VI

“Apa yang kurang dari aku mas?! Kenapa kamu ngelakuin hal tega itu?!"

" Aarrgghh! Berisik! Saya sudah muak sama keluarga ini. Lebih baik saya pergi!"*

"Tunggu mas! Anak kita masih membutuhkan sosok ayahnya! Kamu mau ninggalin dia?"*

"Cih! Kalau dipikir-pikir, mana mungkin saya punya anak seaneh dia. Paling-paling itu anak hasil hubungan gelap kamu sama lelaki lain kan?!"*

"Astaga mas!"*

Gema pertengkaran itu riuh merayap menuju tangga, hingga tiba di dalam kamar berukuran 3x3 meter. Di sana nampak bocah lelaki tengah khidmat membaca buku. Sedikit pun ia tak hiraukan suara riak barang-barang pecah, tangis dan amarah yang datang dari bawah. Menelungup di atas kasurnya, bocah 8 tahun itu menopang dagu sambil sesekali membalik halaman novel karya Vladimir Nabokov dalam genggamannya. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa ayahnya sangat menyukai untaian kata penuh keindahan busuk yang memabukkan dalam buku ini. Ia juga tidak begitu mengerti hasrat mengekspresikan diri yang si tokoh utama agung-agungkan. Asing dan surreal, memori itu tak akan terhapus, sama seperti pertengkaran orang tuanya malam itu.

"Eh gila! Itu pak Ian kan?"

"Iya iya guru bahasa inggris itu!"

"Beritanya udah ditayangin semalem! Konspirasi macam apa ini?! Pembina sama ruangan clubnya sama-sama dibakar..."

Arvin mengangkat wajah, menatap lesu seisi kelas yang ribut akibat sekolahnya masuk berita tengah malam yang terkenal akan laporan insiden-insiden tragis dalam negri. Arvin menguap lebar, setelah tidur sambil memeluk meja selama hampir sejam topik yang dibicarakan orang-orang masih berputar di pembahasan yang sama.

"Kalau kek gini... mending diliburin aja ga sih..." gumam Arvin sembari memijat pelipisnya yang pening.

Dengan banyaknya guru yang tidak hadir dan minimnya informasi lanjutan, Arvin merasa kalau pihak sekolah cukup kewalahan dalam menangani masalah. Padahal ia ingin pulang secepatnya, selain karena pembelajaran yang tidak efektif ia juga merasa sakit.

Untungnya Arvin duduk di bangku paling belakang sehingga sedikit orang yang akan mengganggunya. Dengan lemas ia kembali memendam wajah di antara siku sambil memejamkan matanya. Untuk saat ini, dunia mimpi terasa lebih masuk akal dari pada kenyataan. Tapi sepertinya keinginan itu belum bisa terkabul sebab sebuah sentuhan lembut tiba\-tiba membelai rambutnya.

"Hei, lo ga papa?"

Suara setengah berbisik itu sukses membuat Arvin kembali mengangkat kepala dan mendapati tatapan penuh kekhawatiran yang tulus tengah menyorotnya.

"Lylia...?"

"Badan lo panas banget, ke UKS aja yuk biar lebih enak istirahatnya. Ada obat penurun panas juga kan di sana." Lilya dengan sigap membantu Arvin berdiri.

        "Ciee... pasutri kelas ini mo ke mana nih berduaan?" Sorak salah satu murid disambut sautan dari murid-murid lain.

        "Bacot..." Arvin nampak jengah tetapi tidak punya tenaga untuk melawan.

         Sementara itu Lilya malah seperti menikmatinya. "Iri bilang bos!" Timpal Lilya sambil tetap menuntun Arvin menuju pintu ke luar.

"Lu ya..." gumam Arvin dengan suara lemah.

"Hehe! Sorry sorry" ujar Lilya sambil terus memapah Arvin menyusuri koridor.

       Namun, setelah beberapa saat berlalu ekspresi Lilya berubah serius seakan sedang memikirkan sesuatu yang penting.

"Kenapa.... Lo ga pernah bilang kalau pak Ian itu bokap kandung lo?" Akhirnya pertanyaan itu pun terlontar.

"Haha kenapa juga gue harus bilang? dan lagi lu kan ga pernah nanya." Arvin tertawa ketir, sementara Lilya menghentikan langkah dan menatap tajam sahabatnya itu.

"Dia meninggal, Arvin. Kemaren abis sekolah dibubarin polisi dateng ke rumah lo kan? padahal udah tau, tapi malemnya lo malah berlagak gak tahu apa\-apa dan temenin gue ke TKP." Emosi mulai menguasai Lilya, ia mencengkram kedua bahu Arvin dan menyudutkannya ke tembok. "Gue paham lo punya masalah ama bokap lo dan ga pengen omongin itu kesiapapun, tapi please lah... lo gak bisa bersikap sok acuh gitu, karena mau gimana pun bokap kandung lo itu udah meinggal dengan cara ga wajar."

Hening.

Arvin hanya terdiam menatap Lilya yang hampir seperti orang lain di matanya. Ia tak tahu harus berkata apa, terlebih karena semua yang dikatakan gadis itu benar adanya.

       Namun tetap saja, bagi Arvin peristiwa ini tidak lebih dari sedar kasus kriminal yang biasa diberitakan di TV. Dari pada itu, saat ini ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya. Apa lagi kalau bukan perubahan drastis karakter Lilya yang jadi begitu rapuh juga penuh emosi seperti sekarang.

"Gua lega... akhirnya lu bisa nunjukin emosi yang selama ini selalu lu tutupi pake candaan." Arvin tersenyum sambil memegang lemah tangan Lilya yang masih mencengkram kuat bahunya. "It's ok, lu berhak untuk marah..."

Seakan tersadar, Lilya pun langsung melepaskan cengkramannya dan berbalik untuk menenangkan diri. "Aarrgg.... sialan lo vin!"

"Lah, dah sadar lu? Gua kasih tau ya, selain kerut di alis dan mata..." Arvin memegang tembok dengan sebelah tangan, berusaha menopang tubuhnya yang mulai mati rasa. "Jelas ekspresi lu itu nunjukin ketakutan\-"

Brukk!

Arvin roboh, ia sudah tidak bisa lagi mempertahankan kesadarannya.

      "Vin?" Lilya berbalik, mendapati sahabatnya sudah tergeletak di lantai. Dengan panik ia pun langsung menghampiri Arvin. "Eh yang bener aja lo!"

       Dalam kalut Lilya terus menepuk-nepuk pipi Arvin yang makin memucat. "Vin bangun!"

       Suara setengah berbisik itu sukses membuat Arvin kembali mengangkat kepala dan mendapati tatapan penuh kekhawatiran yang tulus tengah menyorotnya.

       "Lylia...?"

       "Badan lo panas banget, ke UKS aja yuk biar lebih enak istirahatnya. Ada obat penurun panas juga kan di sana." Lilya dengan sigap membantu Arvin berdiri.

"Ciee... pasutri kelas ini mo ke mana nih berduaan?" Sorak salah satu murid disambut sautan dari murid\-murid lain.

"Bacot..." Arvin nampak jengah tetapi tidak punya tenaga untuk melawan.

Sementara itu Lilya malah seperti menikmatinya. "Iri bilang bos!" Timpal Lilya sambil tetap menuntun Arvin menuju pintu ke luar.

      "Lu ya..." gumam Arvin dengan suara lemah.

      "Hehe! Sorry sorry" ujar Lilya sambil terus memapah Arvin menyusuri koridor.

Namun, setelah beberapa saat berlalu ekspresi Lilya berubah serius seakan sedang memikirkan sesuatu yang penting.

     "Kenapa.... Lo ga pernah bilang kalau pak Ian itu bokap kandung lo?" Akhirnya pertanyaan itu pun terlontar.

      "Haha kenapa juga gue harus bilang? dan lagi lu kan ga pernah nanya." Arvin tertawa ketir, sementara Lilya menghentikan langkah dan menatap tajam sahabatnya itu.

     "Dia meninggal, Arvin. Kemaren abis sekolah dibubarin polisi dateng ke rumah lo kan? padahal udah tau, tapi malemnya lo malah berlagak gak tahu apa-apa dan temenin gue ke TKP." Emosi mulai menguasai Lilya, ia mencengkram kedua bahu Arvin dan menyudutkannya ke tembok. "Gue paham lo punya masalah ama bokap lo dan ga pengen omongin itu kesiapapun, tapi please lah... lo gak bisa bersikap sok acuh gitu, karena mau gimana pun bokap kandung lo itu udah meinggal dengan cara ga wajar."

        Hening.

       Arvin hanya terdiam menatap Lilya yang hampir seperti orang lain di matanya. Ia tak tahu harus berkata apa, terlebih karena semua yang dikatakan gadis itu benar adanya.

Namun tetap saja, bagi Arvin peristiwa ini tidak lebih dari sedar kasus kriminal yang biasa diberitakan di TV. Dari pada itu, saat ini ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya. Apa lagi kalau bukan perubahan drastis karakter Lilya yang jadi begitu rapuh juga penuh emosi seperti sekarang.

       "Gua lega... akhirnya lu bisa nunjukin emosi yang selama ini selalu lu tutupi pake candaan." Arvin tersenyum sambil memegang lemah tangan Lilya yang masih mencengkram kuat bahunya. "It's ok, lu berhak untuk marah..."

       Seakan tersadar, Lilya pun langsung melepaskan cengkramannya dan berbalik untuk menenangkan diri. "Aarrgg.... sialan lo vin!"

       "Lah, dah sadar lu? Gua kasih tau ya, selain kerut di alis dan mata..." Arvin memegang tembok dengan sebelah tangan, berusaha menopang tubuhnya yang mulai mati rasa. "Jelas ekspresi lu itu nunjukin ketakutan-"

       Brukk!

       Arvin roboh, ia sudah tidak bisa lagi mempertahankan kesadarannya.

"Vin?" Lilya berbalik, mendapati sahabatnya sudah tergeletak di lantai. Dengan panik ia pun langsung menghampiri Arvin. "Eh yang bener aja lo!"

Dalam kalut Lilya terus menepuk\-nepuk pipi Arvin yang makin memucat. "Vin bangun!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!