"Apa maksud ucapan kamu, Adit?" tanya Ajeng.
"Mas Abi itu tidak bisa memiliki keturunan alias...."
"STOP!" potong Ajeng menghentikan Aditya mengeluarkan kata yang bisa membuat Abimana sakit hati mendengarnya.
Biarpun Abimana tidak terlahir dari rahimnya, bagi Ajeng Abimana adalah putranya. Bahkan dia bisa merasakan jika rasa sayang dan hormat Abimana lebih besar dari pada Aditya putra yang dia lahirkan. Karena itu Ajeng tidak ingin Abimana merasakan luka dihatinya. Tapi sepertinya dia terlambat mengetahui semua masalah yang terjadi antara Abimana dan Aditya, hingga melibatkan Alana yang harus menanggung beban semua ini. Sungguh malang nasib menantunya itu.
"Bunda selalu saja membela mas Abi." rutuk Aditya kesal. Siapa putra bundanya yang sebenarnya disini? Aditya selalu merasa di nomor duakan oleh ibunya.
"Tidak ada yang Bunda bela disini, Bunda hanya memihak kebenaran." jawab Ajeng menegaskan.
"Aku tidak salah Bun! Dan Aku punya bukti kuat melakukan ini semua. Aku mencintai Alana, aku juga menyayangi Mas Abi. Tidak masalahkan jika aku menitipkan benihku dirahim kakak ipar dan menjadi anak dari mas Abi. Setidaknya orang-orang tidak mengetahui kenyataan jika mas Abi tidak bisa memberikan keturunan dikeluarga ini. Dari pada Alana harus memiliki anak dari pria lain."
"ADITYA!" bentak Wijaya yang tidak suka dengan pembelaan dari Aditya.
Ajeng hanya bisa menagis mendengar pengakuan putra bungsunya. Dia gagal mendidik putra yang dia lahirkan. Mengapa Aditya berpikir sepicik itu? Ajeng sungguh tidak mengerti mengapa Aditya menjadi seperti ini.
Aditya pergi meninggalkan Wijaya, Ajeng dan Abimana setelah dibentak oleh Wijaya. Dia tidak terima disalahkan seperti ini.
"Abi, maafkan Bunda." ucap Ajeng menangis dipelukan Abimana, "Bunda salah mendidik adik kamu."
"Semua bukan salah Bunda. Abi yang salah, harusnya Abi bisa membaca perasaan Aditya yang ternyata mencintai Alana. Harusnya Abi membatasi interaksi mereka, bukan meminta tolong dia untuk menjaga Alana." ucap Abimana membalas permintaan maaf Ajeng.
"Sekarang bagaimana keadaan menantu dan cucu Papa?" tanya Wijaya.
Kesembuhan Alana jauh lebih penting sekarang menurut pemikiran Wijaya dari pada menghakimi Aditya. Semua sudah terjadi, tidak ada yang bisa disangkal lagi dan waktu tidak bisa diputar ulang . Bukti dan pengakuan Aditya sudah sangat kuat jika putra bungsunya jelas-jelas melakukan kesalahan. Tapi jiwa dan ketenagan Alana jauh lebih penting untuk mereka pikirkan, begitu juga dengan Arkana. Cucunya tidak boleh terlalu lama terpisah dengan ibunya, itu akan merusak tumbuh kembang anak itu.
"Semenjak Abi titip Alana di rumah sakit jiwa, kondisinya mulai membaik. Dia bahkan mencari Arkana dan merindukan putranya. Awalnya Abi ragu untuk mempertemukan Arkana dengan Alana. Setelah banyak pertimbangan, seminggu yang lalu Abi pertemukan mereka. Menurut bi Onah, Alana jauh lebih baik setelah bertemu Arkana. Tapi...."
"Tapi apa?" tanya Ajeng tidak sabaran.
"Satu minggu terakhir ini Abi sibuk dengan perusahaan sehingga tidak bisa mengunjungi Alana. Sampai tadi malam pihak rumah sakit menghubungi Abi, mereka memberi tahu jika Aditya satu minggu ini mengunjungi Alana setiap hari. Hal itu membuat Alana sering bermimpi buruk dan terus merasa ketakutan. Tubuhnya sering gemetar, dan sering mengurung dirinya dikamar mandi karena merasa kotor" jawab Abimana dengan air mata yang mengalir dipipinya. Andai dia tidak mengusik tentang perbedaan golongan darah Arkana denga dirinya dan Alana, keluarga kecilnya akan tetap bahagia.
Wijaya memijat kepalanya, Aditya sangat keterlaluan. Sudah tahu jika dirinya yang menjadi sumber ketakutan Alana, tapi anak itu seperti tidak peduli. Putra bungsunya itu hanya memikirkan dirinya sendiri. Sungguh Wijaya belum punya cara untuk membuat Aditya mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada Abimana dan Alana.
"Abi, katakan pada Alana jika semua yang terjadi itu tidak benar. Kamu minta maaf padanya, katakan Arkana adalah putramu, darah dagingmu. Ganti semua hasil tes DNA dengan bukti jika Arkana adalah putramu. Papa harap dengan begitu Alana bisa memaafkan dirinya sendiri dan juga kamu dan juga pada Papa dan bunda." ucap Wijaya memberi saran pada Abimana.
"Bagaimana dengan Aditya?" tanya Ajeng.
"Kamu urus putramu itu! Jauhkan dia dari Alana dan Arkana. Kirim dia keluar negeri!" jawab Wijaya memberi perintah pada sang istri. Untuk saat ini mungkin itulah cara yang terbaik, menjauhkan Aditya dari kehidupan Alana dan Abimana.
"Tidak perlu mengirimku keluar negeri, Arkana putraku kalian tidak bisa memisahkannya dari ku." sahut Aditya yang sudah kembali bergabung bersama keuarganya di ruang makan.
"Apa ini?" tanya Ajeng saat Aditya menyerahkan sebuah amplop berlogokan rumah sakit padanya.
"Baca saja! Itu bukti yang aku katakan tadi. Aku tidak berbohong." jawab Aditya.
Ajeng membuka amplop itu dan membacanya, isinya sama seperti yang Aditya katakan. Meskipun Abimana tidak bisa memiliki keturunan, bukan berarti Aditya bisa melakukan sesuatu dengan sesuka hati.
"Mengapa kamu yang menyimpan surat ini?" tanya Wijaya begitu dia selesai membaca isinya.
"Aku tidak ingin mas Abi kecewa dengan dirinya sendiri, dan merelakan Arkana menjadi putra mas Abi. Tapi sekarang kalian semua sudah tahu, jadi jangan halangi aku memiliki Arkana." jawab Aditya menjelaskan.
"Tidak bisa! Kamu akan tetap bunda kirim keluar, setidaknya sampai Alana sehat kembali." sahut Ajeng yang tidak suka dengan peemintaan aditya.
"Ayolah Bunda, dia putraku." pinta Aditya.
"Bunda ingin bertemu menantu Bunda. Kamu bisa mengantarkan Bunda, Bi?" tanya Ajeng pada Abimana menghiraukan permintaan Aditya.
"Papa juga ikut." timpal Wijaya.
Tiba dirumah sakit, Ajeng langsung memeluk menantunya itu. Ada sedikit ketenagan yang Alana rasakan saat wanita paruh baya itu memeluknya. Jiwanya yang kosong dan ketakutan merasa hangat. Selama ini dia menganggap Ajeng sebagai penganti ibunya, mereka cukup dekat sebagai mertua dan menantu. Sangat berbeda dengan ibu kandung Abimana, yang tidak begitu menyukai Alana menikah dengan putranya.
Setelah Alana terlihat tenang, Wijaya masuk bersama Abimana. Alana tersenyum pada ayah mertuanya, tapi tidak pada Abimana. Alana masih menyimpan rasa benci dan kesal. Apa lagi selama satu minggu ini Abimana tidak pernah datang mengunjunginya seolah membiarkan Aditya untuk menemuinya setiap hari.
"Apa kabar sayang?" tanya Wijaya pada Alana. Tangannya mengelus kerudung sang menantu.
"Al rindu Kana, Pa." jawab Alana.
"Akan Papa suruh sopir untuk menjemput cucu Papa dan membawanya kesini. Bagaimana?" balas Wijaya yang langsung ingin mewujudkan apa yang menantunya inginkan.
Alana mengangguk, "Terima kasih Pa." ucapnya.
"Untuk menantu kesayangan Papa, apapun akan Papa wujudkan. Tapi kamu janji untuk selalu bahagia, jangan sedih lagi." ucap Wijaya.
"Al, Abi mau bicara hal penting. Boleh?" tanya Ajeng.
"Tapi Bunda dan Papa tetap disini temani Al." pinta Alana.
Wijaya dan Ajeng mengangguk setuju, keduanya melihat pada Abimana untuk mendekat dan mengatakan pada Alana apa yang tadi mereka sepakati waktu diperjalanan menuju rumah sakit.
"Al, Mas minta maaf." ucap Abimana mengawali pembicaraanya.
Alana diam, pandangannya tertuju pada taman yang terlihat dari jendela. Abimana tahu, Alana pasti masih kecewa dan membencinya. Sulit bagi istrinya menjalani ini seorang diri.
"Al, Aditya mengaku kalau dia berbohong. Dia memang berambisi untuk memiliki kamu karena rasa cintanya. Tapi dia tidak pernah melakukan hal itu terhadap kamu. Arkana itu putra Mas, putra kita berdua." ucap Abimana.
Alana menggeleng, dia sudah bulat ingin berpisah dengan Abimana dan melepaskan diri dari keluarga Rahardian. Menata ulang hidupnya, pergi jauh ketempat orang-orang yang tidak mengenal siapa dirinya.
Apa yang Alana pikirkan bertolak belakang dengan keinginan Abimana dan keluarga Rahardian yang ingin Alana dan Abimana kembali rukun dan melanjutkan rumah tangga mereka.
Sekarang, Alana harus bagaimana?
...🌿🌿🌿...
...Ananku Ternyata Bukan Anak Suamiku...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments