"Singkat saja, aku ingin menjemput bundaku."
Permadi tertawa, memandang Aryanaka dengan raut wajah yang menyebalkan. "Ayolah, cucuku. Jangan terlalu terburu-buru. Berbincang lah dulu dengan kakekmu ini, cucuku. Bukankah sudah tiga tahun sejak terakhir kali kita bertemu? Tidakkah cucuku ini merindukan kakeknya?"
Aryanaka berdecih, "Jangan berlagak seperti tidak pernah melakukan kesalahan, kakek. Aku hanya ingin menjemput bundaku." Suara tenang Aryanaka mengundang tatapan tajam dari Sang Kakek yang mengarah padanya.
Raut wajah menyebalkan Permadi seketika terganti oleh tatapan tanpa ekspresi. Memandang Aryanaka datar.
Cucunya ini benar-benar memberontak ternyata.
"Bukankah dari awal ibumu yang melakukan kesalahan, Narantaka? Kenapa seolah-olah kakek adalah orang yang paling bersalah disini." Permadi berujar tenang dengan gaya angkuhnya yang tak terbendung. Menyilangkan kedua kakinya dan menumpu kedua tangannya yang bertaut.
Banyak bicara. Kata yang menggambarkan sosok Permadi saat ini. Membuat Aryanaka muak.
Aryanaka menghela nafasnya dalam, "Kembalikan bunda, selagi Aryanaka masih bisa bersikap baik." ujarnya lagi dengan nada yang masih sama. Tenang bagai samudera yang memiliki jutaan bahaya dan rahasia di dalamnya.
"Kembalikan? Memangnya aku pernah meminjam? Aku ,kan hanya mengambil, jangan harap untuk minta dikembalikan." Ucap Permadi menantang menciptakan amarah yang ada dalam diri Aryanaka bangkit.
Dengan langkah penuh amarah, Aryanaka berjalan menuju Permadi. "Jangan bicara seolah-olah bundaku adalah barang, sialan!"
Hampir saja Aryanaka kelepasan ingin menghajar Permadi jika saja, asisten sang kakek tak menghentikannya. Zein Lesmana.
Badan Zein yang lebih besar dari Aryanaka sontak saja tak dapat Aryanaka hindari. Apalagi dengan tangannya yang di cekal kuat oleh orang ini.
"Menyingkir, paman. Biarkan Aku membunuh orang ini." Desis Aryanaka.
Ia berharap Zein akan melepaskannya. Namun itu hanyalah angan belaka, mustahil bila seorang bawahan Permadi menghianati tuannya. Zein tetap menghalangi langkah Aryanaka. Tak mengindahkan ucapannya sedikitpun.
Permadi mendongak menatap wajah Aryanaka yang telah memerah menahan amarah, "Se kurang ajar inikah hasil didikan Jayadipura dan Rengganis, Narantaka? Benar-benar tidak mencerminkan seorang Wisnuwardhana." Mata Permadi menatap Aryanaka tenang. Seolah-olah mengatakan, aku jauh berada diatasmu, bocah!
Persetan!
"Aku bukan seorang Wisnuwardhana."
Permadi pura-pura terkejut, "Begitukah?"
Sial!
Pada aslinya, dibelakang nama Aryanaka Narantaka memang tersemat marga yang sialnya tidak bisa disangkal oleh siapapun. Wisnuwardhana.
Marga itu merupakan marga turun temurun sedari dulu. Namun, pengapa ia harus memili marga yang sama dengan orang sebejat dan sebajingan Permadi? ia sungguh tidak sudi!
Ia heran, kenapa Ayahnya tidak menghilangkan saja marga itu dari namanya? Menjadi Wisnuwardhana seakan kutukan yang Aryanaka terima. Ia tidak pernah bahagia ketika ia menjadi Wisnuwardhana.
Akan lebih baik jika ia tidak memiliki marga itu. Pun karena pada dasarnya, Aryanaka tidak akan pernah sudi untuk menyandangnya.
Agaknya Permadi masih menikmati kemarahan Aryanaka. Hal itu membuat Aryanaka benar-benar muak. Hasratnya untuk menghancurkan Permadi makin membuncah.
"Kau tidak akan bisa menyangkal bahwa darahku juga mengalir di tubuhmu, Narantaka."
Memangnya dia peduli?
"Permadi ... " Desis Aryanaka dengan gigi bergelatuk. "Aku peringatkan padamu,"
"Jangan pernah berani menyakiti bundaku. Juga, jangan pernah berani untuk menyentuh Zianna-ku." Aryanaka berujar dengan mata menghunus tajam ke arah Permadi.
"Siapa? Zianna mu? Memangnya dia sudah menjadi milikmu? Jangan bicara seolah-olah kamu yang memilikinya, Narantaka. Jangan besar kepala. Lagipula, aku hanya bermain-main dengannya. Gadis itu sangat cantik, cocok dengan dirimu." Permadi berujar dengan nada remeh, lalu melanjutkan,
"—Aku tak akan menyentuhnya lagi jika kau bersimpuh dihadapanku. Di bawah kakiku. Sekarang."
Sialan!
Mimpi saja!
Harga diri Aryanaka seakan tak ada artinya di mata Permadi. Dasar lelaki tua bangka kurang ajar!
Melihat keterdiaman Aryanaka yang menahan emosinya, Permandi mengibaskan tangannya, "Sudahlah, aku sudah malas berinteraksi denganmu."
"Kembalilah. Kedatanganmu mengganggu ketenanganku." Ujar Permadi akhirnya. Sedari tadi ia menahan diri untuk tidak mengucapkannya, namun ternyata ia kurang berhasil.
Aryanaka terkekeh sinis, ia melepas cekalan Zein pada lengannya "Tanpa kau suruh juga aku akan pergi sendiri dengan senang hati." Sarkasnya dan segera berbalik pergi.
Namun sebelum itu, ia menghentikan langkahnya sejenak, "Dan perlu kakek tahu, aku bukan lelaki lemah yang akan menyerah semudah itu."
Tanpa banyak bicara lagi, Aryanaka melanjutkan langkahnya keluar dari rumah yang memuakkan ini. Kendati ia tak berhasil membawa ibunya kembali, setidaknya ia bisa agak tenang saat Zein diam-diam berbisik padanya bahwa Rengganis baik-baik saja secara fisik.
Semoga saja asisten Permadi ini tidak berbohong.
Semoga.
Yang ia khawatirkan, bagaimana dengan keadaan batin sang bunda? Kata baik-baik saja seakan kata yang mustahil dikatakan jika menyangkut tentang ini.
***
Aryanaka merebahkan tubuhnya diatas ranjang tempat tidurnya. Ia sudah selesai membersihkan diri selepas dari rumah bak neraka milik Permadi.
Aryanaka Memandang langit-langit kamar dan menerawang,
Sekarang jam berapa, ya? Aryanaka menengok menatap Jam dinding yang ada di kamarnya.
Menyadari sekarang baru akan menjelang Maghrib, Aryanaka mengambil handphone dan menghubungi sesorang yang tak hentinya membebani hati mungil Aryanaka.
Zianna.
"Hallo? Ngapain Lo nelpon gue Maghrib-Maghrib begini?" Suara diseberang sana pun terdengar. Sedikit meredam amarah di dada Aryanaka yang membuncah akibat mulut besar milik Permadi. Membuat Aryanaka sedikit tenang. Memang se dasyat itu pengaruh Zianna untuk Aryanaka.
"Gak papa."
Terdengar decakan dari seberang sana, membuat Aryanaka tersenyum tipis. "yang bener aja deh, Ar." Sungut gadis itu.
Aryanaka lantas terkekeh.
"Anna,"
"Apa?"
"Udah mandi?"
Zianna lantas tergelak dibuatnya. "Seriusan Lo? Seriusan Lo nelpon gue cuma pengen nanya gue udah mandi apa belum?"
Aneh, Zianna sontak saja memikirkan kata itu saat mendengar pertanyaan Aryanaka. Dulu, saat Aryanaka di Singapura, mereka mungkin akan selalu bertelepon tiap malam untuk sekedar saling bertukar kabar dan bercerita perihal apa yang dialami di hari itu dikarenakan mereka tidak mengetahui kejadian apa saja yang dialami masing-masing.
Namun sekarang ... Ayolah, baru saja mereka bertemu beberapa jam yang lalu. Tidakkah Aryanaka memikirkan pertanyaan tak berbobot ini untuk menelponnya?
Setidaknya, cari topik penting untuk memperpanjang obrolan ini.
"Salah? Gue kan cuma nanya." Sahut Aryanaka sekenanya.
Zianna terkekeh, "Lo kalo ada masalah bilang, Ar, sama gue." Ujarnya agak jenaka.
Zianna tak tahu aja jika pernyataannya membuat pikiran Aryanaka mencolos.
Apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Zianna?
Tidak, ia tidak akan pernah mengatakannya karena ia akan sangat menyesal jika, raut sedih, kalut dan khawatir terpampang di wajah cantik dan ceria milik Zianna.
Biarlah ini menjadi urusan Aryanaka saja.
Sore itu, mereka melanjutkan obrolan sampai Adzan Maghrib berkumandang. Lantas mereka memilih mengakhiri obrolan itu guna menunaikan kewajiban mereka sebagai seorang umat yang memeluk suatu agama.
–to be continue–
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments