Malam Panas

Arjuna berjalan menuju kelasnya dengan malas. Andai dia bisa melakukan hal lain yang bisa dia gunakanan sebagai alasan agar tak mewarisi bisnis ayahnya itu, dia akan melakukannya.

Tapi sejauh ini, kuliah memang adalah satu-satunya pilihan untuk menghindari itu. Walau sebenarnya ayahnya telah mendesaknya untuk mengambil alih bisnis itu, tapi Arjuna memilih menggantungnya dan dia akan mengambil keputusan nanti jika dia siap.

“Heii Bro.” Seorang pria dengan rambut ikal merangkulnya dengan lumayan keras hingga Arjuna sedikit terhuyung.

Sementara Arjuna hanya membalas sapaan pria itu dengan deheman saja. Seperti yang telah kalian ketahui jika saat ini Arjuna sama sekali sedang tak memiliki semangat.

Elkairo Alkaezar, setidaknya nama yang menurutnya sulit diucapkan itu adalah nama pemberian ayahnya. Pria yang kerap disapa El itu menoleh untuk melihat lebih jelas raut wajah Arjuna yang berada dalam rangkulannya.

“Ada masalah apa?” tanya El penasaran. Dia memang sedikit usil, tapi dia pandai membaca situasi dan dia tak akan pernah mempermainkan situasi semacam ini atau dia akan dibunuh ditempat oleh Arjuna.

“Gak apa-apa.” Walau mulutnya menjawab dia tidak kenapa-kenapa, tapi helaan nafas setelah jawabannya itu cukup menjadi penjelas kalau Arjuna pada nyatanya tidak sedang baik-baik saja.

“Ke kantin dulu?” Tak ingin memaksa temannya itu untuk mengatakan apa yang menjadi keluh kesahnya, El akhirnya memilih untuk mengalihkan pembicaraan, toh jika nanti Arjuna sudah ingin bercerita, dia akan terbuka dengan sendirinya.

Arjuna mengaangguk menyetujui ajakan dari El. Sebenarnya kehidupan El tak berbeda jauh dengannya. Dia seorang anak pembisnis terkenal juga, tapi sayang dibalik itu, ayahnya El juga kerap melakukan transaksi terlarang.

Tapi pemikiran El dengannya berbeda, jika pria itu akan menerima dengan lapang apa yang diwariskan oleh ayahnya, maka tidak demikian dengan Arjuna.

“Dengan ini aku tak harus cari kerja lagi.” Itu yang dia katakan ketika dia bercerita bahwa ayahnya akan mewariskan tahtanya pada putranya itu.

“Mau makan apa?” Pertanyaan dari El membuat lamunan Arjuna buyar. Dia menunjuk salah satu menu yang ada di sana.

Dengan baik hatinya, El mengambilkan makanan untuk sahabatnya itu. “Nih.” Pria itu menyodorkan makanan milik Arjuna. 

“Dikta belum datang?” Arjuna bertanya karena tumben sekali temannya yang satu itu datang lebih telaat daripada mereka. Padahal Dikta dikenal dengan pria yang paling rajin di antara mereka bertiga.

“Gak tau, mungkin kesiangan,” jawab El.

****

Sementara itu orang yang baru saja dibicarakan oleh Arjuna dan El saat ini tengah menggeliatkan badannya di sebuah ranjang dengan sprai putih. Kepalanya sedikit pening, dia melihat sekeliling berusaha mengenali tempat di mana dia tidur karena dia yakin sekarang dia tidak sedang berada di rumahnya.

“Enngh di mana ini?” lenguhnya. Dikta melihat ke arah samping kanannya dan betapa terkejutnya dia ketika dia melihat seorang gadis yang tertidur di sampingnya dengan badan polos tanpa sehelai benangpun.

“Kau sudah bangun?” Gadis itu ikut membukaa matanya saat dia merasakan ada pergerakan di sampingnya.

“Kau siapa?” Dikta benar-benar tak mengenal orang yang sekarang berada di sampingnya itu.

“Ahh lupakan saja, aku hanya orang yang tak kau kenali dan kita melakukan hal yang sangat panas tadi malam.” Seolah tak ada beban ketika gadis itu menjelaskan apa yang terjadi tadi malam pada Dikta.

“Maksudmu?” Dikta berusaha memastikan. Mungkin saja dia salah menangkap maksud dari ucapan gadis itu atau mungkin telinganya yang salah mendengar.

“Kau tau sendiri. Kita melakukannya tadi malam,” jawab gadis itu mengulang apa yang dia katakan tadi.

Dengan santainya gadis yang sama sekali tak Dikta kenali itu bangun dari ranjang dengan selimut yang dia tarik untuk menutupi tubuh polosnya. Hal itu membuat tubuh Dikta terekspos dengan sangat nyata.

“Ahh tidak!!” teriaknya karena terkejut. 

“Jangan terlalu malu, lagipula aku sudah melihat semuanya malam tadi.” Gadis itu berkata sambil melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.

Dikta yang merasa tersindir dengan hal itu hanya mengusap kepalanya malu. Dia juga sedikit gugup sebenarnya. Menunggu gadis itu keluar dari kamar mandi, Dikta segera mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai.

Dia tak perduli dengan aroma aneh yang ada di badannya, setelah dia memastikan sesuatu pada gadis itu nanti, dia akan segera pergi dari sana.

Beberapa kali Dikta melihat jam tangannya karena gadis itu tak kunjung keluar. Padahal ini sudah cukup lama dia menunggu.

Akhirnya Dikta memutuskan untuk melihatnya sendiri. Bukan untuk mengintip, tapi untuk memastikan jika gadis itu baik-baik saja.

“Kau masih di dalam?” tanya Dikta ragu sambil mendekatkan dirinya pada pintu.

“Hmm, kenapa?” Gadis itu membalas namun dengan suara yang begitu sayu. Karena merasa tak enak, Dikta terpaksa membuka pintu kamar mandi.

Hal pertama yang dia lihat adalah gadis itu yang tengah berendam di bathup dengan segelas wine di tangannya.

“Kenapa kau belum pergi?” tanya gadis itu menatap Dikta dengan sangat sayu. Sepertinya dia sudah sangat mabuk sekarang.

“A-ahh aku menunggumu,” jawab Dikta dengan ragu.

Jawaban Dikta hanya mendapatkan kekehan ringan dari gadis itu. “Untuk apa menungguku? Masih mau melakukannya?” tanyanya sambi menatap Dikta dengan dalam.

“T-tidak!!” Tentu saja Dikta tak ingin gadis itu salah paham padanya dan berpikiran yang tidak-tidak.

“Lalu?”

“Tidak, kalau begitu aku pergi,” ucap Dikta. Tepat sebelum Dikta melaangkahkan kakinya untuk berbalik, sebuah suara kembali menghentikannya.

“Kau tidak lupa untuk memberiku bayaran, kan?” Hal itu kembali membuat Dikta berbalik. Perlu beberapa waktu untuk membuat pria yang sedikit polos itu mengerti dengan apa yang dikatakan oleh sang gadis.

“Ah iya. Aku akan menyimpannya di ranjang.” Gadis itu mengangguk dan mengibaskan tangannya memberikan tanda jika Dikta sudah boleh pergi sekarang.

Dikta menuju ranjang dan dia menyimpan beberapa lembar uang di sana seperti yang dikatakan oleh gadis di sana.

“Apa mereka selalu melakukan ini?” tanya Dikta. Dia sama sekali tak mengerti dengan apa yang dilakukan orang-orang.

Namun meski begitu, dia tak akan datang lagi ke tempat ini. Lagipula dia sama sekali tak mengingat apa yang telah dia lakukan semalam. Bukannya dia hanya tidur?

Setelah Dikta pergi, gadis itu keluar dari kamar mandi berbalut haanduk dan rambut basahnya. Dia terkekeh. “Dia tak menyadari kegiatan kita semalam?” tanyanya heran.

“Cih, lalu untuk apa dia menyewaku jika dia sama sekali tak menikmatinya? Aku bisa kabur dan mendapatkan bayaran dengan mudah jika semua pelangganku sama sepertinya,” ujarnya.

Sebenarnya untuk wajah manis sepertinya, pekerjaan ini benar-benar tidak cocok. Tapi apa lagi yang harus dia lakukan jika hanya dengan begini dia bisa mendapatkan uang dengan mudah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!