Lab Komputer

Jarak antara gedung jurusan IT dan Sastra Indonesia memang cukup jauh sehingga setiap mahasiswa jarang sekali bertemu satu sama lain.

Namun ada satu tempat yang biasanya di dalamnya banyak sekali mahasiswa dari berbagai jurusan. Lab komputer. Setiap mahasiswa pasti memerlukan lab ini walau tidak setiap hari.

“Aku tau kamu ke sini bukan buat tugas kita,” ucap Grace. Sudah sejak kemarin dia berpikir untuk datang ke sini, namun baru kesampaian hari ini.

“Ya kan aku emang cuma mau antar kamu,” dalihnya. Bukan itu sebenarnya alasannya. Sudah lama juga dia Daisha ingin main ke sini, tapi karena tak ada teman, jadi dia selalu tak bisa datang.

Hari ini sebuah kebetulan Grace akan mengerjakan tugasnya di sini, jadi dia ikut dan dia juga akan melakukan hal yang ingin dia perbuat.

“Dasar.” Meski begitu, mereka berdua berjalan  untuk mencari tempat yang kosong. Walau tempat ini diberi nama lab komputer, tapi tak hanya ada komputer saja di dalamnya. Ada beberapa buku juga yang relevan dengan IT.

“Kamu duluan, aku mau lihat-lihat dulu.” Daisha meminta agar Grace mengambil tempat duduk terlebih dahulu dan dia akan berkeliling melihat-lihat.

Grace mengangguk setuju dan mereka berpisah di sana. 

“Apa semua buku ini hanya tentang IT?” tanya Daisha. Sudah ada tiga buku yang dia lihat dan ketiganya berkaitan dengan IT yang berarti memang tak ada buku lain di sana.

“Tunggu dulu...” Mata Daisha memandang lurus ke arah seseorang.

Daisha merasa tak asing dengan wajah itu. “Tapi di mana aku melihatnya?” tanyanya. Dia dengan keras berusaha mengingat siapa orang itu.

“Ahh dia...” Akhirnya Daisha mendapatkan ingatan itu. Dia mengenalnya. Dengan langkah pasti, Daisha mendekati pria itu. Seorang pria dengan kulit putih dan mata abu-nya. Tentu saja dia juga sangat tampan.

“Hai,” sapanya.

Pria yang semula hanya fokus pada komputer di hadapannya itu akhirnya dengan terpaksa harus menoleh ke arah orang yang baru saja menyapanya.

Matanya hampir saja membulat jika dia tak sadar bahwa dia harus kembali menormalkan ekspresinya. “H-hai.” Pria itu kembali menyapa dengan caanggung.

Dia tak menyangka akan bertemu dengan Daisha di sana. Padahal selama ini dia sering datang ke sana tapi tak pernah melihat ada Daisha.

“Kamu yang kemarin nolong aku, kan?” Daisha kembali bertanya karena dia takut telah salah mengenali seseorang.

“Ahh iya.” Arjuna, dia hanya bisa mengatakan ‘iya’ karena tak ada gunanya juga dia menyembunyikannya lagi.

Daisha telah melihat wajahnya dan mengenalinya. Yang perlu dia lakukan sekarang hanya menyembunyikan perasaannya.

“Makasih ya buat semalam dan aku mau minta maaf karena udah gak sopan buka masker kamu gitu aja,” sesalnya. Itulah satu-satunya hal yang dia sesali semalam. Harusnya dia bisa bersikap lebih sopan pada orang yang membantunya.

“Gak apa-apa.”

“Ah iya kenalin, aku Daisha. Kamu?” Daisha mengulurkan tangannya dengan harapan uluran tangannya itu akan dibalas.

“Arjuna.” Ternyata wajah dingin yang ditampilkan oleh pria itu hanya menipu. Nyatanya pria itu tak sedingin kelihatannya.

Setelah mendapatkan lampu hijau dari Arjuna, Daisha mengambil salah satu kursi kosong yang ada di sana dan duduk di samping Arjuna.

“Kamu lagi ngapain?” Dengan antusias, Daisha bertanya. Bukannya ingin mengganggu, dia hanya penasaran dengan apa yang dilakukan oleh orang tampan di lab seperti ini.

“Bukan apa-apa.” Karena terlalu fokus dengan Daisha, Arjuna sampai melupakan apa yang sedang dia lakukan.

Dengan cepat, dia menutup work yang sedang dia kerjakan. Sebenarnya bukan hal yang negatif, dia hanya sedang membuat sebuah aplikasi tapi dia malu jika harus mengatakannya pada Daisha.

“K-kamu sendiri lagi apa di sini?” Hanya itu yang bisa dilakukan Arjuna sekarang, mengalihkan pembicaraan.

“Ah aku antar teman yang mau kerjain tugas.” Daisha menunjuk ke arah Grace yang masih bisa dia lihat dari sana. Arjuna mengangguk, dia tahu Grace karena gadis itu sering bersama dengan Daisha.

“Oh iya, waktu itu ngapain kamu malam-malam ada di sana?” Daisha sedikit penasaran.

“Pulang dari kampus. Kebetulan lihat kamu lari sepertinya sedang dikerjar seseorang,” dustanya. Tentu saja dia ada di sana karena memang dia mengikuti Daisha.

Daisha mengangguk mengerti. “Ternyata ada juga yang pulang kelas malam. Untung saja waktu itu ada kamu, kalau gak ada entah apa yang akan terjadi.” Dia memasang ekspresi putus asa dan ngeri di saat yang bersamaan. 

“Memangnya dia siapa?” 

Daisha menggeleng. Dia juga tak yakin dengan apa yang dilihatnya. “Aku juga gak yakin. Tapi kayanya dia menjual senjata deh. Pistol mungkin?” Daisha berusaha mengingat apa yang dia lihat walau tak yakin. Pasalnya saat itu tak ada penerangan yang mendukung hingga dia hanya bisa melihat di bawah remang lampu jalan.

Mendengar jawaban dari Daisha membuat Arjuna yakin jika gadis itu melihat semuanya. Bukannya apa-apa, namun Arjuna takut hal itu akan membahayakan Daisha bahkan nyawa gadis itu.

“Kamu sendirian di sini?” tanya Daisha sambil melihat sekitar.

Arjuna mengangguk karena kebetulan hari ini dia memang sendirian. Padahal tadi Dikta sudah akan ikut dengannya, tapi karena El mengajak pria itu ke perpustakaan membuat Dikta mengurungkan niatnya dan berakhirlah Arjuna pergi sendiri.

Daisha mengangguk mengerti. “Sha, aku cari dari tadi!” protes Grace yang baru saja datang.

Daisha tersenyum canggung. Saking seru dia berbicara dengan Arjuna, dia sampai melupakan tujuan awalnya ke sini. Bahkan dia juga sampai melupakan Grace.

“Maaf, aku lupa,” jawab Daisha menyesal.

Grace mengalihkan pandangannya pada seorang pria yang sepertinya tadi sedang bicara dengan Daisha. Mata Grace membulat sempurna.

“Sempurna,” cicitnya saat dia melihat ciptaan Tuhan yang satu itu. Selama dia menjadi bagian dari kampus ini, ini kali pertama dia melihat pria yang sangat sempurna.

“Dia siapa?” Grace kembali membuka suaranya. Wajah yang menawan itu berhasil membuat Grace penasaran dengan nama dari pemuda itu.

“Ah iya, Grace kenalin ini Arjuna. Arjuna, dia Grace temanku.” Daisha saling memperkenalkan dua orang itu.

Grace mengulurkan tangannya dan dibalas oleh Arjuna. “Grace.”

“Arjuna.”

“Kalau gitu kita pergi dulu ya,” pamit Daisha. Perasaannya juga sudah mulai tak enak karena Grace yang tak henti memandang Arjuna dengan tatapan kagumnya.

Bukan rasa cemburu, tapi dia takut Arjuna merasa tak nyaman dengan tatapan Grace hingga membawa Grace pergi dari sana sepertinya adalah sebuah pilihan yang sangat tepat.

“Ah iya.” Arjuna tersenyum simpul dan membiarkan mereka pergi dengan Daisha yang menarik lengan Grace sementara tatapan Grace masih terfokus pada Arjuna.

Arjuna membalas senyum aneh di wajah Grace. Bukan berarti dia menyukai itu, dia melakukannya hanya untuk menghargainya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!