Aryanaka dan ceritanya

Dengan langkah cepat dan raut wajah khawatir, Zianna menghampiri Girtaja dan Alshad yang berada di ruangan tempat mamanya dirawat. Untuk melihat bagaimana keadaan sang mama.

"Papa,"

Girtaja menengok putrinya lantas tersenyum, menepuk bangku disampingnya guna mengkode agar Zianna duduk.

Zianna menurut, ia mendudukkan tubuhnya di samping Girtaja, juga disamping ranjang mamanya.

"Mama, baik-baik aja 'kan?"

Girtaja mengangguk, menipiskan bibirnya, "Mama baik-baik aja, cuma butuh istirahat sebentar." Jawab Girtaja dengan suara halus.

Zianna bernafas lega, namun dahinya kembali memunculkan garis-garis melengkung, "Bunda Rengganis, gimana?"

Girtaja dan Alshad sontak saja diam membisu, membuat garis-garis melengkung di dahi Zianna makin kentara, "Kok diem?"

Alshad tiba-tiba saja berdehem, "Lo udah makan, belum? Ayo gue anter nyari makan."

Zianna beralih menatap Alshad nyalang, matanya menajam dan menelisik kearah dua lelaki yang amat berarti dalam kehidupan Zianna itu, "Kalian gak ngecoba ngalihin pembicaraan 'kan?"

"Jangan coba-coba nyembunyiiin sesuatu dari Zianna. Gak mempan."

Girtaja dan Alshad kompak saja meneguk ludah mereka dengan susah payah. Zianna ini memang sulit sekali diakali.

Ini semua ulah Aryanaka yang sok-sokan ingin menyembunyikan masalah ini dari Zianna. Aryanaka berkata, biarlah Zianna tahu dari mulut Aryanaka sendiri. Jangan sampai Zianna tahu dari mulut orang lain apalagi kalau dia tahu dengan sendirinya.

Setidaknya kalaupun Zianna marah ketika sudah mengetahui segalanya, setidaknya ia tidak akan sekecewa saat mengetahui hal ini bukan dari mulut Aryanaka sendiri.

"Bunda Rengganis baik-baik aja 'kan?"

***

"Penderitaan mereka udah dari dulu mereka rasain, Na. Gue gak tau gimana mereka bisa ngejalanin itu selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya, om Jayadipura ngebawa mereka kabur ke Singapura. Mereka pura-pura kesana dengan alasan mai ngurus bisnis disana." Alshad menarik nafasnya dalam-dalam, guna melanjutkan penjelasan yang tertunda, tapi ucapan Zianna yang memotongnya tepat sekali seperti yang akan ia ucapkan.

"Tapi, mereka bohong. Tujuan mereka sebenarnya, karena mau kabur dari Permadi?"

Alshad mengangguk patah. Memang kenyataannya begitu kan? Ia tak bisa berbohong.

Tadi, ketika sudah waktunya makan malam, Zianna sengaja mengajak Alshad mencari makan di luar guna meminta penjelasan tentang segalanya. Hal ini ia lakukan karena jika Zianna bertanya, Alshad tak pernah bisa berbohong pada dirinya.

Selama ini Alshad mungkin diam karena ia tidak pernah bertanya. Maka, semuanya akan ia korek habis disini.

Zianna meraup wajahnya dan menyisir rambutnya kebelakang dengan frustasi. Dengan segera ia menyambar tas miliknya dan pergi dari sana. Tujuannya sekarang adalah Aryanaka.

Kenapa Arya-nya tidak pernah cerita?

"Zianna!"

Zianna mengabaikan panggilan dari sang kakak. Kakinya tetap melangkah ke depan untuk menghampiri tujuannya sekarang juga.

Zianna mengambil handphone dan mencari nama seseorang disana.

Aryanaka.

Memencet ikon telepon yang beberapa saat kemudian langsung tersambung.

"Hallo, Ann—"

"Lo dimana?" Sambar Zianna segera mengabaikan sapaan diseberang sana.

Hening, Aryanaka tak menjawab.

"Lo dimana?" Ulang Zianna dengan nada ditekan.

Geram sekali dengan Aryanaka ini.

"Di, rumah (?)" Jawab Aryanaka tak meyakinkan.

Zianna yang mendengar itu mengangkat sebelah alisnya curiga, "Gue kesana sekarang."

"Jangan!"

Zianna makin mengeryit dengan langkah buru-buru nya. "Ada yang pengen gue omongin."

"Gue aja yang kesana."

"Oke, cafe Rose Diamond dekat RS Darka Medika."

***

Aryanaka beranjak dari kursi tunggu di depan ruangan bundanya dengan segera, menghampiri sang ayah yang duduk di lantai tepat di samping pintu ruangan sang bunda.

Melihat kondisi sang Ayah saat ini, Aryanaka tersenyum miris.

"Ayah,"

Jayadipura mendongak, membuat Aryanaka mengulum senyuman.

"Narantaka ijin keluar sebentar, ya. Itu makanannya jangan lupa dimakan."

Jayadipura hanya mengangguk dengan senyuman tipis yang sayangnya tampak ironis di mata Aryanaka. Bagaimana tidak, Jayadipura baru saja kehilangan orang tua satu-satunya yang ia miliki, kendati Permadi tak pernah menghargai keluarganya tapi tak ada yang bisa menyangkal jika Permadi juga berperan besar dalam mendidik dan membesarkannya bersama sang ibu.

Saat ini, istrinya terbaring kritis dan tak tahu kapan ia bisa melewati masa kritisnya. Jangankan Aryanaka, Jayadipura pun jauh lebih jatuh dari dirinya.

Aryanaka lantas berjalan pergi dari pandangan sang Ayah. Dalam hati tak henti-hentinya ia berharap akan kesadaran sang bunda. Sungguh, ia sangat mengharapkan itu.

***

Aryanaka menghampiri Zianna yang sudah terlihat menunggu di meja paling pojok, dekat dengan jendela sehingga bisa melihat keadaan diluar. Aryanaka lantas menarik kursi disampingnya dan mendudukkan diri disana.

"Udah lama nunggunya?"

Tak menyahut, Zianna yang melihat itu memilih menyodorkan sebuah minuman ke arah Aryanaka. "Di minum."

Aryanaka menurut, meneguknya hingga habis seperempat. "Pengen ngomongin apa?" Tanya Aryanaka dengan suara dalamnya.

Zianna menautkan tangannya di atas meja dan memandang keluar jendela. Melihat keadaan Aryanaka sekarang membuat hatinya seakat diremas. Aryanaka tak pernah sekacau ini.

Rambutnya berantakan, kantung matanya amat kentara. Dapat ditebak dengan mudah bahwa Aryanaka pasti mengabaikan waktu tidurnya akhir-akhir ini.

Yang Zianna harapkan hanya, semoga apapun yang terjadi pada Aryanaka beserta keluarganya tidak seberat itu.

"Kamu, baik-baik aja 'kan?" Tanya Zianna mengabaikan pertanyaan Aryanaka.

Aryanaka terkekeh, memilih memandang minumannya dan mengaduknya perlahan, "Kelihatannya gimana?"

Mendengar itu Zianna dengan segera menoleh menatap Aryanaka, "Gak ada yang mau Lo ceritain ke gue?"

Aryanaka menaikkan sebelah alis, "tentang?"

"Semuanya."

Aryanaka diam.

"Gue udah tau ceritanya dari Alshad. Tapi please, gue pengen dengerin yang sebenarnya terjadi langsung dari Lo sendiri."

Aryanaka menarik nafas dalam-dalam, mengalihkan pandangan ke luar jendela, memandang keramaian di luar yang diiringi dengan kendaraan yang berlalu lalang. Padahal sekarang sudah hampir tengah malam. "Apa yang pengen Lo denger?"

"Semuanya," Zianna menekan ucapannya, "Gue pengen denger semuanya. Dari awal sampai akhir."

Aryanaka menghembuskan nafasnya pelan. Dan, mengalirlah cerita dari Aryanaka yang dengan dasyatnya membuat nafas Zianna tercekat. Matanya berkaca-kaca menahan tangis.

"—sampai akhirnya tiga bulan lalu, Permadi bawa bunda pas gue sama ayah lagi gak dirumah. Caranya persis kaya Permadi nyulik mama Nertaja kemarin."

Ucapan terakhir dari Aryanaka ini sontak saja membuat Zianna berdiri saking terkejutnya.

Zianna menatap Aryanaka, "Lo nyembunyiiin hal segede ini sama gue?" Mata Zianna yang berkaca-kaca menatap tak percaya, "Lo nganggep gue ada gak, sih, Ar?" Suara lirih dan bergetar Zianna.

Aryanaka hanya diam dengan menatap Zianna dengan pandangan dalam.

"Kenapa Lo gak cerita ke gue dari awal?"

"Buat apa? Supaya Lo bisa ngelibatin diri Lo dalam masalah gue? Gue, gue cuma gak mau Lo terlibat, Na. Gue gak mau Lo kenapa-napa." Tutur Aryanaka mencoba menjelaskan. Ia turut beranjak, mendekat ke arah Zianna. Kedua tangannya hendak menggenggam tangan Zianna namun ditepis pelan oleh sang empu.

"Selama ini, Lo berjuang sendirian, nyari cara sendirian, stress sendirian tanpa pernah ada niatan buat ngasih tahu gue sama yang lain," Zianna menghela dalam-dalam meredam emosi yang mulai muncul.

Zianna membalikkan tubuhnya menghadap jendela.

"Disaat masalahnya makin gede, Lo malah ngasih tahunya ke papa sama Alshad doang," Ujar Zianna dengan nafas yang memburu, "Sedangkan gue disini? Gak ngapa-ngapain, diem aja kaya orang linglung yang gak tau apa-apa."

Dengan cepat Aryanaka menghampiri Zianna, "Hei, gue cuma gak mau Lo terlibat. Gue gak mau Lo kenapa-nap–"

"Percuma!" Sentak Zianna pada Aryanaka disampingnya, namun setelah itu ia tersadar bahwa emosi hampir saja menguasai diri hingga meninggikan nada suaranya. "Walaupun Lo berusaha buat gak ngelibatin gue disetiap masalah Lo, tapi nyatanya keluarga gue tetep dilibatin, kan?"

"Apa gue bakalan cuma disuruh diem aja disaat keluarga gue kenapa-napa?"

Zianna menghela nafasnya dalam-dalam, "Kakek Lo itu ... Permadi!" Telunjuk Zianna menunjuk ke sembarang arah, "Dia gak akan pernah bisa lo kalahin kalo Lo berjuang sendirian,"

"... Ada gue, Ar. Gue siap nerima konsekuensi apapun asal masih ada Lo di samping gue."

Aryanaka tertegun ditempat. Ia tak percaya Zianna bisa mengatakan itu. Selama ini, ia hanya selalu memikirkan bagaimana caranya mengalahkan Permadi tanpa melibatkan Zianna di dalamnya.

Aryanaka meraup wajahnya frustasi, mendudukkan diri di manapun asal dia bisa duduk. Mulutnya bergerak mengucapkan kata yang dengan dasyatnya membuat nafas Zianna tercekat.

"Bunda kritis..." matanya yang putus asa menatap wajah Zianna yang terpaku ditempat mendengar dua kata yang dia ucapkan, "... Gara-gara Permadi."

"Gue gak tau sampe kapan bunda bisa bertahan. Gue cuma berharap, bunda sempet liat gue ngehancurin Permadi pake tangan gue sendiri."

Tubuh Zianna ambruk tepat di depan Aryanaka. Matanya yang kosong berkaca-kaca seperti tak memiliki tujuan.

Sudah, Permadi memang sebajingan itu.

Mamanya sempat di sekap oleh Permadi. Ternyata, bunda Aryanaka jauh lebih parah dari itu.

Dasar iblis!

Muka Zianna mengeras, matanya berubah nyalang dengan menghancurkan Permadi yang menggebu-gebu. "Ayo kita hancurin Permadi sekarang juga."

Tatapan kosong Aryanaka menoleh ke arah wajah cantik Zianna yang diselimuti amarah, "Permadi udah hancur ditangan gue."

Raut Zianna tampak terkejut dengan ucapannya.

"–makanya gue berharap bunda sempet lihat gue waktu ngehancurin Permadi kemarin." Ujar Aryanaka menunduk dengan kedua tangan yang bertaut.

Aryanaka tidak menyesal. Toh memang Permadi saja yang lemah karena hanya dipukuli begitu saja langsung lari ke alam baka.

Tapi, Aryanaka merasa kalau, ia sedikit bersalah.

Permadi itu kakeknya. Usianya bahkan sudah hampir masa expired. Daripada membunuhnya, akan lebih baik kalau ia mati sendiri saja. tak perlu Aryanaka repot-repot mengotori tangannya untuk membuat Permadi pergi dari dunia ini.

Tapi, ya, mau bagaimana lagi. Permadi bajingan itu kalau belum merasakan pukulannya sampai mati mungkin tak akan pernah sadar diri. Kepribadian kakeknya yang keras dan angkuh akan mustahil untuk ditundukkan sedikit saja. Ya, bisa dikatakan, definisi seseorang yang berpegang teguh pada prinsip yang salah, dapat kalian lihat dari sosok Permadi Wisnuwardhana.

–to be continue–

Jujur, sedikit kasian sama Permadi. Tapi, ya, mau bagaimana lagi, kan? Suruh siapa bejat🙏😭

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!