"Daddy gak bisa mentolelir kesalahan kamu kali ini, Kiano. Semua aset yang Daddy kasih bakal ditarik semua. Termasuk paspor dan juga visa kamu." Putus Regar yang berhasil membuat Kiano kaget dan langsung terduduk. Bukan hanya dirinya, Caca juga cukup kaget mendengar hal itu.
"Dad! Bagaimana dengan kuliahku?" Protesnya tak terima lalu ditatapnya sang Mommy. Namun Ariana malah memalingkan wajahnya seolah lepas tangan.
"Arggh!" Kiano mengacak rambutnya dengan kasar.
"Mulai sekarang kamu harus bertahan hidup dengan caramu sendiri, karena Daddy tidak akan membantumu lagi. Kesalahanmu kali ini membuat Daddy kecewa." Setelah mengatakan itu Regar pun langung menyita semua barang Kiano tanpa terkecuali. Hanya menyisakan pakaiannya saja.
Caca menatap Kiano yang terus mengacak rambutnya seperti orang gila.
"Renungkan kesalahan kamu kali ini, Kiano." Timpal Ariana seraya menggenggam tangan Caca. "Jangan pernah berpikir untuk melempar kesalahan pada Caca. Kamu yang salah sejak awal."
Kiano menatap sang Mommy penuh permohonan. Jika dirinya tidak kembali bagaimana dengan Anya di sana? Wanita itu tak punya siapa pun di sana.
"Mom, please." Lirihnya.
Caca cuma bisa meliriknya karena tak bisa membantu apa pun. Juga tak ada hak untuk ikut campur masalah yang terjadi.
"Caca akan Daddy antar pulang. Dan untukmu, Kiano. Jangan pernah berpikir untuk menginjakkan kaki lagi ke rumah. Apartemen juga Daddy sita." Kata Regar sebelum meninggalkan tempat itu. Sepertinya Regar benar-benar marah kali ini, terlihat jelas dari raut wajahnya.
Kiano terduduk lemas di lantai. Ia tahu perkataan sang Daddy tak pernah main-main. Dan sekarang ia tak punya apa pun, bahkan sepeser uang pun tak ada karena selama ini hanya mengandalkan uang sang Daddy. Caca cuma bisa menatapnya dalam diam.
***
Kini Caca dan Kiano berada di taman rumah sakit.
"Sssttt." Desisi Kiano saat Caca membubuhi alkohol pada memar diwajahnya. Bukan hanya dirinya, Caca juga ikut meringis seolah merasakan sakitnya.
Awalnya Caca tak ingin peduli soal lelaki itu, tapi rasanya tak tega juga terus membiarkan wajah babak belur itu. Alhasil Caca pun meminta Kiano pergi ke taman, sebelum itu dirinya juga sempat membeli obat dan kapas.
"Kamu bahagia kan lihat aku kayak gini, Ca?" Celetuk Kiano yang berhasil mendapat pelototan dari Caca.
Karena kesal Caca pun menekan kuat lukanya. Spontan Kiano pun berteriak kesakitan. "Ini baru gue puas. Mau lagi?" Kecamnya tak main-main.
Kiano memberikan tatapan tajam, tetapi Caca sama sakali tak terperangaruh. Ia berusaha fokus mengobati luka memar di wajah Kiano.
"Kamu harus tanggung jawab sampai wajah aku balik normal." Tuntut pemuda itu tak tahu malu.
Caca mendengus sebal, tapi tak memberikan tanggapan. Ia terlihat fokus mengoleskan salap di wajah mantan suaminya itu. Tanpa mempedulikan tatapan Kiano untuknya.
Kiano menatap wajah Caca lekat, dan baru menyadari jika Caca sangatlah cantik jika dilihat dari dekat. Bulu mata lentik, hidung kecil meruncing, bibir mungil begitu pas dengan wajah orientalnya. Lalu pandangannya pun terfokus pada jerawat yang ada di dekat bibir Caca. Alih-alih jelek, Caca justru terlihat lebih cantik dengan jerawat itu.
"Ca, kamu jerawatan?"
"Hm." Sahut Caca tak terlalu menanggapinya. Ia benar-benar fokus menyapu sisa darah di ujung bibir Kiano. Karena Pemuda itu meringis kecil saat Caca membersihkan darahnya.
"Kamu gak perawatan?" Tanya lelaki itu lagi seolah peduli.
"Bukan urusan lo gue perawatan apa enggak," jawab Caca dengan santai.
Kiano pun terdiam sejenak. "Kamu masih marah, Ca?"
Caca berhenti sejenak, menatap Kiano datar. "Gue gak punya alasan buat marah sama elo." Katanya yang kemudian lanjut mengobati bibir Kiano yang sudah membiru.
Kiano tak kunjung melepas pandangan dari Caca. Seolah terhipnotis dengan kecantikannya.
Caca pun selesai mengobatinya. "Gue harus pulang." Katanya kemudian seraya memasukkan kapas bekas ke dalam plastik. Lalu menegakkan tubuhnya seraya mengelus perutnya yang sedikit kram.
"Kamu gak papa?" Tanya Kiano melihat itu.
Caca menggeleng lalu bangkit dari duduknya dan meninggalkan Kiano begitu saja. Pemuda itu pun hanya menatapnya sambil menghela napas berat.
"Kenapa kamu masih peduli, Ca? Harusnya kamu benci saja aku." Gumamnya seraya mengusap pelan wajahnya.
"Lho, kok cepet banget pulangnya, Ca?" Tanya Ariana saat Caca berpamitan untuk pulang.
"Iya, Ca. Kamu lapar? Biar Daddy pesenin makanan." Tawar Regar yang juga tak ingin Caca cepat pulang.
Caca menggeleng dengan senyuman cantiknya. "Caca ada tugas kampus yang harus dikumpul besok, Mom, Dad." Jujurnya.
Ariana menghela napas. "Mommy janji kalau udah sembuh main ke sana. Jaga kesehatan ya? Mommy tenang kalau kamu sehat kayak gini. Cucu Mommy juga sehat-sehat ya? Jangan nyusahin Mamanya." Katanya seraya mengusap lembut perut Caca.
Caca tersenyum lagi. "Iya Nenek." Sahutnya menirukan suara anak kecil. Ariana dan Regar pun tertawa geli mendengarnya.
Setelah itu Regar pun langsung mengantar Caca pulang.
"Makasih, Dad. Daddy hati-hati di jalan." Caca mencium tangan lelaki paruh baya itu.
Regar mengusap kepala Caca lembut. "Jaga diri baik-baik, hubungi Daddy kalau ada apa-apa ya? Jangan sungkan, Ca."
Caca mengangguk antusias. "Ya udah, Caca turun dulu." Regar pun mengangguk.
Caca turun dari mobil dan bergegas masuk ke lobi apartemen. Hatinya benar-benar lega sekarang karena tak ada lagi yang perlu ia sembunyikan. Juga senang karena Ariana dan Regar memahami kondisi dan keputusannya untuk tetap menyendiri.
****
Caca membuka pintu apartemennya dengan senyuman lebar karena Randy sempat menghubunginya akan berkunjung.
Pemuda itu tersenyum seraya menyodorkan bingkisan pada Caca.
"Ck, apaan ini, Ran?" Caca menatapnya tak enak.
"Ya kali gue datang bawa tangan kosong." Sahut Randy seraya memasukkan kedua tangannya di saku celana.
Caca tertawa kecil dan langsung mempersilakannya masuk. "Mau minum apa? Cuma boleh milih kopi atau teh, soalnya gue belum belanja bulanan."
Randy tertawa kecil. "Buatin kopi aja, Ca."
"Oke, duduk aja dulu. Gue buatin kopi sebentar. Thanks hadiahnya." Ucap Caca dengan senyuman manisnya.
Randy pun cuma bisa mengangguk lalu duduk di sofa. Caca pun beranjak ke dapur untuk membuatkan kopi.
Tidak perlu lama Caca sudah kembali dengan sebuah nampan berisi segelas kopi dan cemilan. Dengan sigap Randy membantunya.
Caca tersenyum senang lalu duduk di sebelah pemuda itu. "Ran, sorry ya buat yang kemarin. Gue panik banget pas denger Mommy sakit. Makanya gue sampe lupa sama elo." Ucapnya penuh penyesalan.
"Santai aja kali, Ca. Gue ngerti kok." Sahut Randy dengan senyuman tulusnya. "Terus gimana sama nyokapnya Kiano?"
"Udah mendingan, paling besok udah bisa pulang." Jawab Caca apa adanya.
Randy mengangguk, lalu meraih gelas kopi dan menyeruputnya perlahan. Seketika ia terkesiap dengan rasa kopi buatan Caca yang begitu pas dimulutnya.
Caca mengerutkan kening saat melihat reaksi Randy barusan. "Kenapa? Gak enak ya? Apa terlalu pahit?"
Randy langsung menggeleng. "Ini kopi terenak yang pernah gue minum, Ca."
Seketika tawa Caca pun pecah mendengar hal itu. "Bisa aja lo becandanya."
"Serius, ini enak, Ca. Lo yang racik sendiri?" Tanya Randy dengan tatapan serius.
"Hah? Beneran enak?" Kagetnya tak percaya.
Randy mengangguk lalu kembali menyeruput kopinya. Karena itu benar-benar enak di mulutnya.
"Seriusan enak, Ran?" Caca masih tak percaya itu. Karena dirinya hanya memasukkan kopi dan gula sesuai instink.
Randy mengangguk. "Bisa kayaknya gue minta resep elo. Kebetulan gue mau buat konsep baru di restoran."
Caca mengerutkan kening. "Lo punya restoran?"
Randy mendesis kecil karena baru sadar dirinya keceplosan. Alhasil ia pun mengangguk. "Restoran kemarin itu salah satunya."
"Salah satunya?" Kaget Caca dengan mulut sedikit terbuka. Dia bilang salah satunya? Memangnya dia punya berapa cabang?
Randy tertawa geli melihat reaksi kaget Caca. "Biasa aja kali, Ca."
Caca mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menarik bantal dan memeluknya seraya menatap Randy serius. "Tunggu! Jadi selama ini lo ngilang karena jalanin bisnis resto?"
Randy mengangguk karena itu benar adanya. "Gue punya lima cabang, salah satunya ada di Bandung. Kemaren ada problem di sana jadi beberapa bulan gue fokus buat nanganin itu."
Caca benar-benar terperangah mendengarnya. "Dan yang di depan kampus itu cabang baru elo hem?" Tebaknya tak meleset sama sekali karena Randy mengiyakan. "Keren banget lo, Ran. Masih muda udah jadi pembisnis. Pantes lo gak mau kuliah."
Randy tersenyum. "Gue mau fokus ngumpulin duit, supaya istri gue bahagia nantinya. Dan gak akan biarin dia kekurangan apa pun."
Caca tertawa kecil. "Perempuan itu pasti beruntung banget dapetin elo, Ran. Semoga lo sukses terus ya? Doain gue supaya bisa jadi dokter terkenal di masa depan."
"Amin."
Caca terdiam beberapa saat seraya menatap pemuda itu. "Gue boleh gak kerja sama elo?"
"Hah?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Ilan Irliana
Cha2 Randy yeeaahhh...
2023-05-02
0
Aska
Caca sm Rendy aja la cowok mandiri dan mapan gak kayak kiano hidupnya masih di biayain ortu aja belagu nampung ceweknya keapertemen
2023-04-09
0
Pujiastuti
lanjur kak tetap semangat upnya 💪💪💪
2023-04-09
0