Hasil yang tak sesuai harapan dan Permadi yang mulai menjadi sejarah

Lantai yang semulanya bergetar perlahan menjebloskan mereka kebawah secara tiba-tiba. Membuat mereka terkejut bukan main. Keterkejutan itu sontak saja membuat cekalan Girtaja pada Permadi terlepas.

Mereka mendarat pada permukaan lembab dengan keras. Membuat mereka mengerang.

Aryanaka berdesis, menelisik sekitar. Dimana ini? Jika ini jebakan, kenapa Permadi juga ikut terjatuh kedalam?

Tunggu, Permadi!

Netra aryanaka menajam dalam keremangan ruangan yang sedikit minim cahaya ini, mencari sosok Permadi yang diam-diam ternyata berjalan mengambil satu-satunya senjata cadangan yang ada disana.

Pistol!

Sialan!

Permadi menodongkan pistol itu satu per satu ke arah mereka berempat. Dengan perlahan ia beringsut ke pojok ruangan.

Mata mereka membelalak, di belakang tubuh Permadi saat ini terbaring dua sosok yang menjadi tujuan mereka.

Rengganis dan Nertaja.

Dua wanita itu tengah terbaring lemah saat ini dengan kondisi yang tidak bisa dikatakan baik. Apalagi Rengganis. Sungguh, banyak sekali luka di tubuhnya. Entah sebejat apa Permadi menyakiti wanita selembut ini.

Tubuh Jayadipura bergetar, matanya pun turut bergetar menatap sosok sang istri yang ada di sana dengan tubuh penuh luka memar dan goresan.

Wajahnya sudah mengeras sekarang, dengan gerakan seribu langkah ia bergerak menghampiri Permadi, "Bajingan!"

Melihat itu, dengan gerakan kilat Permadi beralih menodong pistolnya ke arah Rengganis, "berhenti atau aku tak akan segan untuk membunuh wanita ini, Jayadipura."

Ancaman yang tak main-main.

Jayadipura terpaksa menghentikan langkahnya dengan tangan yang terkepal kuat.

Tak urung pada ketiga lelaki lain yang turut menyaksikan itu, mata mereka sudah diselimuti amarah yang sungguh besar. Namun mereka seakan tak bisa berkutik. Permadi membawa senjata saat ini.

DOR!

Suara pelatuk mengagetkan mereka semua. Tanpa diduga pelatuk itu berasal dari Girtaja yang diam-diam juga membawa senjata. Akan sangat bodoh jikalau mereka melakukan penyergapan ini dengan tangan kosong.

Mata Girtaja menyorot penuh amarah ke arah Permadi, "Turunkan sejatamu dari Rengganis, Permadi. Atau aku juga tak akan segan untuk membunuhmu sekarang juga." Tekannya.

Dengan langkah tenangnya ia menghampiri Permadi dengan tangan yang masih menodongkan pistol. Matanya mengkode ke arah Alshad dan Aryanaka agar mendekat ke arah ibu mereka untuk mengambilnya.

Permadi kian mendekatkan pistolnya ke arah Rengganis, "Berhenti disana, Girtaja. Aku tak main-main dengan ucapanku untuk membunuh Rengganis."

"Apa ucapanku juga terlihat main-main saat ingin membunuhmu?"

Alshad yang sedari tadi berjalan merangkak tanpa suara dengan secepat kilat dan tak terdua menghampiri mama nya. Membawanya ke dalam pelukan dan menggendongnya berlari menjauh dari Permadi.

Girtaja memandang puas pada gerakan cepat sang putra. Sedangkan Permadi mulai menggeram emosi.

Sejujurnya pertarungan ini memang tak adil. Empat, lawan satu. Permadi sudah kalah telak dalam segi personil.

Girtaja menoleh pada Jayadipura dan Aryanaka, sekarang tinggal Rengganis. Entahlah, Jayadipura sudah tak bisa berpikir jernih sekarang. Pikirannya sudah kalut saat melihat keadaan sang istri.

Sudah, Aryanaka sudah tak tahan. Dengan nekatnya Aryanaka menghampiri Permadi.

"Kau mau aku benar-benar membunuh ibumu, Narantaka? Ku bilang jangan mendekat." Peringat Permadi.

"Berhentilah mengoceh. Apa yang sebenarnya kakek mau?" Tanya Aryanaka dengan sorot penuh amarah.

"Membunuh ibumu."

"Brengsek!"

Tanpa aba-aba Aryanaka memukul rahang sang kakek dengan sekuat tenaga. Membuat sang kakek terpelanting ke belakang. pistol yang ada dalam genggamannya terlepas dan terjatuh tak jauh dari tempatnya.

Permadi memegang rahangnya dan menatap sang cucu tak percaya. Kurang ajar!

Bukan pukulan sang cucu yang dia inginkan.

Aryanaka menarik kerah jas sang kakek, memukulnya dengan membabi buta seakan meluapkan emosi yang selama ini telah terpendam.

Hidup selama tujuh belas tahun dengan segala dendam pada sang kakek akan ia tuntaskan saat ini juga. Namun, gerakannya terhenti ketika tangan Jayadipura mencekalnya.

"Berhentilah, Narantaka. Lebih baik kita selamatkan bundamu dulu." Ujar Jayadipura saat itu.

Aryanaka menggeram, "Ayah gak mau Narantaka membunuh orang ini?"

Jayadipura menggeleng lemah, "Bukankah ibumu jauh lebih penting?"

Sejujurnya, hatinya tidak merasa baik saat putranya memukuli sang Ayah semembabi buta itu. Hati nularinya sebagai seorang anak merasa tidak tenang melihat keadaan sang ayah yang seperti ini.

Sejatinya, Jayadipura memiliki hati yang cukup lemah.

Melihat putra dan cucunya yang tengah bersitegang di hadapannya, Permadi yang saat itu sudah ada dalam batas kesadaran yang minim mengambil pistol yang berada tak jauh dari jangkauannya dengan gerakan lemah. Mengarahkan pistol tepat pada kepala sang putra dengan tangan gemetar.

Dalam pikiran Permadi. Jika ia mati saat ini, maka putranya juga harus mati. Setidaknya, Aryanaka dengan otomatis akan menggantikannya, Permadi tak perlu khawatir. Ia juga akan memperbaiki hubungannya dengan sang putra meski di alam lain, karena ia sungguh sudah tidak mampu untuk mengatakannya sekarang. Nafasnya sudah ada di ujung tanduk.

Sungguh pemikiran yang gila.

Dengan perlahan tangannya mulai menekan pelatuk itu.

Girtaja yang menyadari gerakan Permadi dengan segera berteriak dari posisinya, "JAYADIPURA, AWAS!"

DOR!

"RENGGANIS!"

Tanpa diduga, Rengganis menghalangi peluru yang hendak menghampiri suaminya dengan memeluk Jayadipura.

Dan tepat saat itu juga, dengan penuh sesal Permadi menghembuskan nafas terakhirnya setelah berhasil menekan pelatuk yang sialnya meleset ke arah Rengganis.

Dan sudah dipastikan bahwa, hari ini dan setelahnya, sosok Permadi hanya akan menjadi sejarah kelam dalam kehidupan Wisnuwardhana.

Apakah ini bisa dikatakan bahwa Wisnuwardhana baru saja berduka?

***

Aryanaka bangkit dari depan Permadi dan menghampiri sang bunda yang sudah tergeletak dengan bersimbah darah dalam pelukan Jayadipura. Ayahnya sudah terisak disamping sang bunda dengan tangan menggenggam tangan Rengganis dan mulut yang tak henti-hentinya menggumamkan nama sang istri.

Dengan sempoyongan Aryanaka menghampiri sang bunda, ambruk tepat di samping Rengganis, "bunda ... "

Tangan bergetar Rengganis terangkat mengelus rahang tegas sang putra, wajah pucatnya yang penuh lebam tersenyum lembut, "N-narantaka ... putraku ... " ujar Rengganis dengan nafas yang sudah tersengal.

Peluru yang Permadi tembakkan tepat mengenai kepala bagian belakang Rengganis.

Aryanaka menangis mendengar suara lembut yang sudah lama tak ia dengar. Bukan begini pertemuan yang dia harapkan.

Girtaja menghampiri mereka dengan gerakan cepat menyadarkan Jayadipura dan juga Aryanaka. "Berhenti menangis! Kita harus membawa Rengganis dan Nertaja ke rumah sakit sekarang juga!"

***

Rengganis dinyatakan kritis.

Hal itu tentu membuat Jayadipura dan Aryanaka terpukul. Dokter sudah mengatakan bahwa saat ini hanya tuhan saja yang dapat membantu mereka. Hal tersebut membuat Aryanaka jatuh.

Nertaja sudah diobati. Saat ini, wanita dua anak itu telah dipindahkan di ruang rawat. Sekarang, yang perlu dikhawatirkan adalah keadaan Rengganis.

Aryanaka menatap tubuh sang bunda yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit di balik pintu kaca. Selepas dari pemakaman sang kakek hari ini, aryanaka segera menghampiri sang bunda.

Aryanaka mendongak menghalau air mata yang berlomba-lomba ingin segera jatuh.

Tidak. Aryanaka tak boleh menangis saat ini, tanggung jawabnya sekarang sungguh besar. Ayahnya yang paling terlihat terpukul harus ia dekap dan ia tenangkan. Aryanaka harus terlihat baik-baik saja, demi ayah dan bundanya.

***

Beberapa hari kemudian, Zianna baru mendapat kabar dari Girtaja perihal kondisi sang mama. Zianna kesal, kenapa baru hari ini diberi kabar?

Zianna yang baru saja mendapat kabar bahwa mamanya sudah diselamatkan segera beranjak untuk menghampiri mereka. Kepalanya berkecamuk dengan berbagai pertanyaan yang berputar.

Apakah mamanya baik-baik saja? Apakah bunda Rengganis juga baik-baik saja?

Harapannya sungguh besar untuk mendengar jawaban 'ya' atas pertanyaan itu.

–to be continue–

Jayadipura dan Aryanaka ini sebenarnya sama-sama lemah. Mereka ingin saling menguatkan satu sama lain tapi nyatanya mereka gak bisa ngasih kekuatan ke diri sendiri. :(

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!