instruksi. Mereka ingin mencegah keributan ini tersebar ke luar sekolah sebelum pengumuman resminya dikeluarkan.

Namun tentu saja upaya itu berakhir sia-sia, karena sudah banyak murid yang terlanjur memposting status tentang insiden ini. Imbasnya, SMK Tunas Nusa menjadi tranding topic di internet.

Dalam kekacauan itu, Arvin menangkap ekspresi syok, bingung, juga takut bercampur sedih yang menghiasi wajah pucat para guru. Sekeras apapun seseorang menyembunyikan emosinya, mereka tetap tak akan pernah bisa mengendalikan micro ekspresi yang muncul dalam sepersekian detik di wajahnya. Dengan informasi yang minim itu Arvin bisa menyimpulkan kalau masalah ini jauh lebih serius dari yang ia bayangkan.

Setelah diberi pengarahan, semua siswa disuruh langsung pulang ke rumahnya masing-masing. Meski kegiatan belajar mengajar ditiadakan hari ini, tapi pihak sekolah tidak berencana meliburkan anak didiknya selama proses penyelidikan. Sejujurnya hal itu cukup mengganggu Arvin.

'Apa karena sebentar lagi akhir semester genap? atau ada alasan lain?' Arvin memukul ringan jidatnya berusaha mencari jawaban. Prinsipnya yang 'tidak akan memikirkan hal yang kelak akan terpecahkan dengan sendirinya' pun runtuh, untuk masalah yang satu ini ia merasa perlu menggunakan otaknya.

Drrrtttt! drrrttt!

Getar panggilan telfon tiba-tiba masuk. Dengan enggan Arvin membuka mata lalu bangkit meraih hp di lantai. Saat dicheck, nama Lylia terpampang jelas di atas fotonya yang tengah mengacungkan jari membentuk peace. Tombol hijau pun ditekan.

"Ya? hall-"

"Eyyyooo ma friend! cabut yuk!" teriak Lilya dari seberang sambungan.

"Ape sih nyet, maen teriak-teriak aja?"Arvin refleks menjauhkan hp dari telinganya, "niat banget bikin gue budeg..."

Lilya tertawa puas. "Sorry sorry, abisnya gue lagi bersemangat! lo turun deh, gue udah di depan rumah lo btw."

"Hah?" Arvin segera menghampiri jendela, dan benar saja tepat di depan gerbang sana Lilya tengah duduk di atas motor retro modifikasinya sembari melambai-lambaikan tangan.

Sesaat Arvin menahan nafas, berusaha sekuat tenaga agar tidak berkata kasar. "Lilya Lindberg... jangan teriak-teriak lagi ok? gue ke sana sekarang."

"Aasiiikkkk...." sorak Lia sembari menekan intonasi suaranya hingga yang keluar hanyalah bisikan tercekat.

Setelah menutup telfon, Arvin segera meraih hoodie merah yang tergantung di belakang pintu dan keluar menuruni tangga.

Sementara itu, sambil menunggu dengan tidak sabar Lilya menarik resleting jaket kulit hitamnya hingga ke leher. Meski udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, tapi semangat gadis itu tidak meredup sedikitpun. Di saat yang bersamaan, ia merasa bersyukur punya sahabat yang tinggal berdekatan dengannya. Karena selain bisa berangkat dan pulang sekolah bersama, dalam situasi seperti inilah peran Arvin sangat dibutuhkan.

Tap! Tap! Tap!

Derap suara langkah terdengar, disusul kedatangan Arvin yang tergesa-gesa ke luar gerbang.

"Mau ngapain lu?" tanpa basa-basi Arvin langsung bertanya.

Lilya tersenyum lebar. "Lo pantengin grup chat sekolah kan?"

"Yaa sedikit." Arvin memincingkan mata, "emang kenapa?"

Bukannya menjawab, Lilya malah cengengesan sambil mengetuk-ngetuk hp di genggamannya.

Belum genap setahun Arvin mengenal gadis bersurai coklat kemerahan itu, tapi semua gelagatnya sudah sangat tertebak. Berkat itu Arvin bisa langsung sadar jika 'rasa segan dan malu' yang ditunjukan Lilya sekarang adalah kamuflase dari keinginan sejatinya.

"Oh pantes malem-malem ngajak gua pergi naik motor, terus itu pake baju item-item, rambut dicepol, nanyain obrolan di grup pula..." Arvin melipat tangan di dada dan menatap Lilya tajam. "lu mau ke sekolah lagi? Mau liat TKP?"

Lilya tertegun, untuk beberapa saat ia hanya terdiam mengagumi tebakan tepat cowok di hadapannya. "Lo emang sahabat gue yang paling pengertian vin."

"Emang lu punya sahabat lagi selain gua?" tanya Arvin datar.

Bukannya menjawab, Lilya malah menyodorkan helm dan mulai mengkickstarter motornya.

"Eh eh! Bentar dulu, gue ga mau ikut-ikutan. Ntar kalo ketahuan bisa berabe." Arvin menyerahkan kembali helm retro chips di genggaman pada pemiliknya.

"Yaelah... malem-malem gini ketahuan siapa sih? Seberani apa pun polisi, mereka juga pasti mikir-mikir lagi kalo disuruh jagain TKP semaleman." Lilya dengan cepat menarik tangan Arvin dan mulai memasang helm itu secara sepihak. "Gue punya banyak dugaan, dan satu-satunya cara buat buktiin ya harus datengin TKPnya langsung."

Arvin menghentikan gerak tangan Lilya lalu menatapnya lekat, "Lia... itu kerjaannya polisi. Kalau kita ikut campur, nanti malah ngehambat proses penyelidikannya."

Lilya langsung menggeleng tegas, "Apa alasan korsleting listrik udah bikin lo puas? Gue lihat kok pas pulang ada ambulance, dan kalo emang ini cuman kebakaran biasa kenapa dateng banyak polisi? Terus kenapa guru pada panik pas tau anak-anak bikin status?"

Arvin menunduk, tenggelam dalam bimbang. Apa yang Lilya ucapkan memang tidak salah, tapi tetap saja baginya ini terlalu beresiko. "Lu napa ga ikut nimbrung di grup aja? Diskusi sama yang lain kan bisa. Gak perlu nyusahin diri sendiri kek gini."

Lilya tertawa hambar, "Pertanyaan bagus, tapi gue ga bisa jawab."

"Hah? Apaan dah?" Arvin mengernyit lalu berusaha melepas kembali helm dari kepalanya.

"Yaudah gue pergi sendiri aja deh. Sorry udah ganggu," Sesal Lilya sambil menggembungkan pipi, kemudian kembali mengkickstarter motonya hingga menyala.

Arvin memberengut, tidak ada alasan baginya untuk ikut campur dalam keputusan ceroboh Lilya atau ikut menyelidiki kasus itu. Lagi pula ia sudah muak dengan polisi.

Namun tepat sebelum gas diputar, tiba-tiba Arvin berubah pikiran dan naik ke boncengan sembari mengkaitkan tali helmnya. "Dasarrr.... Mana bisa gue biarin orang bego kek elu ke sana sendirian."

Lilya menengok dengan terkejut, tapi sejurus kemudian ia tertawa lepas. "Nah gitu dong!"

Brooomm!!!

Mereka pun melaju keluar kompleks perumahan menuju jalan raya. Tanpa memperdulikan kendaraan di sekitarnya, Lilya menyelip dengan kecepatan tinggi.

Terpopuler

Comments

Filanina

Filanina

rumpang itu apa?

2024-04-03

0

Manusia Biasa

Manusia Biasa

keren nih, gaya bahasanya serasa baca novel cetak

2023-10-31

1

Yem

Yem

Ide ceritanya menarik kak.. Buat penasaran..

2023-04-19

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!