VII

Huga menatap tenang gadis yang sedang menangis sesegukkan di hadapannya. Sudah hampir setengah jam dan kalimat yang dilontarkannya tidak lebih dari kutukan dan cacian untuk pelaku pembunuhan guru sekaligus mentornya itu. Sejujurnya Huga tak menyangka akan mendapatkan reaksi intense dan penuh emosi personal seperti ini, mengingat murid lainnya acuh tak acuh saat ditanyai.

        Namun, tetap saja pada akhirnya murid yang satu ini pun tidak bisa menjawab petanyaan dengan benar karena terlalu sibuk bergumul dengan emosinya. Bahkan suara tangisannya itu sampai mengundang beberapa orang yang lewat untuk berhenti dan mengintip dari jendela. Padahal ruang kelas ini sengaja disiapkan untuk dipakai sesi tanya jawab yang bersifat tertutup.

      Melihat tidak adanya kemajuan, Huga menyender ke punggung kursi dan meminum tehnya yang telah dingin. "Harus saya akui kalau dari semua anak yang sudah saya tanyai, baru nak Ersya saja yang reaksinya paling normal. Teman-teman kau yang lain malah acuh tak acuh bahkan ada juga yang malah bersemangat seolah-olah kematian gurunya ini sebuah permainan teka-teki."

      "D-dasar... orang-orang tidak punya hati.... Hiks... kenapa dia tega... pak Ian itu orang baik... hiks..." gadis berparas oriental itu pun ikut meminum tehnya dalam gelas cup kertas sampai habis tak bersisa.

      Sementara itu, Huga memeriksa kembali data siswa yang telah diprint. Dari apa yang tertera, bisa terlihat kalau hubungan Ersya dengan korban memang cukup dekat. Sejak masuk ke English Club, prestasi siswi kelas 11 tata busana ini meningkat pesat bahkan sampai tembus tingkat nasional. Padahal sebelumnya ia tidak memiliki riwayat prestasi dalam bidang apapun semasa SMP. Pastinya peran Ian Kurniawan sangat besar dalam perkembangan akademik Ersya selama hampir dua tahun ini.

      Meski semuanya nampak 'normal', beralasan dan masuk akal tapi tetap saja Huga merasa ada yang ganjil pada Ersya. Tentu firasat saja tidak bisa dijadikan acuan kecurigaan, karena itu ia butuh lebih banyak informasi dan bukti.

     Huga manaruh kembali kertas berisi data murid itu ke meja lalu menautkan tangan sambil mengamati Ersya. 'Lebih mengedepankan emosi ketimbang memberi informasi berguna bukanlah cara menunjukan kepedulian terhadap orang yang sangat berjasa dalam kesuksessan seseorang.'

     "Dengar... nak Ersya, saya sangat mengerti betapa terguncangnya kau atas kejadian ini. Pelakunya memang harus segera ditangkap dan dihukum. Maka dari itu saya sangat berharap nak Ersya bisa memberikan informasi yang mungkin bisa berguna untuk menangkap si pelaku, apapun itu akan saya dengarkan." Meski bicara dengan suara lembut, mata Huga memancarkan tatapan tegas.

      Ersya menunduk dan termenung sesaat. "M-maaf... " gumamnya hampir berbisik.

     "Yah mau bagaimana lagi... Sekarang kau boleh kembali ke kelas. Terima kasih atas kesediaan dan kontribusinya." Huga menjulurkan tangan ke hadapan Ersya. Dengan ragu gadis itu pun berjabatan tangan hingga saat hendak melepaskan tangan, Huga malah menahannya.

    "Kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan, kau bisa beri tahu saya, ok?" Ujar Huga sembari tersenyum ramah dengan mata yang memancarkan kilatan tajam.

    "B-baik..."

    Setelah Ersya mengangguk faham, barulah Huga melepaskan genggamannya. Gadis itu pun buru-buru meninggalkan ruangan sambil setengah berlari.

    Ridwan yang berjaga di luar pun hanya bisa terheran melihat kepergian Ersya yang tergesa-gesa itu. Meski sangat penasaran, ia dilarang seniornya untuk ikut dalam proses tanya jawab ini. Alasannya tentu saja karena kehadiran Ridwan dapat mengganggu konsentrasi seniornya itu.

    'Benar-benar alasan konyol,' protes Ridwan yang tidak bisa membantah.

     Namun, dengan keluarnya si murid terakhir berakhir sudahlah sesi tanya jawab bagi para angota english club. Ridwan mengecek jam di tangan yang masih menunjukan pukul satu lebih sepuluh. Ia tak menyangka prosesnya akan secepat ini, padahal ada lebih dari 50 siswa dari 3 angkatan. Entah bagaimana cara seniornya itu mengorek informasi dari tiap individu, yang pasti sekarang semuanya sudah selesai.

     Dengan perasaan lega Ridwan hendak masuk ke dalam ruangan ketika seniornya sudah berdiri tegap di ambang pintu dengan sebatang rokok tersemat di bibirnya.

     "B-bagaimana pak, apakah ada petunjuk baru?" Tanya Ridwan setelah hampir menabrak seniornya itu.

     "Tidak ada." Huga menatap ke ujung koridor menuju arah perginya Ersya.

      Ridwan menghela nafas lelah. "Lalu semua ini untuk apa?"

     "Tentu saja untuk mempersempit dugaan." Huga mengapit rokok diantara jari rampingnya, lalu menghisapnya lagi dan menghembuskan asapnya. "Kalau kau lelah, kau boleh kembali ke kantor. Lagi pula sudah tidak ada yang bisa kau dikerjakan di sini."

      "Anda sendiri bagaimana?" Ridwan menatap sebal senior yang suka seenaknya sendiri itu.

     "Saya mau menanyai dua orang lagi," jawab Huga santai.

     "Dua orang lagi? siapa? mereka bukan anggota club?" Ridwan ingat percakapan kemarin malam soal dua orang yang menarik perhatian seniornya itu. Sampai detik ini pun identitas mereka masih jadi misteri karena kekeras kepalaan Huga.

     "Kalau begitu saya ikut," tambah Ridwan seketika jadi semangat.

     Huga terkekeh sembari menyemburkan asap ke atas. "Yang satu ini agak lain. Jadi sebaiknya kau tidak membuang-buang waktu dengan ikut saya ngobrol dengan mereka."

     Ridwan berdecak, harusnya ia sudah bisa menduga jawaban itu. "Yasudah saya akan kembali ke kantor membuat laporan."

    "Semua rekapan tanya jawabnya sudah saya kirim lewat email ya," ujar Huga sembari mendekati tempat sampah dan membuang abu rokonya.

    "Kalau begitu saya permisi." Ridwan pun berlalu dengan rasa kesal yang masih membekas.

     Setelah juniornya benar-benar pergi, Huga menyender ke tembok sambil menatap langit-langit koridor. Perlahan dirinya hanyut dalam pikiran, ia berusaha merekap semua data yang diperoleh dari anak-anak yang ia tanyai ke dalam otaknya. Sampai sejauh ini semuanya masih berjalan lancar dan terkendali. Tinggal menemui dua anak itu...

     "Dia meninggal, Arvin. Kemaren abis sekolah dibubarin polisi dateng ke rumah lo kan? padahal udah tau, tapi malemnya lo malah berlagak gak tahu apa\-apa dan temenin gue ke TKP,"

      Huga mengenali suara itu. Sontak pria jangkung itu pun menoleh dan mendapati dua orang siswa tengah beradu argumen di ujung koridor sana.

       'Mereka masih saja ceroboh...' batin Huga sambil memperhatikan dengan tenang.

        Tanpa berniat mengkaitkan kejadian ini dengan istilang 'beruntung', Ia pun kembali menghisap rokoknya yang tinggal sedikit. Ia menunggu suasana lebih tenang untuk menghampiri mereka, tapi sayangnya kesempatan itu berganti menjadi sebuah keharusan karena apa yang dilihatnya salah satu dari mereka tiba-tiba saja terjatuh.

    BRUK!!

    Tanpa menunggu lagi Huga pun langsung mematikan rokok dan membuangnya ke tempat sampah seraya berlari ke arah mereka.

     "Arvin! Arvinn!!" Teriak gadis yang terduduk sembari menepuk-nepuk pipi temannya yang pingsan dengan panik.

     "UKSnya ke sebelah mana?" Tanpa pikir panjang Huga langsung menyambar Arvin yang terkulai lemah.

      "D-di sana pak, sebelah tangga!" Meski sempat linglung saat melihat Huga, Lilya pun bangkti dan berjalan cepat menuntun Huga menuju UKS.

       Sambil terus melangkah, Huga tidak menyangka pertemuannya dengan kedua anak ini akan jadi semerepotkan ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!