Permadi terkekeh kecil di ruang pribadinya. Hal yang ia tunggu akhirnya datang juga. Jayadipura kembali. Membawa jutaan kecemasan yang entah mengapa membuat senyum Permadi mengembang semakin lebar.
Apakah nestapa Jayadipura adalah kebahagiaan untuknya?
Entahlah.
Intinya sampai saat ini, Permadi sama sekali belum merasa puas. Perlahan, waktu telah memakan usianya. Haruskah ia mati sia-sia begitu saja? Tentu saja tidak.
Saat ini ia merasa heran, mengapa Girtaja belum bergerak sama sekali? Apakah, istrinya ini tak begitu penting? Oh, Permadi tahu, apakah ini alasan dibalik kembalinya sang Jayadipura, putranya?
Namun yang pasti, Permadi sama sekali tak akan berhenti sampai cucu dan putranya menyerahkan diri padanya. Bersimpuh di depannya meminta ampun dan bersumpah akan menuruti perintahnya kembali.
Tidakkah kalian tahu apa yang Permadi inginkan sebenarnya? Selama ini, kalian hanya sembarang menjudge Permadi menurut satu sudut pandang saja, tanpa memperhatikan perspektif dari Permadi sendiri.
Permadi hanya membutuhkan penerus tahta yang meyakinkan. Permadi hanya ingin tahtanya terpegang oleh keturunannya yang benar-benar mampu.
Selama ini Jayadipura hanya mementingkan egonya semata tanpa mau memikirkan derajat keluarganya. Seperti yang kalian tahu, usia Permadi semakin termakan waktu, salahkah jika ia menuntut bakti dari Jayadipura?
Jayadipura hidup penuh dengan keinginan yang terpenuhi. Ia membesarkan Jayadipura dengan merelakan segala hal. Namun, apa balasan yang ia dapatkan?
Dengan egoisnya Jayadipura lebih memilih perempuan dari kasta menengah seperti Rengganis dan mengabaikan kewajibannya sebagai pewaris tahta serta bisnis Wisnuwardhana. Bukankah ini termasuk kurang ajar?
Dengan beraninya Jayadipura menikahi perempuan ini tanpa adanya dirinya. Permadi merasa terhina, Permadi merasa eksistensinya sebagai seorang ayah tidak ada apa-apanya. Harga dirinya terinjak habis.
Sampai akhirnya ia menuntut balasan pada keluarga baru putranya. Ia hanya memberi sedikit pelajaran pada menantu dan anaknya. Setidaknya sampai mereka menyadari kesalahannya.
Hingga putra Jayadipura lahir, ia hanya ingin mendidik putra Jayadipura itu agar menjadi seperti yang ia inginkan. Dengan tujuan ia bisa menggantikannya kelak jika Jayadipura tidak mampu.
Tapi apa balasan yang ia dapatkan? Dengan kurang ajarnya putra dan keluarganya itu kabur meninggalkan Permadi.
Permadi bersumpah bahwa ia akan mendapatkan apa yang menjadi tujuannya sejak awal. Permadi hanya ingin—
—Aryanaka yang menjadi pewarisnya.
***
BRAK!
Pintu ruang pribadi Permadi terdobrak dengan keras. Ia dikejutkan oleh Zein —asistennya— yang sudah babak belur terlempar secara asal tepat di depan meja kerjanya.
Ternyata Girtaja dan putranya telah bergerak.
Kenapa sama sekali tak terendus?
Apakah tadi ia terlalu terlarut dalam lamunan sehingga ia tak menyadari keributan diluar? Sungguh, kali ini Permadi kecolongan. Namun, bukankah ini memang salah satu rencananya sejak awal? Memancing putranya datang menghampirinya, dan sekarang hari itu telah tiba.
Jayadipura datang, beserta Narantaka, cucunya. Namun dengan wajahnya yang tidak mencerminkan seseorang yang senang karena telah kembali ke rumah—
—Rumah apanya?
Mereka bahkan lebih mengganggap tempat ini sebagai neraka. Karena kenyataannya, mereka tak pernah merasakan kebahagiaan ditempat ini.
Seharusnya Permadi menyadari itu.
"Tck, bar-bar sekali." Cibir Permadi memandang remeh pada orang-orang yang ada dihadapannya.
Anak buahnya sudah diberantas habis oleh Girtaja, Alshad dan anak buah mereka. Asistennya —Zein— juga sudah di buat tumbang oleh cucunya, Aryanaka.
Hanya putranya, Jayadipura yang terlihat tak melakukan apapun sejak tadi. Lihatlah, seberapa tak bergunanya Jayadipura ini.
Kendati begitu, apakah Permadi sama sekali tidak merasa khawatir? Anak buahnya sudah habis. Bukankah harusnya dia menampilkan wajah pias dengan kepucatan sekarang?
Permadi yang melihat tatapan heran dari orang-orang yang ada disana lantas tertawa angkuh, sepertinya takut bukanlah gaya Permadi sama sekali.
Jayadipura menatap Ayahnya itu dengan berang, "Dimana istriku, Ayah?!"
Permadi tergelak, "Setelah apa yang kau lakukan, kau masih berani memanggilku Ayah? Benar-benar tidak tahu malu!" Ujar Permadi dengan sarkastik.
Jayadipura tertohok.
Netra Girtaja menyorot tajam ke arah Permadi, "Tunjukkan saja dimana istriku dan juga Rengganis, Permadi."
Pantas saja sejak tadi keamanan rumah Permadi mudah sekali mereka bobol, ternyata ada Permadi sendiri yang menjaga satu-satunya pintu menuju tempat dimana Rengganis dan Nertaja berada. Bajingan sekali.
Permadi pura-pura terkejut dengan tutur kata Girtaja yang seakan memerintahnya. "Siapa kau?"
Alshad yang sedari tadi diam disamping Aryanaka yang menahan emosinya mati-matian lekas menghampiri Permadi dan hampir saja memukulnya jika saja Girtaja tidak menahannya. "Dimana mamaku, tua bangka brengsek!" Bentaknya penuh emosional.
Dengan muka sok terkejutnya Permadi memandang Alshad yang wajahnya sudah mengeras, "Wow, sopan sekali putramu ini, Girtaja?"
Ini bukanlah sebuah pujian, ini sarkasme.
Aryanaka sedari tadi hanya diam. Dia diam karena menahan luapan emosi yang kapan saja bisa meledak dan menghancurkan apapun.
Aryanaka berusaha memasang wajah tenangnya seperti yang selalu ia lakukan saat ia sedang menyembunyikan emosinya. Lantas menghampiri Permadi dengan langkah tegap tanpa ketakutan sedikitpun.
Menghadap Permadi, Aryanaka berujar, "Minggir." Lugas, singgat, padat, dan membuat Permadi emosi tentunya.
Jalan menuju ruang persenjataan bawah tanah tepat berada dibawah kaki Permadi saat ini.
Permadi sangat benci diperintah. Ia menggambarkan dirinya adalah raja dalam keluarga ini. Pantaskah seorang keturunan memerintah rajanya?
"Kau sudah berani pada kakekmu, Narantaka?"
"Kenapa aku tidak berani?" Aryanaka memandang Permadi angkuh.
Permadi sedikit terkesiap. "Begitukah?"
Aryanaka menggeram, "Lebih baik menyingkir dan beri jalan untukku menjemput bunda dan mama Nertaja, kakek. Atau aku akan berhenti menahan diri."
Dengan begitu santainya Permadi manggut-manggut dengan raut wajah mengejek, menyingkir sedikit dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, "Dimana kamu akan menjemput Ibumu dan istri Girtaja itu? Cobalah mencari kalau kamu mampu."
***
Di dalam kamarnya, Zianna mengerang frustasi. Kamarnya dikunci dari luar dengan banyak pengawal sang papa yang menjaganya.
Sebenarnya apa yang akan mereka lakukan? Kenapa ia tidak diberi tahu sama sekali? Sungguh, Zianna merasa kesal sekarang. Memikirkan keadaan mamanya membuatnya semakin merasa cemas dan frustasi.
Pantaskah ia hanya berleha-leha disini sedangkan diluar sana mereka sedang berjuang untuk menyelamatkan sang mama dan bunda Rengganis?
Dalam hati, ia terus menggeram, sebenarnya apa yang terjadi? Permadi itu, apa sih, yang dia mau? Melihat cara Permadi bermain, sepertinya konflik ini sudah lama terjadi. Lantas, mengapa Aryanaka tidak menceritakan atau sekedar memberitahu apa yang sedang terjadi?
Zianna tidak ingin sembarang menyimpulkan. Ia hanya takut, apa yang sebenarnya terjadi akan sulit untuk ia terima.
***
Aryanaka menyeringai, menatap Permadi dengan angkuh dan dengan percaya dirinya ia bergerak menggeret laci nakas yang terkunci di samping meja Permadi.
Usut punya usut, Aryanaka hanya bersiasat. Matanya mengkode ke arah Girtaja.
Permadi tertawa mengejek, "Untuk apa kau membuka laci itu? Mencari tikus?"
Hal tak terduga terjadi. Ketika fokus Permadi hanya terarah pada Aryanaka, Girtaja bergerak cepat dan mencekalnya, mengunci pergerakan Permadi. Jayadipura dan Alshad segera memencar mencari sebuah kunci yang sekiranya bisa mereka gunakan untuk membuka jalan menuju ruang persenjataan.
Permadi sedikit memberontak, namun tak urung ia terkekeh, "Sedang mencari apa kalian?"
Girtaja yang mencekalnya pun menggertak, "Diamlah."
Diam diam tangan Girtaja bergerak menggerayangi saku Permadi. Tentu saja sang empu terkejut, "Kurang ajar! Jangan menyentuhku!"
Ketemu!
Girtaja menemukan sebuah remot kecil dalam saku kemeja dalam Permadi. Ia harap ini bukan remot AC atau remot gorden.
Dengan sembarang Girtaja memencet tombol disana dengan asal, Permadi yang melihat itu memberontak panik, "Jangan sembarang memencet, sialan!"
Tiba-tiba saja, lantai yang mereka injak bergetar dengan kuat, membuat mereka semua terkejut.
Jiyadipura membelalak, "Apa yang kau temukan, Girta?!"
Dengan tampang santainya ia mengangkat remot itu menunjukkan pada mereka dan mengangkat bahu, tangannya yang lain masih mengunci pergerakan Permadi.
Mata Aryanaka memicing, lalu membelalak seketika, "Itu remot jebakan, Papa!"
Permadi yang awalnya panik lekas tertawa sumbang mendengar itu. Ya, itu memang remot jebakan yang selalu ia bawa untuk menjebak siapapun yang dengan sengaja masuk ke ruang pribadinya tanpa izin.
Sialnya, remot inilah yang akan membawa pada tempat dimana Rengganis dan Nertaja berada.
Sialan. Geram Permadi.
Ia sudah menyiasati mereka sejak kemarin, agar mereka menganggap ruang yang digunakan untuk mengurung Rengganis adalah ruang persenjataannya. Agar kalau mereka datang dan berhasil masuk ke ruang persenjataan, maka akan ia kurung balik mereka disana.
Siapa sangka Girtaja malah menemukan remot ini? Maka tunggulah saja, ruangan ini akan membawa mereka ke sebuah ruang penyekapan menuju tempat dimana Rengganis dan Nertaja berada.
Intinya, rencana yang Permadi susun telah gagal.
–to be continue–
Aku bukan orang yang pandai menulis. Sulit untukku untuk mengetik dan menyusun kata-kata karena pada dasarnya aku baru saja belajar. Maka dari itu, tolong dimaklumi, ya^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments