Sergio mengembuskan napas lega setelah berhasil lolos dari ancaman pembunuhan.
Hufh, tidak sia-sia juga Sergio mendengarkan Kalista. Sebenarnya Sergio adalah anak baik-baik dan sangat patuh, tapi justru karena itu—justru karena hidupnya ke belakang begitu monoton, Sergio malah langsung terhibur pada adrenalin di sekitar Kalista.
Hehe, walau tidak lucu sih kalau benar Rahadyan mencambukinya dengan gesper.
Sementara Rahadyan harus berbaring di kamar semalam suntuk demi meredakan sakit kepalanya yang berterusan.
Pria lajang tapi beranak satu itu bangun pagi-pagi, bertekad kuat bahwa hari ini ia harus memastikan Kalista tidak berbuat macam-macam dengan Sergio.
Masa bodolah dia nangis. Terserah. Rahadyan membulatkan tekad untuk tidak termakan oleh tipu daya anaknya lagi.
Niatnya.
Nyatanya ....
"Hiks."
Rahadyan mengintip dari pintu kamar Kalista yang tidak sepenuhnya tertutup, yakin bahwa ia memang mendengar suara tangisan seseorang.
Pelan, sangat amat pelan, Rahadyan dorong pintu itu terbuka. Makin jelas mendengar dan bahkan melihat bahwa putrinya memang menangis.
Dia tidur di sofa dengan ranjangnya, berselimut sambil menangis sangat pelan. Tangannya mengoperasikan handphone, menggeser layar ke kanan sesekali untuk mengganti foto di sana.
Foto Kalista bersama wanita yang juga terlihat agak mirip dengannya.
Sukma Dewi.
"Hiks, bego." Dia merutuk. "Mama kenapa sih ninggalin aku?"
Dia seperti merengek sangat kesal pada fakta itu. Nyaris sama seperti orang yang marah karena seseorang berbuat salah padahal dia bisa tidak melakukan kesalahan.
Rahadyan mau tak mau mengembuskan napas gelisah. Harusnya ia tahu kalau anak ini merindukan mamanya luar biasa. Tentu saja kalau dia tidak sedang mengganggu Rahadyan, ya dia menangis.
Pagi-pagi pula.
"Om."
Tatapan Rahadyan langsung bergeser ke lorong, di mana Sergio muncul dengan setelan santai baru bangun tidur.
"Apa?" tanya Rahadyan ketus. Mulai sekarang Sergio adalah musuhnya.
Terutama setelah kemarin dia mengancam Rahadyan mau lapor polisi kalau dipukul.
Cih, dasar anak jaman sekarang. Dulu Rahadyan dipukuli sapu sampai patah juga santai-santai saja. Ini belum dipukul sudah mau lapor polisi.
Polisi punya banyak hal mesti diurus daripada dia.
"Saya disuruh bangunin Kalista, Om. Katanya sarapan."
"Enggak usah. Nanti dia bangun sendiri. Sana."
Shu-shu. Dasar roh jahat pengganggu.
Tidak peduli bagaimana ekspresi teraniaya Sergio, Rahadyan harus berbuat tega mengusirnya.
Namun ketika Sergio sudah pergi, Rahadyan pura-pura mengetuk pintu kamar Kalista.
Anak itu langsung menyembunyikan handphone-nya, menarik selimut buat menutup sampai ke matanya.
"Kalista." Rahadyan akan pura-pura tidak melihat dia menangis. "Ayo sarapan."
"Gak." Anak itu menjawab jauh lebih ketus dari cara Rahadyan menjawab Sergio. "Enggak usah ganggu. Sana pergi."
Rahadyan pasti bakal jengkel kalau saja barusan ia tidak mendengar anak ini menangis.
Yah, walau sebenarnya itu sangat amat tidak menyenangkan, tapi sikap Kalista ini juga karena Rahadyan tidak pernah jadi ayah baginya sebelum ini.
Tentu saja, Rahadyan tidak melakukan secara sengaja, tapi memang apa yang bisa dimengerti anak umur lima belas tahun?
"Kamu," Rahadyan diam-diam merasa canggung bicara normal padanya, "kamu mau belanja?"
"Gak."
"Bukannya kamu bilang mau morotin saya? Kamu bilang mau ngabisin duit saya." Rahadyan berdehem, merasa ucapannya rada aneh tapi tetap ia ucapkan agar anak ini tidak merenung sendirian di kamar. "Kebetulan, duit saya banyak."
Kepala Kalista langsung muncul dari selimut.
Tapi bukan berkata oke, melainkan berkata, "Emang sebanyak apa, sih? Kalo lima juta juga saya punya di celengan ayam saya!"
Rahadyan berdehem sekali lagi.
"Celengan ayam kamu bisa beli kapal pesiar enggak?"
Anak itu langsung loncat dari tempatnya. "Saya mau siap-siap jadi Om keluar sana!"
Duit memang segalanya, gumam Rahadyan bangga.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments