XI

"Di mana lo sekarang?"

Ketik Lilya lalu mengirim pesan itu ke kontak Arvin yang rupanya sedang offline.

Lilya paham sahabatnya itu melakukan hal ini agar tidak ada orang yang merasa perlu mengabari Sarah. Tadi pun kalau saja Lilya tidak mampir dan langsung pulang ke rumah, mungkin sampai kapan pun ia akan percaya dengan chat itu. Sekarang yang jadi pertanyaan, kemana sebenernya Arvin pergi kalau bukan ke rumah?

"Bener-bener ya ni anak... banyak boongnya dah."

Tuk!

Lilya terlonjak ketika sebuah tepukan ringan mendarat di pundaknya.

"Kamu ga apa-apa nak? Belanjaannya terlalu berat ya?"

Dengan gerakan cepat Lilya menyimpan kembali hpnya ke dalam saku. Ia pun menoleh. "E-engga kok tante, segini mah gampang! Oh iya, abis ini tante mau ke rumah sakit lagi ya?"

Buru-buru Lilya mengalihkan topik. Meski hati ingin cepat-cepat mencari keberadaan Arvin, tetapi saat ini hal yang paling tepat dilakukan adalah tetap bersikap tenang dan normal.

Sementara itu menanggapi pertanyaan Lilya, Sarah menunduk mengamati baju dinas putih yang masih dikenakannya lalu tersenyum. "Iya, biasalah abis bikin makan malam tante harus pergi tugas lagi."

Bukannya tidak tahu, rutinitas ini memang sudah jadi tradisi. Sarah akan pulang untuk masak sekalian mempersiapkan diri untuk bagian jaga malam. Walau melelahkan, ia melakukan semua itu dengan sepenuh hati.

"Jadi perawat susah juga ya," ujar Lilya yang hanya ditanggapi Sarah dengan senyuman.

"Oiya, gimana keadaan sekolah sekarang? Tiap tante tanya Arvin jawaban dia pasti baik-baik aja, padahal... itu kan ayahnya sendiri yang jadi korban."

Lilya terdiam sejenak, ia tidak menyangka Sarah akan terang-terangan mengatakan hal itu, sangat berbanding terbalik dengan anaknya yang harus disudutkan terlebih dahulu baru mau bercerita.

"Anu... tante, aku turut berduka cita ya."

Sarah tersenyum lembut. "Kamu tidak kaget mendengarnya? Berarti sudah tahu ya? Pasti Arvin yang cerita."

"Begitulah..." Lilya menghela nafas berat, ia tidak tahu lagi apakah yang dikatakannya sekarang itu hal tepat atau tidak. "Pasti berat ya tante, tapi tante gak pelu cemas aku pasti bakalan ikut bantu kok kalau ada apa-apa. Jangan sungkan. Lagian penyelidikkannya udah jalan, bentar lagi juga pelakunya pasti ketangkep."

"Nak Lia..."

Meski masih mempertahankan senyumannya, bulir air mata mulai mencuat dari sela-sela kelopak mata Sarah. "Terima kasih... kamu memang anak yang baik. Sebenernya dari kemarin tante bingung harus bagaimana, padahal polisi sudah datang ke sini, tapi tetap aja..."

Perlahan Lilya mendekat dan memeluk Sarah. Perasaan Sarah jelas menyuarakan rasa sakit. Meski telah lama bercerai, tapi sebagai manusia nuraninya memang tidak bisa dibohongi.

"Yang sabar ya tante... maaf Lia ga bisa berbuat banyak." Ujar Lilya sembari menepuk-nepuk pundak Sarah.

"Enggak-enggak bukan salah kamu, ini tantenya aja yang terlalu sensitif," timpal Sarah sambil melepas dekapan lalu mengusap air matanya.

"Oiya tante, gimana kalau aku bantuin masak sebagai gantinya?" Dengan penuh semangat Lilya melihat-lihat bahan makanan di dalam tote bag.

"Kamu ini memang paling jago ya kalo soal naikin mood orang...." Sarah memijat tulang hidung diantara matanya lalu bergumam, "Coba aja Arvin kaya kamu..."

"Apa tante? Maaf Lia kurang denger tad-"

"Eh, tapi beneran gapapa nih?" Potong Sarah sambil mendekat dan ikut memilih bahan-bahan yang akan di masak. "Kamu belum pulang ke rumah kan? Gimana kalau keluarga kamu cemas?"

Lilya terkekeh "Halah... gampang itu. Ntar mereka aku kabarin. Lagian kan rumahku deket dari sini, beda satu kompleks doang. Yah... itung-itung sambil nunggu balesan chat-nya juga sih..."

...* * *...

Desir suara ombak dan kapal-kapal nelayan yang terikat di dermaga menjadi pemandangan apik di atas air sebiru langit. Di belakangnya, diantara deretan gudang penyimpanan ikan di pesisir, berdiri gedung mangkrak yang telah lama ditinggal. Di rooftop terlihat siluet pemuda yang tengah duduk bersila memperhatikan kegiatan para nelayan yang sedang menyiapkan kapal dan perlengkapan memancing.

Beberapa kali pemuda itu menguap sambil menopang dagu, menghitung waktu hingga 'dia' yang dinantinya tiba.

"Arvin!"

Teriakkan itu disusul dengan kemunculan Lilya dari arah tangga. Gadis itu berjalan cepat dengan wajah semerah tomat. Siapa pun yang melihatnya pasti sadar kalau amarahnya sedang memuncak.

"Lo udah seenaknya boong, terus sekarang harus gue jemput ke tempat beginian?! Bener-bener ya!"

"Lah, yang maksa minta sherlock siapa? Padahal udah gua bilang bisa pulang sendiri juga," tukas Arvin sambil menatap Lilya yang hanya berdiri sambil melipat tangan di dada.

Lilya mendecak pinggang, "lagian lo ngapain sih ke tempat beginian? Mana jauh lagi, ampir sejam gue pake motor."

"Di sini enak buat mikirin hal-hal filosofis," timpal Arvin, "terus tuh lihat, di mana lagi gua bisa nikmatin ekspresi super authentic gitu kalo bukan dari nelayan yang lagi siap-siap melaut ampe besok pagi."

"Lo boongin semua orang demi itu? Sumpah ya ga ngerti lagi gue." Lilya berjongkok lalu menyentuh dahi Arvin. "Lo masih sakit tolol."

Dengan cepat Arvin menepis tangan Lilya dan bergeser menjauh. "Gua kena flu, lu jangan deket-deket ntar ketulara- Uhuk! Uhukk!"

Lilya yang tadinya kesal pun kini hanya bisa menahan tawa karena tingkah heboh sahabatnya itu. Sementara Arvin buru-buru mengambil masker dari kantong keresek lalu memakainya.

"Huft! Mo gimana lagi, gara-gara gue juga kan lo jadi kek gini. Oiya tadi lo mampir ke apotek ya?" Lilya menunjuk kantong keresek putih yang nampaknya berisi obat.

"Iya lah. Yakali gua ambil semua obat di UKS."

Sambil menatap teduh, Lilya mengapit untaian rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga. "Padahal kan lo bisa minta gue beliin..."

Arvin terhenyak, tanpa sadar dirinya hanyut dalam keindahan yang selama ini ia abaikan. Siluetnya, rambut kemerahannya yang berkibar-kibar serupa api dalam lukisan berlatar langit nila dan magenta seakan menyeret waktu dalam keabadian.

"Ehem! Ngomong-omong lu kok tau gua ga pulang ke rumah?" Arvin mengalihkan topik, ia memutus kontak mata dan memilih kembali mengamati para nelayan.

"Ya gue ketemu nyokap lo lah, sekalian tadi bantuin dia masak." Lilya duduk menjulurkan kaki ke tepian. "Lo kenapa sih segitu ga maunya ketemu nyokap lo? Padahal dia lagi butuh ditemenin tauuu."

"Simple sih, gua ga mau nambah beban pikirannya, lagian gua bukan elu yang ngerti cara ngehibur orang." jelas Arvin.

"Ummm... tapi ya vin, gue penasaran deh sama alesan ortu lo cerai. Karena dari apa yang gue tangkep nyokap lo masih ada rasa sama mantannya."

Arvin menopang dagu dengan sikap bosan. "Mulai deh, kalo lagi penasaran omongannya jadi ga difilter..."

"Ups! Iya kah?" Saut Lilya langsung menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Gua ga bisa cerita banyak, soalnya mereka cerai waktu gua masih bocil. Tapi keknya gegara perselingkuhan deh."

"Lo ga pernah nanya detailnya gitu?"

"Lama-lama gua getok pala lu."

"Hehe... okok sorry." Lilya meregangkan badan sambil mengamati sekitar. Memang, tempat ini menyuguhkan pemandangan yang menggugah, tapi tetap saja hamparan laut yang tidak ada batasnya itu tidak bisa membeli hatinya yang terlanjur benci dengan hal-hal berbau perairan.

"Aaaaa! Ga suka bau laut! pulang aja yuk, lo kan masih sakit ga baik lama-lama di tempat lembab kek gini." Lilya hendak bangkit namun langsung ditahan oleh genggaman tangan Arvin.

"Sebentar aja... temenin gua dulu di sini." Pinta Arvin dengan nada datar.

Lilya menghela nafas dan kembali duduk. "Katanya ga boleh deket-deket biar ga ketularan.... lah ini malah modus."

Seakan tersadar Arvin buru-buru melepas cengkramannya. "Enak aja."

Lilya tergelak. "Halah... bilang aja lo takut nyokap lo masih ada di rumah kan?"

"Yah... itu juga termasuk sih..."

Mereka berdua terdiam, hanyut dengan pikirannya masing-masing.

"Oiya dari pada gabut di sini mending gue tunjukin sesuatu yang menarik." Dengan semangat Lilya mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya.

"Apaan..." seketika ekspresi penasaran Arvin berubah tatkala melihat kertas berisi data siswa yang sangat dikenalnya itu.

"Gue dah bikin perjanjian sama Huga, soal kita ke TKP malem-malem bakal aman asalkan kita nyelidikin Ersya. Sejujurnya gue juga heran, keknya Huga curiga banget sama nih ana-"

"Kenapa harus dia?!" Arvin merebut kertas itu dan mengamatinya lekat-lekat.

Lilya mengernyit. "Lah emang kenapa?"

Tanpa menggubris pertanyaan itu, Arvin memejamkan mata dan mulai tenggelam dalam memori kelam yang telah lama ingin ia lupakan.

"Dia..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!