Mama tahu bahwa sebentar lagi kematian akan datang. Mama juga tahu bahwa sebentar lagi Kalista akan sendirian.
Jadi sebelum kematian itu datang, ternyata diam-diam Mama pergi menemui keluarga lelaki yang menghamilinya dulu agar mau menerima Kalista sebagai keluarga.
Kalista sedikitpun tak tahu itu, sampai kematian benar-benar sudah di depan mata ibunya.
Jadi ketika pria itu muncul, pria asing yang katanya adalah Papa, tatapan Kalista tak sedikitpun menyambutnya.
"Saya terlambat." Dia berucap begitu waktu melihat kuburan Mama sudah tertutup oleh tanah, tanpa bunga atau apa pun. "Saya kira pemakamannya sesudah zuhur."
Bibir Kalista bergetar oleh ucapan itu.
"Enggak ada," jawabnya menahan tangis.
"Apa?" Rahadyan terkejut sekaligus tidak paham maksudnya.
"Yang mau sholatin." Kalista semakin bergetar. "Enggak perlu nunggu zuhur."
Rahadyan tersentak mendengar perkataan itu.
Demi Tuhan, ia tak menyangka akan seperti ini. Ibunya Kalista pun tidak meminta apa pun tentang pemakamannya. Dia cuma minta agar Rahadyan datang menjemput Kalista agar tinggal bersamanya.
Rahadyan menelan ludah. Apalagi ketika melihat Kalista menangis di depannya.
Tidak bisa dibohongi, Rahadyan bisa melihat dirinya dalam fisik anak ini. Dia cantik seperti ibunya tapi garis wajah itu milik Rahadyan.
"Kalista—"
"Om inget dia siapa?"
Rahadyan menelan ludah.
Tidak. Sejujurnya tidak.
Wanita yang dikuburkan itu, Rahadyan sangat sulit mengingatnya. Tapi yang jelas, Rahadyan yakin bahwa itu terjadi di usianya yang ke-15 atau 16 tahun.
Di masa-masa Rahadyan masih suka pulang tengah malam, lalu Mama berteriak menyuruhnya sekalian tidak usah pulang, tapi kalau Rahadyan tidak pulang sungguhan, Mama bakal memukulinya dengan sapu ijuk.
"Dasar enggak guna."
Rahadyan tersentak. Apa? Apa yang barusan anak ini katakan?
"Om bikin anak, terus ninggalin perempuan hamil sendirian sampe dia harus jual diri buat hidup! Apa namanya kalo enggak guna?!"
"Kalista, saya enggak—"
"Jangan kira saya mau ngakuin Om jadi Papa saya!" Kalista berteriak kurang ajjar dan penuh kesadaran.
Memang niatnya ia begini. Memang niatnya ia mau jadi sampah yang menyusahkan orang ini.
Mau Mama, mau dia yang mengaku Papa, semuanya cuma bertindak seenaknya di hidup Kalista.
Kenapa dirinya harus terus diam menerima? Ini hidup Kalista tapi seolah ia tak boleh memilih apa-apa.
"Saya cuma ikut Om karena duit Om doang. Saya cuma mau ngabisin duit Om sampe saya puas!" Kalista membuang muka. "Kalo capek, Om tinggal buang saya aja. Kayak Mama saya."
Mau dia tidak suka, mau dia protes, Kalista tidak peduli.
Dia membuang Kalista, maka Kalista setidaknya bebas dari belenggu darah sialan ini.
Tapi kalau dia mengurus Kalista, maka ia benar-benar akan melakukan segala macam hal untuk menyusahkan dia.
"Kalista—"
"Jangan panggil nama saya juga!"
Kalista melotot saat kembali menoleh. Berteriak tanpa memberi dia kesempatan bicara.
"Nama saya itu dikasih sama Mama saya, jangan kotorin sama mulut Om! Om enggak usah nyari-nyari saya, Om enggak usah nanya-nanya sama saya, Om enggak usah sok baik sama saya!"
Rahadyan diam karena syok melihat permusuhan ini.
Mungkin dirinya tidak dalam posisi membela dirinya, tapi sumpah, Rahadyan tidak pernah bermaksud menyakiti anaknya sendiri.
Kenapa anak ini malah seperti punya dendam kesumat padanya?
"Kenapa ngeliat saya? Om enggak suka?" tanya Kalista menantang.
Semakin membuat Rahadyan syok berat.
"Sekarang Om pilih, mau ngurus saya atau mau nelantarin saya? Saya enggak peduli yang mana."
Rahadyan menutup wajahnya dan berulang kali menghela napas lelah.
Anak bau kencur ini. Dia pikir Rahadyan bakal membuangnya sekalipun dia bertingkah gila?
Bahkan kalau Rahadyan punya sisi sampah, membiarkan anaknya berjuang sendirian bukanlah pilihan.
Rahadyan tahu Kalista mengalami ini karena kesalahannya. Maka dari itu Rahadyan pasti akan bertanggung jawab, menjaga dan merawatnya, bukan malah menelantarkannya.
Ya, harap-harap nanti dia berubah juga. Jadi lebih sedikit waras.
"Ikut saya." Rahadyan berlalu, mengisyaratkan anak itu untuk pulang bersamanya.
Tapi diam-diam ia melirik pada pusara ibunya Kalista.
Sukma Dewi, itu yang tertulis di sana.
Nama yang pasaran.
Bahkan meski namanya sudah tertulis, Rahadyan masih tidak bisa mengingat. Membuatnya sadar bahwa dulu mungkin ia benar-benar cuma mempermainkan seseorang tanpa berpikir sama sekali.
Maaf, bisik Rahadyan dalam dirinya sendiri. Kamu mungkin enggak bilang sama aku karena tau aku enggak bakal tanggung jawab.
Lagipula, itu di usianya masih SMA, atau bahkan akhir SMP.
Tapi aku janji jagain Kalista. Jadi yang tenang di sana, Sukma Dewi.
Rahadyan akan mengusahakan yang terbaik pada tanggung jawab yang ini.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Author Kucing
pengen banget ketawain nasib Rahadyan.
belum apa² udh di tolak anak🤣
2023-04-29
1