Di bawah guyuran sinar rembulan yang bertabur bintang, Aryanaka memandang langit yang begitu cerah malam ini. Ditemani sebatang rokok yang ia hisap dan hembuskan berkali-kali guna mencari sebuah ketenangan hati.
Aryanaka baru saja menghubungi asisten Permadi. Sekedar bertanya, apakah bundanya baik-baik saja. Sejujurnya ia hanya merasa sedikit kelegaan tatkala Zein –asisten Permadi– hanya selalu menjawab dengan mengiyakan saja saat ia bertanya.
Padahal, yang Arya butuhkan adalah jawaban juga sebuah bukti. Setidaknya, apa yang mereka ucapkan adalah sebuah kebenaran. Bukan sebuah omong kosong belaka.
Lama terdiam dalam lamunan, Aryanaka terkesiap saat handphonenya berdering. Memandang layar handphonenya yang menyala, Aryanaka mengangkat sebelah alis tatkala nomor tak terdaftar tengah menghubunginya.
Tak mau ambil pusing, ia mematikan telepon tersebut. Mungkin hanya nomor tersesat. Atau– salah sambung?
Namun sepertinya, ia salah menduga. Nomor itu kembali menghubunginya. Berkali-kali. Dan berkali-kali pula Aryanaka mematikannya.
Biarlah orang di seberang sana merasa kesal.
Aryanaka mengehela nafasnya perlahan kala nomor tersebut tak lagi menelponnya. Sedikit lega. Namun ia kembali dikejutkan oleh pesan yang dikirim oleh nomor itu.
Pesan yang sialnya membuat Aryanaka merasa resah.
085xxx
|Ya sudah jika kau tak mau mengangkat teleponku.
|Tak apa.
|Lagipula aku hanya ingin mengatakan, jika ingin ibumu tetap baik-baik saja, maka menyerahlah. Kembali padaku. Turuti segala yang aku perintahkan.
"Brengsek!" Umpatnya.
Tangan Aryanaka bergerak ingin membalas pesan tersebut. Namun, saat ia baru mengetik kata pertama, pesan berikutnya kembali muncul. Membuat keresahannya bertambah berkali-kali lipat kala foto seseorang yang amat ia kenali terpampang disana.
085xxx
/Picture
|Ini gadis yang kau sebut milikmu itu, kan?
|Kemarin aku sudah sedikit bermain dengannya. Bagaimana jika aku melanjutkan permainan ini sampai akhir?
|Aku akan berhenti jika kau mau menyerah, Narantaka.
|Tenanglah.
Rokok yang masih menyala di tangan Aryanaka mulai teremat. Tangannya terkepal kuat. Aryanaka tahu ini hanya sebuah gertakan yang Permadi lontarkan. Namun, bagaimana jika pria tua bangka itu benar-benar melakukannya?
Tidak.
Ini pasti hanya sebuah gertakan.
Semoga saja memang begitu.
***
Aryanaka merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua tangannya bergerak meraup wajah yang mulai terlihat frustasi.
Zianna.
Ia butuh Zianna.
Bergerak mengambil handphonenya, Aryanaka memilih menghubungi Zianna.
"Hallo?"
Suara di seberang sana terdengar. Membuat emosi dari dalam dirinya sedikit demi sedikit mulai menghilang, berganti dengan perasaan tenang.
"Kenapa Lo? Mau ngelanjutin beli marmut?"
Aryanaka terkekeh pelan mendengar suara kesal dari sang kekasih. "Kalo iya, gimana?"
"Nggak ah! Enak aja. Tadi siapa yang main ngacir duluan terus dengan entengnya bilang kalo gak jadi mau beli." Gerutu Zianna dari seberang sana.
"Ya, kan tadi elo yang bilang nggak nggak terus. Gue kesel, ya gak jadi beli lah!" Bantah Aryanaka pura-pura berkilah.
"W-what?"
***
Zianna menuruni tangga rumahnya dengan perlahan. Pagi ini, dirinya sudah siap dengan seragam sekolah yang melekat apik pada tubuhnya.
Melangkah pelan menuju meja makan yang sudah ada kakak dan papanya disana. Sedangkan sang mama masih terlihat sibuk menyiapkan sarapan dari arah dapur.
Memandang sang mama dan keluarganya, hatinya berdesir beberapa saat. Entah mengapa perasaannya menjadi tak enak.
Tidak.
Zianna mengenyahkan pikiran buruk itu. Mencoba menenangkan perasaannya bahwa itu hanyalah sebuah perasaan sesaat semata.
"Pagi, Pa, Ma." Zianna tersenyum lembut ke arah sang papa dan mama sembari menarik kursi disamping Alshad untuk ia duduki.
Girtaja dan Nertaja membalas sapaan itu dengan senyuman serupa.
Sedangkan Alshad, matanya sudah melirik ke arah Zianna dengan pandangan mencibir, "Kayaknya Al ini emang cuma sebutir debu deh, Pa." Sindir Alshad memandang ke arah Girtaja.
Zianna yang mendengar itu melirik Alshad tak minat, "Baru nyadar?"
Nertaja tertawa geli, "Kalian ini, selalu aja begitu." Tangannya bergerak menghidangkan sarapan yang baru saja dia buat.
Girtaja mengangguk membenarkan, "Pantas aja gak mau satu sekolah bersama."
Nertaja kembali berujar, "Memang aneh anak-anakmu ini, Pa."
"Anak siapa dulu?" Alshad menyahut dengan mulut yang sudah penuh akan makanan yang baru saja Nertaja hidangkan.
"Anaknya Girta." Ujar Nertaja melirik ke arah Girtaja sembari tergelak.
"Anak kamu juga." Balas Girtaja memprotes tak terima.
Zianna memandang perbincangan pagi ini dengan hati yang menghangat, ia harap, perasaan tak enak yang sempat terbesit tadi bukanlah hal yang harus diwaspadai.
***
Seperti biasa, Aryanaka melepas helm yang melekat di kepala Zianna. Merapikan ujung rambut Zianna yang sedikit berantakan akibat helm yang tadinya melekat disana.
Saat ini, mereka berdua telah sampai di sekolah. Berjalan beriringan menuju kelas.
Sudah tak memperdulikan pandangan orang-orang lagi tentang mereka. Biarlah apa yang mereka pikirkan. Mereka sudah tak peduli.
Terserah apa asumsi yang akan mereka keluarkan. Toh, hidup Aryanaka juga Zianna tak bergantung pada asumsi-asumsi tak berdasar dari mereka.
"Hari ini Lo gak ada niatan mau beli marmut lagi, kan?" Tanya Zianna was-was di sela-sela perjalanan mereka.
"Gue gak mau, ya, Ar. Sumpah, jangan marmut." Lanjut Zianna dengan raut geli nan jijik yang amat kentara.
Aryanaka yang melihat itu terkekeh jahil, "Kalau kodok, mau?"
Plak!
Tepukan agak keras mendarat pada lengan Aryanaka, "Lo mau gue mati muda?!" Damprat Zianna dengan tidak santai.
Aryanaka hanya mampu meringis dengan bibir yang terus terkekeh lebar. New info, selain tidak suka tikus dan sejenisnya, Zianna juga sangat membenci kodok beserta antek-anteknya. Entahlah, Zianna merasa bahwa hewan amfibi satu itu terlihat amat menggelikan di matanya.
Mereka berdua akhirnya berhenti di depan pintu kelas milik Zianna, "Gue masuk kelas dulu, ya." Ujar Zianna hendak berjalan masuk.
Namun cekalan pada lengan menghentikan langkahnya, "Nanti jangan jauh-jauh dari gue."
Zianna terkesiap beberapa detik, kenapa ia merasa bahwa perkataan Aryanaka ini mengandung makna?
"Anna,"
Zianna tersadar, "Iya?"
"Jangan pernah jauh-jauh dari gue."
Aryanaka hanya merasa, akan ada hal buruk yang terjadi.
***
Jam istirahat telah tiba beberapa waktu lalu. Saat ini, di tengah keramaian kantin, Zianna beserta kedua sahabatnya —Keylara dan Kevandra— tengah berbincang ringan sembari menunggu pesanan mereka yang belum datang.
Salahkan saja antrian yang terlalu panjang membuat mereka malas menunggu sambil mengantri disana. Akan lebih baik jika mereka menunggu sambil duduk disini saja.
Tiba-tiba saja, Aryanaka yang sudah membawa nampan dengan semangkuk mie ayam juga es teh di atasnya datang dan duduk dengan santainya di samping Zianna.
Zianna hanya memandang gerak-gerik Aryanaka. Sudah biasa, biarkan saja. Berbeda dengan Keylara yang sudah kegirangan sendiri.
"Eh, Naka. Gak beli bakso lagi, kah?" Tanya Keylara sok akrab.
Aryanaka melirik tak minat, "Nggak."
Lain Keylara lain Kevandra, wajah cowok itu sudah keruh sejak kedatangan Aryanaka tadi. Tahu kan, kalau Aryanaka ini adalah ancaman bagi Kevandra?
Pandangan Aryanaka beralih pada Zianna. Sedikit kesal lantaran Zianna seperti tak mengindahkan pekataannya tadi pagi.
"Kenapa gak nungguin gue dulu?" Tanya Aryanaka.
Zianna menghela nafasnya, "Gue cuma ke kantin, bukan ke Arab. Lo bisa nyusul gue kapan aja. Like now." Jawab Zianna seadanya.
Betul, kan apa yang Zianna katakan? Lagipula, Zianna tak akan pergi kemana-mana.
Akhirnya, pesanan yang sedari tadi mereka tunggu datang juga. Mereka pun memakan makanan itu dengan santai dengan sesekali berbincang namun didominasi oleh suara Keylara yang amat berisik. Gadis ini seperti tak kehabisan topik pembicaraan. Apa saja pasti dibahas.
Perbincangan itu terhenti sejenak tatkala Zio yang tiba-tiba mendatangi tempat dimana mereka berada. Dengan santainya cowok tengil nan jangkung itu mendudukkan diri disamping Aryanaka.
Sembari membawa nampan dengan makanan di atasnya, Zio tersenyum lebar, "Boleh gabung, kan?" Matanya melirik Zianna yang tampak acuh akan kedatangannya.
Keylara yang sejatinya welcome pada siapapun menanggapinya dengan senang hati, "Boleh-boleh, silahkan duduk, ya, Zio." Tuturnya tersenyum manis.
Kevandra hanya memutar bola matanya malas. Zio ini seperti tak ada habisnya ingin mendekati Zianna. Entahlah ini hanya perasaannya atau bukan. Apalagi Keylara yang selalu bersikap manis pada siapapun kadang membuatnya sering terbakar api cemburu. Untunglah ia sudah kebal.
Lain halnya Zianna yang hanya acuh, raut muka Aryanaka berubah keruh sejak kedatangan Zio tadi. Nafsu makannya seperti ditelan bumi saat itu juga. Hilang.
Zio menengok menatap mangkuk bakso Zianna yang dipenuhi saos serta sambal, sedikit melirik ke arah mangkuk Aryanaka yang hanya polosan tanpa racikan apapun. Batinnya terkekeh.
"Zi, suka banget pedes, ya?" Tanya Zio membuka topik pembicaraan dengan Zianna. Tubuhnya sedikit merapat guna mendekatkan pandangannya pada Zianna. Membuat Aryanaka terhimpit di tengah-tengah.
Aryanaka menggeram di dalam hati. Mau memprotes tapi ia mencoba untuk menahan diri. Sebentar saja. Sabar untuk sesaat bukan hal yang sulit, kan?
Zianna mengangguk kecil, "iya." Jawabnya seadanya.
Dipikir-pikir, menanggapi Zio yang seperti ini bukan hal yang menyebalkan juga. Terlepas dari sikap menjengkelkan Zio beberapa waktu lalu yang amat agresif dalam mendekatinya, ia bisa bersikap biasa saja jika Zio tidak bertingkah berlebihan. Seperti sekarang contohnya.
Zianna sedikit memberi toleransi.
"Sama dong, gue juga suka pedes." Tutur Zio antusias.
Aryanaka melirik Zio sinis penuh permusuhan. Dasar cari perhatian!
Zianna menaikkan sebelah alis, mencoba menanggapi ucapan Zio dengan sebaik mungkin. Jangan sampai Zio melihat tampang tak minat dari wajahnya. Karena pada nyatanya, ia memang tak minat. Terdengar jahat, tapi apa boleh buat.
"Oh, ya?" Tanya Zianna dengan memasukkan suapan demi suapan makanan ke dalam mulutnya.
"Iya. —Ya, meskipun gak sebanyak Lo, sih." Zio menyengir sambil mengusap tengkuknya.
Keylara yang mendengar percakapan keduanya mengerjap senang, "Wah, berarti Zia sama Zio sama-sama suka pedes, dong?"
Reflek saja, tatapan nyalang Zianna terpusat pada keylara.
Gawat. Keylara keceplosan. Bisa-bisanya ia melupakan Aryanaka yang notabenenya adalah pacar Zianna disini. Keylara menggumamkan kata maaf berkali-kali tanpa suara pada Zianna saat tatapan nyalang itu masih mengarah pada dirinya.
Aryanaka kembali menggeram dalam diam. Wajahnya sudah sangat keruh sekarang. Ia memandang semangkuk mie ayam miliknya yang tak tersentuh sambal atau saos sedikitpun, lalu beralih melirik mangkuk Zianna dan Zio secara bergantian. Sama-sama terhias sambal. Merah.
Aryanaka mendengus.
Memangnya kenapa kalau mereka sama-sama suka pedas?
Apakah jika sama-sama suka pedas berarti mereka berdua akan berjodoh, begitu?
Menyebalkan.
Kevandra yang menyadari situasi mulai memanas lantas berdehem, "Yo, Lo gak ada niatan buat nyari cewek lain, gitu?" Tanyanya mengalihkan suasana.
Namun sepertinya, ia salah berucap. Pertanyaannya kali ini malah membuat suasananya semakin memanas.
Zio menarik sebuah senyuman, wajahnya tertoleh memandang Kevandra, "Emangnya ada cewek lain yang sesuai sama selera gue?"
Keylara tampak tertarik akan pertanyaan yang baru saja Zio lontarkan, "Emang selera Lo yang kaya gimana?"
Zio tersenyum, "Yang kaya Zianna."
Uhukk!
Zianna tersedak ludahnya seketika.
"Maksud Lo?" Damprat Aryanaka dengan nada yang mulai tak enak. Ia sedari tadi diam akan segala tingkah menyebalkan Zio bukan berarti dia rela-rela saja, ya. Ia hanya menahan diri agar tidak lepas kontrol.
"Ya, yang kaya Zianna. Cantiknya, senyumnya, rambutnya, perilakunya, sifatnya. Yah, intinya yang kaya Zianna deh. Ada, gak?" Tanya Zio dengan senyum mengembang.
Lugas sekali.
"And by the way, gue suka sama cewek yang tingginya sependek Zianna. Gue juga suka sama cewek yang sama-sama suka pedes kaya gue. Rasanya cocok aja." Tutur Zio lagi.
Wajah Aryanaka sendiri sudah mengeras sejak tadi, matanya bahkan menyorot tajam ke arah Zio dengan penuh permusuhan.
"Dan akan sangat menyenangkan kalau gue punya cewek mungil kaya Zia yang bisa gue peluk tiap hari ... " Senyum Zio mengembang semakin lebar, matanya melirik ke arah Zianna dengan pandangan dalam.
" ... Atau singkatnya, biar gak ribet, Zianna aja gimana?"
Garpu di tangan Aryanaka nyaris saja ia colokkan pada mata jelalatan Zio jika saja tangan Zianna tak menahannya sambil tertawa sumbang.
Kevandra dan Keylara yang sadar akan suasana yang makin tidak kondusif seakan tidak bisa apa-apa lagi. Mereka berdua diam menyaksikan ketegangan kali ini.
"Hahahaha," Suara tawa Zio seakan memutar balikkan keadaan saat itu juga.
"Santai aja kali, kenapa pada tegang gini sih. Ucapan gue ada yang aneh, ya?"
Keylara dan Kevandra sontak tertawa canggung, "iya, kenapa pada tegang, sih."
Jujur saja, raut muka Aryanaka sudah sangat mengerikan saat ini. Bahkan harimau yang kelaparan pun kalah mengerikan dibanding raut keruh Aryanaka.
–to be continue–
Wkwkk, nyari views sama readers susah juga, ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments