'Bersiaplah dengan segala konsekuensi yang harus kamu tanggung, Zianna.'
Apakah ini teror? Tapi kenapa serapi ini?
Mungkinkah ini dari Aryanaka? Bukankah ia bilang akan ada urusan selepas ini? Atau ini memang urusan yang akan dia lakukan itu? Balas dendam kah dengan masalah sambal tadi?
Tidak mungkin!
Zianna menepis pikiran itu, melakukan hal seperti ini bukan gaya Aryanaka sama sekali.
Ataukah ini hanya dari orang iseng? Seniat itukah orang iseng ini menganggu dirinya? Pasalnya, ia tak merasa memiliki musuh selama ini –yah, kecuali Aryanaka yang menjabat sebagai pacar sekaligus musuhnya didunia pendidikan–
Handphone Zianna berdering, mengembalikan segala lamunan yang Zianna pikirnya di otaknya pasal kejadian ini. Zianna mengambil handphone nya, melihat nama yang tertera di sana membuat asumsi yang tadi Zianna pikirkan kembali melonjak.
Aryanaka.
Menggeser ikon hijau, Zianna lantas menempelkan handphone itu ditelinga.
"Hallo, Na. Gue udah nyampe rumah, nih." Suara pertama yang Zianna dengar.
Zianna terdiam, seakan menunggu pernyataan Aryanaka setelahnya.
"Habis ini gue mau nyelesaiin urusan gue, sorry kalo nanti gue slow respon." Ujar Aryanaka diseberang sana.
Zianna masih diam, masih menunggu pernyataan yang setidaknya bisa menjawab segala pertanyaan yang bersarang di kepalanya dengan sekaligus.
Menyadari tak ada sahutan dari Zianna, Aryanaka kembali bersuara, "Lo kok diem aja, keselek biji mangga apa gimana?"
Zianna berdecak pelan, "Lo, gak ada yang mau dijelasin kah, ke gue?" Tanya Zianna memastikan.
Gantian Aryanaka yang terdiam, hening beberapa saat, "Apa yang pengen Lo tau?" Tanya Aryanaka setelah seperkian detik terdiam.
Zianna menarik nafasnya dan menghembuskannya pelan, "Tentang... Kotak ini, maybe?"
"Kotak?"
"Kotak item."
"Kotak item? Kotak item apa? Kotak item banyak kali, Na." Suara Aryanaka yang heran terdengar kesal.
"Ya kotak item pokoknya, kecil."
"Kotak sepatu?"
Mendengar itu muka Zianna berubah datar. Sudahlah, jikalau begini sudah jelas Aryanaka tidak tahu menahu.
"Na? Kotak sepatu bukan, sih?"
"Kotak peti mati Lo!" Sahut Zianna terlampau kesal.
"Yakali peti mati gue. Gue mati kebungkus kafan kali, Na. Bukan peti mati, apalagi kotak kecil begitu."
Siapapun, tolong beri Zianna golok. Ingin rasanya ia menebas kepala Aryanaka saat ini juga.
Sadar Aryanaka telah membuat kesalahan yang membuat Zianna kesal, lantas ia bertanya dengan nada tidak sebecanda tadi, "Ada yang mau Lo ceritain?" Tanya Aryanaka diseberang sana.
Dengan sisa-sisa kekesalannya Zianna menyahut, "bukannya Lo ada urusan?"
"Gak ada urusan gue yang lebih penting dari Lo."
***
Di dalam kamarnya, Aryanaka yang baru saja mendengar cerita Zianna dan melihat kiriman foto dari gadis itu perihal kotak tadi pun mematung ditempat.
Nafasnya tercekat, kegelisahan yang selama ini ia pikirkan mungkin akan benar-benar terjadi. Ia tahu dalang dibalik ini semua. Ia sadar, ini bukan sekedar keisengan belaka.
Dalam hatinya, satu pertanyaan yang sama berlomba-lomba menyerangnya.
Aryanaka menerawang. Setelah bundanya, apakah Anna-nya juga akan diambil?
Aryanaka menghela nafasnya gusar.
Sampai sekarang, ia bahkan belum berhasil menyelesaikan masalah ini, tapi mengapa 'orang itu' seakan tak ada henti mengambil kebahagiannya?
Tadi, saat Zianna bertanya apakah tidak ada yang ingin ia jelaskan pada gadis itu, ia sempat terkejut. Ia kira, Zianna menyadari tentang masalahnya saat ini. Ia kira, Alshad dengan teganya membocorkan rahasia yang selama ini Aryanaka tutupi demi tidak membuat Zianna khawatir.
Tapi ternyata hal yang lebih mengejutkan lah yang Aryanaka terima.
Aryanaka mulai tersadar. Jika ia tidak mulai melawan, mungkin 'orang itu' akan bertindak semakin jauh untuk merenggut kebahagiaannya lagi.
***
"Apakah dia sudah menerimanya?"
"Sudah, Tuan. Sepertinya Tuan Muda juga sudah menyadari kalau itu adalah ulah kita." Sang asisten menjawab dengan kepala menunduk penuh hormat.
"Bagus, kita tunggu saja dia menyerahkan diri."
"Tapi, Tuan, sepertinya Tuan Muda tidak akan menyerah semudah itu."
Pria setengah abad itu sontak tertawa sarkas, "Baiklah, kita lihat bagaimana dia akan memberontak."
Bukankah dari dulu sang tuan muda memang sudah memberontak? Tak pernah sekalipun Tuan Muda yang mereka maksud ini bersimpuh dihadapan Tuannya.
Meskipun ia tahu itu, meskipun ia menyadari itu. Tapi apakah ia bisa mengungkapkannya pada sang tuan? Tentu saja tidak.
Ia hanyalah seorang asisten. Tugasnya hanyalah melaksanakan perintah dari sang Tuan. Apapun itu, yang tuannya ucapkan adalah perintah untuknya. Tak ada alasan untuk menolak, apalagi gagal dalam melakukannya. Ia hanya tinggal menjalankan, tanpa hak untuk angkat bicara.
Meskipun apa yang diperintahkan harus menentang nilai kemanusiaan sekalipun.
***
Aryanaka memandang penuh benci bangunan yang berdiri kokoh didepannya. Rumah bergaya Eropa dengan tatanan mewah nan indah di depannya seakan neraka yang sebentar lagi akan ia masuki.
Dengan langkah tegap nan tenangnya Aryanaka mulai berjalan kedalam. Tanpa ketakutan, tanpa mengucap salam. Seakan, tempat ini memang tak pantas mendapat salam darinya.
Suara angkuh pria setengah abad pun menyambutnya dengan sarkas, "Ada apakah gerangan sehingga cucu tunggalku ini mengunjungi kakeknya tanpa rasa sopan?"
Aryanaka memasang raut tanpa ekspresi, "Singkat saja, aku ingin menjemput bundaku." Suara tenang Aryanaka seakan pedang tajam yang menghunus lembut di pendengaran sang kakek, Permadi Wisnuwardhana.
Kakeknya as known as ayah dari ayah Aryanaka ini merupakan ancaman terbesar dalam kehidupan tenang nan damai Aryanaka.
Sang perenggut kebahagiaan Aryanaka ini seakan hidup dengan bahagia diatas penderitaannya. Pastas saja, ayah Aryanaka memilih memutus ikatan antara dirinya dengan sang Ayah. Memang sebejat ini sosoknya.
Namun, langkah sang Ayah nyatanya menambah boomerang bagi diri ayah Aryanaka. Kemurkaan sosok Permadi yang tak terima akan pemutus hubungan ini membuat hidupnya seakan tak tenang.
Tiga tahun lalu. Ayah Aryanaka, Jayadipura Wisnuwardhana memilih memboyong keluarganya ke Singapura untuk melarikan diri dari sang Ayah yang berada di puncak kemarahan.
Pada awalnya, sang Ayah tidak setuju akan pernikahannya dengan sang istri, Rengganis Tribuwana yang berasal dari keluarga menengah. Lagi-lagi, hanya karena kasta.
Jayadipura yang berusaha mempertahankan cintanya seakan tak memperdulikan pertentangan sang Ayah. Dengan bebalnya ia bersikeras untuk menikahi Rengganis. Berbekal restu sang ibu yang saat itu baru meninggal beberapa bulan, Jayadipura menikahi sang kekasih tanpa adanya Permadi.
Tentu saja Permadi marah ketika mengetahui itu, nahasnya semua sudah terlanjur terjadi. Jayadipura telah menikahi Rengganis yang ternyata tengah mengandung Aryanaka saat itu.
Dengan terpaksa Permadi menerima pernikahan mereka dengan garis bawah, mereka harus tinggal serumah dengan Permadi dan menuruti apa yang ia perintahkan. Penerimaan ini nyatanya hanya sebuah pernyataan belaka, ada kedok bajingan di belakangnya.
Karena pada nyatanya, setelah Jayadipura dan Rengganis menikah dan tinggal di rumah Permadi, kehidupan mereka tak pernah baik-baik saja.
Jayadipura yang diberi tanggungjawab mengurus perusahaan seakan tak diberi waktu untuk beristirahat, ia bahkan jadi sering tidak pulang untuk sekedar menemui istrinya.
Sedangkan Rengganis yang saat itu tengah mengandung dipaksa melakukan pekerjaan rumah di rumah Permadi yang luar biasa luas. Bukankah ini namanya penyiksaan?
Mereka sempat memberontak dengan itu, namun ancaman Permadi yang akan menghancurkan Rengganis beserta keluarganya yang dari keluarga menengah seakan memaksa mereka mematuhi perintah Permadi.
Hingga Aryanaka lahir, Aryanaka yang saat itu masih belia dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang seharusnya belum ia pelajari. Bela diri, bisnis, dan nilai-nilai akademik maupun non-akademik yang dituntut untuk selalu sempurna. Permadi sendiri yang mendidik Aryanaka dengan keras. Penuh kekerasan.
Sampai akhirnya, keluarga kecil ini menyerah akan perlakuan Permadi. Memilih run away ke negeri seberang. Sayangnya, Permadi yang mengetahui itu lantas mencoba mengejar mereka.
Beruntungnya, mereka berhasil menyembunyikan diri sementara. Ya, hanya sementara. Hingga nahas, beberapa bulan lalu, Permadi berhasil menemukan mereka yang ternyata hanya di Singapura dan menyandera Rengganis sebagai balasan. Sungguh ironi, sebenarnya segila apa Permadi ini?
–to be continue–
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments