Caca terus mengutuk dirinya sendiri karena merasa ceroboh. Bisa-bisanya ia terjatuh dan berakhir dalam pelukan lelaki kaku itu. "Haish, mimpi apa gue semalem?"
Caca mendudukkan diri di ranjang, lalu mengelus perutnya. "Lupa tadi malem Mama kan gak bisa tidur. Pantes gak ada tanda-tanda Papa kamu bakal datang. Sial banget pagi Mama, Sayang."
"Ck, udah bagus dia di luar negeri. Ngapain coba balik lagi ke sini. Ganggu ketenangan aja. Mana nuduh gue caper lagi? Pede banget jadi lakik, sok keganteng. Gak ada kerjaan banget gue caper segala sama cowok kayak dia. Haish, tapi dia emang ganteng sih. Dan gue gak bisa mungkiri dia bapak anak gue." Dumelnya lagi.
Dengan perasaan dongkol, Caca pun memilih berbaring dan lanjut tidur karena memang sangat mengantuk. Bahkan tak peduli lagi soal Kiano yang masih di sana.
Kiano menatap deretan foto Caca yang terpajang di dinding. Mulai dari foto kecilnya sampai foto mereka saat hari kelulusan pun ada di sana. Kiano menatap lekat foto Caca yang berdiri tepat di sebelahnya itu, ia baru tersadar jika Caca sangat manis saat tersenyum seperti itu. Ah, Kiano lupa gadis itu jarang sekali mengobrol dengannya karena jarak yang dia buat sendiri.
Setelah puas melihat-lihat seisi apartemen mantan istrinya itu. Kini Kiano sudah berdiri di depan kamar Caca. Lalu perlahan tangannya meraih handle pintu dan memutarnya. Kiano terkejut ternyata pintunya tidak terkunci. "Cih, dasar ceroboh."
Entah keberanian dari mana ia membuka pintu itu. Dan melihat Caca yang sudah tidur nyenyak sambil memeluk guling.
Perlahan ia menutup pintu, lalu berjalan pelan ke arah ranjang. Menarikkan selimut hingga sebatas perut Caca. Setelah itu ia pun menyusuri kamar Caca dengan rasa penasarannya. Hingga kakinya terhenti tepat di depan dinding yang dihiasi banyak foto polaroid Caca. Namun yang menjadi daya tariknya adalah hasil usg yang Caca selipkan di antara foto-fotonya. Ada dua hasil usg berbeda di sana.
Kiano mengambil salah satunya, yaitu hasil usg kemarin. Diusapnya lembut benda itu. Dan seulas senyuman terbit dibibirnya. "Baby Boy rupanya."
Kiano mengeluarkan ponselnya, lalu memotret hasil usg itu untuk ia simpan sendiri. Setelah itu ia memasangnya kembali di tempat semula. Lalu bergegas meninggalkan kamar dan apartemen Caca.
Caca terbangun saat matahari mulai mencorong dan perutnya terasa perih minta diisi. Meski malas, Caca pun bangun dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu setelahnya ia beranjak ke dapur untuk membuat susu dan makan sesuatu. Seperti biasa, ia akan menghadapi drama muntah-muntah karena mencium aroma aneh saat membuka kulkas. Alhasil ia pun menutup hidung selama membuat susu dan roti selai. Setelah itu beranjak menuju ruang tv. Menonton serial televisi favoritnya.
Saat sedang asik menonton, terdengar suara bel pintu. Caca mendesah kecil. "Siapa lagi sih? Jangan bilang si brengsek itu balik lagi."
Gerutunya seraya bangun dan berjalan menuju pintu. Lalu membukanya dengan malas karena ia pikir itu Kiano. Namun ia salah besar, karena yang datang adalah kedua orang tuanya. Sontak tubuh Caca pun membeku.
Bukan hanya Caca, Tias dan Ferry terkejut saat melihat perut Caca. Sampai-sampai barang-barang yang mereka bawa pun terjatuh dan berceceran di lantai. Awalnya mereka ingin memberikan kejutan pada putrinya itu, tetapi malah mereka yang terkejut sekarang.
"Ca, kamu hamil?" Tias menatap wajah Caca dan perut anaknya itu bergantian. Sedangkan Caca langsung tersadar dari keterjutannya itu.
"Ma__ma, Papa, kenapa gak ngasih tahu mau ke sini?" Caca terlihat gugup seraya menyentuh perutnya.
Tias memegang kedua bahu Caca dengan tatapan penuh tanya. "Anak siapa, Ca?" Tanyanya dengan sorot takut di matanya.
Caca terdiam mendengar pertanyaan itu.
"Caca, jawab Mama. Bukannya kamu sama Kiano gak pernah tidur? Terus itu anak siapa?" Tanya Mama lagi tak sabaran. Berharap ketakutannya itu tak benar-benar terjadi.
Caca menunduk. "Aku sama Kiano pernah ngelakuin kesalahan satu malam, Ma." Akhirnya ia pun menjawab.
Mama menghela napas lega. "Jadi itu anak Kiano kan?"
Caca mengangguk lesu.
"Ma, mending kita masuk dulu. Ngobrolnya sambil duduk, kasian Caca kalau berdiri kelamaan." Titah Papa Ferry menatap putrinya iba.
Tias pun mengangguk dan langsung membawa Caca masuk, lalu duduk di sofa ruang tamu. Sedangkan Ferry memunguti barang belanjaan yang tadi terjatuh sebelum ikut masuk.
"Ca, kenapa gak bilang sama Mama?" Diusapnya kepala Caca lembut. Ia tahu pasti putrinya sudah melewati hal berat tanpa sepengetahuannya. Ia benar-benar menyesal karena mengira Caca baik-baik saja dan percaya saat Caca mengatakannya lewat telepon.
Caca menatap Mamanya dengan mata berkaca-kaca. "Caca minta maaf, Mama." Dipeluknya wanita yang sudah melahirkannya itu dengan erat. "Caca takut, Ma. Caca takut kalian gak akan percaya kalau ini anak Kiano."
"Ca." Tias memeluk putrinya itu penuh penyesalan. Bagaimana bisa ia membiarkan putrinya menghadapi semuanya sendirian?
"Gimana bisa Mama gak percaya sama putri Mama, Ca? Anak Mama, pasti banyak hal berat yang kamu lewati kan? Mama minta maaf, Sayang."
Dikecupnya kepala Caca bertubi-tubi. Sontak tangisan Caca pun pecah karena merasa berdosa sudah menutupinya dari mereka.
Kini Papa Ferry pun ikut duduk di sisi lain putrinya. Mengusap lembut rambutnya. "Kiano sama keluarganya tahu soal ini kan?"
Caca menarik diri dari pelukan Mamanya, lalu menatap sang Papa lekat. "Kiano tahu, Pa. Tapi Mommy sama Daddy belum."
"Terus gimana tanggapan Kiano?" Tanya Tias begitu penasaran.
"Aku gak tahu, Ma. Dia gak bilang apa-apa soal anak ini. Tapi tadi dia ke sini." Jawabnya jujur.
Tias pun menatap suaminya, begitu pun sebaliknya. Setelah itu mereka pun kembali menatap putrinya. Diusapnya kepala anaknya itu penuh sayang.
"Ikut Mama sama Papa pulang ya? Kita rawat anak kamu sama-sama. Mama tahu gak mudah kamu lewati semuanya sebelum ini. Mama pernah diposisi kamu, Sayang." Caca menyandarkan kepalanya di pundak sang Mama lalu memeluknya dari samping.
"Caca mau di sini, Ma. Rumah Mama sama Papa jauh ke kampus. Caca gak sanggup pulang pergi kalau jaraknya jauh. Caca baik-baik aja, Ma. Caca bisa lewatin semuanya sendiri. Mama sama Papa gak perlu cemas." Jawab Caca apa adanya. Karena rumah orang tuanya memang sangat jauh dari kampus. Karena itu Caca memilih tinggal di apartemen selama ini yang hanya butuh lima menit ke kampus.
"Ck, gimana Papa sama Mama gak cemas setelah tahu kondisi kamu kayak gini, Ca." Ujar Papa menatap perut buncit Caca lalu menyentuhnya. "Berapa bulan?"
"Empat bulan, Pa." Jawab Caca lagi.
"Bisa-bisanya selama itu kamu sembunyiin hal besar kayak gini, Ca. Gimana kalau hari ini Papa sama Mama gak datang? Mau sampai kapan kamu sembunyiin?" Tias memukul pelan lengan Caca karena kesal.
Caca tidak menjawab karena pernah berniat tak akan memberi tahu mereka.
"Bisa-bisa dia gak tahu siapa Nenek Kakeknya, tega kamu, Ca." Imbuh Mama yang berhasil membuat Caca tersenyum. Kemudian mengeratkan pelukannya.
"Caca minta maaf." Ucap Caca lagi dengan setulus hati.
"Gak papa, Papa paham perasaan kamu, Sayang. Justru Papa yang merasa bersalah karena Papalah yang buat kamu seperti ini. Bahkan kamu harus hamil di saat tak punya suami. Papa bakal minta pertanggung jawaban Kiano, Ca."
Mendengar itu Caca pun langsung duduk tegak menghadap sang Papa. "Enggak, Pa. Caca gak mau."
"Gak bisa gitu, Ca. Dia harus tanggung jawab dengan ucapannya sendiri. Bisa-bisanya dia bilang gak pernah sentuh kamu di depan banyak orang. Tapi buktinya kamu bisa hamil kayak gini. Sekarang Papa nyesal karena pernah jodohin kamu sama dia. Brengsek!" Caca meraih tangan Papanya itu dengan lembut.
"Pa, Caca gak mau terikat lagi sama dia. Caca udah mutusin buat jaga anak ini sendiri. Gak peduli soal tanggapan orang sekali pun. Caca bisa rawat anak ini tanpa Ayahnya." Jelas Caca coba meyakinkan Papanya. Ia benar-benar tidak mau lagi terlibat hubungan pelik dengan Kiano.
Ferry menghela napas pendek. "Kalau itu keputusan kamu, Papa gak akan maksa lagi. Papa juga gak mau ngelakuin kesalahan yang sama, Ca. Cukup sekali Papa buat kesalahan dalam hidup kamu." Diusapnya kepala Caca penuh cinta.
Caca terseyum lega lalu berhambur memeluk cinta pertamanya itu. "Makasih, Pa. Caca minta maaf."
"Papa juga minta maaf, Sayang." Dikecupnya pucuk kepala Caca dengan mesra.
Tias yang melihat itu pun tersenyum haru seraya menggenggam tangan putrinya. "Mulai sekarang kamu gak sendirian, Sayang. Mama sama Papa akan terus disisi kamu."
Caca mengangguk, lalu ketiganya pun berpelukan mesra.
****
Di tempat lain, lebih tepatnya di rumah sakit. Kiano tampak duduk di sofa sambil menatap lekat layar ponselnya. Di usapnya layar ponselnya itu perlahan sambil sesekali tersenyum.
Ariana yang melihat itu pun merasa kesal karena berpikir Kiano tengah menatap foto kekasih gelapnya. Alhasil ia pun berdeham kencang untuk mencuri atensi putrinya. Dan itu berhasil karena perhatian Kiano teralihkan padanya.
Pemuda itu buru-buru menyimpan ponselnya dan beranjak ke arah sang Mommy. "Kenapa, Mom? Ada yang sakit lagi?"
Ariana menggeleng dengan tatapan tak bersahabat. "Udah dapat kabar soal Caca belum?" Tanyanya rada ketus.
Kiano menghela napas. "Mom...."
"Jangan sampai Mommy bertanya dua kali, Kiano." Sarkasnya. "Atau kamu lebih senang Mommy mati karena kangen anak itu?"
Kiano mendesah pelan. "Mom, kasih aku waktu. Lagian kalau pun aku ketemu Caca, belum tentu dia mau aku ajak bicara. Dari dulu dia selalu jaga jarak sama aku."
"Itu salah kamu sendiri, Kiano. Kamu yang buat dia merasa harus jaga jarak, sebagai suami kamu gak bisa ngasih dia kebahagiaan. Gimana dia bisa bahagia, bahkan nafkah batinnya aja gak kamu penuhi. Suami macam apa kamu? Wajar Caca menjaga jarak." Semburnya.
"Mom, please. Kalian juga tahu dari dulu aku gak pernah suka sama dia. Yang aku cinta itu Anya, Mom." Sahut Kiano merasa frustrasi.
"Jangan sebut wanita j*l*ng itu, Kiano!" Bentak Ariana tak suka jika Kiano kembali menyebut nama wanita itu.
"Stop bilang dia j*l*ng, Mom. Dia...."
"Kamu bakal nyesel, Kiano. Selamanya kamu bakal nyesel karena masih bela wanita sialan itu. Bahkan kamu lebih milih dia dari pada Caca yang udah jelas asal usulnya." Sanggah Ariana dengan sorot mata tajamnya. Ia benar-benar marah karena Kiano terus membela Anya, wanita yang amat ia benci.
Kiano pun tak bersuara lagi dan mengalah karena tak ingin terjadi sesuatu hal yang tak dinginkan pada Mommy-nya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Susi Susiyati
betul tu mom.pasti kiano bkal nyesel tujuh turunan.milih jalang sialan itu drpd caca
2023-09-03
1
Uthie
Betul Mom... biarin aja si Kiano nyesel milih jalang daripada wanita terhormat kaya Caca 👍🤨
2023-05-19
1
Siti Nurjanah
mungkin ibu kiano pernah lihat Anya jalan Ama laki lain atau bahkan om om
2023-05-19
0