Kalista tersentak mendengar pertanyaan itu.
"Kamu juga pelacurr kayak mamamu?" tanya Oma Harini, mengulang dengan lebih santai dan kalem.
Tidak sedikitpun terlihat jejak kalau dia mengatakan hal salah jadi dia menyesal. Bahkan, Oma Harini malah terlihat segar saat mengatakannya.
"Kalau kamu pelacurr kayak mamamu, Oma enggak bakal ngakuin kamu jadi cucu Oma. Tapi kalau bukan, berarti kamu beda dari Mamamu."
"...." Kalista menunduk. "Tapi dia kan Mamaku. Sama aja, kan?"
"Kenapa?" balas Oma Harini tenang. "Kamu enggak suka kalau Oma enggak suka sama Mamamu?"
Kalista membuang pandangannya ke arah lain.
Tidak. Kalista tidak peduli bagaimana orang lain melihat mamanya. Lagipula Sukma Dewi adalah pelacurr, mau dia siapa, mau dia bagaimana.
"Pelacurr ya pelacurr." Kalista membalas dingin. "Enggak perlu hormat sama Mama karena emang dia pelacurr. Dia tidur sama banyak orang buat uang. Mau alesannya biar hidup atau biar aku bisa makan, pelacurr tetep pelacurr."
Sama saja pencuri tetap pencuri, mau dia niatnya mencuri untuk bersedekah atau bersenang-senang.
Kalista tidak butuh orang-orang di rumah ini hormat pada mamanya. Kenapa? Karena ketika Mama hidup, orang-orang ini juga tidak berinteraksi dengan Mama.
Mereka semua cuma mitos di hidup Mama.
Buat apa sekarang mereka menghormati Sukma Dewi? Buat apa mengabaikan ketika hidup lalu saat mati malah dihormati? Jadi memang lebih baik tidak usah.
Hormat enggak hormat, Mama ya Mama. Itu yang Kalista yakini dalam hatinya.
"Ya, Oma setuju." Oma Harini tersenyum. "Pelacurr ya pelacurr. Mau niatnya apa. Tapi kamu ya kamu. Kamu anaknya Rahadyan, cucu Oma. Jadi Oma enggak risi."
Aneh, padahal Kalista risi. Mungkin itu perbedaan hidup 'melakukan apa pun yang ia suka karena kaya' dengan 'jadi mainan karena miskin'.
"Kalista." Kali ini, Oma Harini yang tiba-tiba memanggilnya. "Kamu enggak suka sama keluarga Oma? Papamu?"
Kalista menoleh ke arah tangga. Dari tadi ia sadar di sana Rahadyan berdiri memegangi palang tangga, tengah mengamatinya.
"Enggak." Kalista menjawab apa adanya setelah berpaling kembali pada Oma Harini. "Aku enggak benci."
"Tapi sikap kamu beda."
"Aku enggak benci, juga bukan suka." Kalista mengambil sendoknya dan mulai makan. "Aku enggak peduli."
Untuk Rahadyan, Kalista memperlakukan dia semena-mena karena Kalista kesal. Kesal dia sekarang sok jadi pahlawan dalam hidupnya setelah semua yang Kalista lalui.
Tapi selebihnya ia tidak peduli.
Mau dia benci Kalista, mau dia suka pada Kalista, mau dia sayang pada Kalista, mau dia jengkel pada Kalista, sedikitpun ia tak mau peduli.
Berlaku juga untuk semua orang di rumah ini.
"Aku anak gundik, jadi emang dari lahir udah kotor."
Kalista mengambil mangkoknya dan memutuskan buat naik ke kamar biar tidak diajak bicara terus.
"Aku enggak tau sopan santun, enggak ngerti tatakrama, enggak diajarin baik-bener sama Mama jadi aku kurang ajar. Kalo Oma sama Om Enggak Guna di sana udah bosen, bilang aja langsung."
Biar Kalista pergi dengan tenang dari hidup mereka semua.
Sejujurnya, Kalista tidak merasa sedang dibantu. Ia merasa sedang dipermalukan.
Dulu tidak pernah ada, sekarang begitu Mama mati, semua jadi mau menyebut diri mereka keluarga.
Tidak akan ia biarkan semua orang di rumah ini lupa kalau Kalista itu anak pelacurr.
Semua orang harus ingat.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments