Tentangnya

Arjuna menghempaskan badannya di atas ranjangnya. Nafasnya masih terengah, bukan karena lelah, tapi dia masih merasa terkejut dengan hal yang dia lalui beberapa saat lalu.

“Kenapa gak ngehindar, sih?” tanyanya pada dirinya sendiri. Niat awal dia tak ingin ketahuan oleh Daisha sekarang sudah punah. Gadis itu telah melihat wajahnya dengan jelas mugkin.

“Aarrgghh!!” Dia bangkit menuju dapur. Tak ada makanan di sana. Dia hanya membuka lemari pendingin yang dia tahu hanya ada air mineral di sana.

Tangannya terulur untuk mengambil satu botol air mineral itu dan meneguknya hingga habis setengah. Tak lama, suara pintu seperti dibuka. Dia sudah tahu siapa orang yang datang.

“Dari mana aja kamu?” tanya seseorang yang baru saja datang itu.

Arjuna tak akan ambil pusing dengan semua ini. Dia tahu apa yang akan dia dapatkan setelah ini. Pria itu berjalan ke arah sofa setelah dia menyimpan kembali botol air mineral yang semula ada di tangannya.

“Ada urusan di luar,” jawabnya degan singkat dan mendudukan dirinya di sana.

“Urusan apa sampai larut seperti ini?” Orang yang memiliki gelar sebagai ayah Arjuna itu terus bertanya memojokan Arjuna.

“Apa aku harus melapor setiap perbuatan yang aku lakukan pada Ayah?” tanyanya. Arjuna sudah sangat lelah diperlakukan seperti robot oleh ayahnya sendiri.

Pria yang dipanggil ayah itu menoleh ke arah Arjuna dengan pandangan sengitnya. Baru kali ini dia mendengar Arjuna menaikan nada bicaranya saat berbincang dengannya.

“Ah... lupakan.” Arjuna menghela nafasnya dan memilih untuk mengalah.

“Hal apa yang bikin kamu bisa seberani ini sekarang.” Arjuna kira semuanya sudah selesai jika dirinya mengalah, namun sepertinya tidak semudah itu. Nyatanya, ayahnya masih terus memojokannya.

“Jika ada lain kali kamu terlambat pulang sampai melupakan bisnis kita, kamu akan mendapat bayarannya,” ucap sang ayah dengan tajam.

Ayahnya memang telah mengamanatkan Arjuna untuk mengecek bisnis mereka. Ayahnya telah memberikan keringanan dengan membiarkan Arjuna hanya datang saat pria itu sedang senggang dari urusan kampusnya. Tapi, kali ini putranya itu tak pergi ke sana.

“Bisakah Ayah pergi? Aku lelah,” pinta Arjuna putus asa. Dia merasa sangat tersiksa bertahun-tahun diperlakukan seperti sekarang.

“Ini terakhir kalinya kamu seperti ini.” Ayah Arjuna mencoba memberikan peringatan pada putranya agar tak lagi melakukan hal yang sama untuk kedepannya.

Pria paruh baya itu segera pergi dari sana tanpa perlu diminta lagi. Arjuna masih diam di sofa. Dia menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah.

“Berapa lama lagi?” tanyanya.

**** 

Sementara itu, Daisha pulang ke rumah kontrakannya dengan selamat. Orang yang beberapa lalu mengejarnya tak lagi nampak.

“Harusnya aku berterima kasih dengan benar padanya,” ujarnya saat dia mengingat jika dia justru malah berlaku tak sopan pada orang yang telah menolongnya itu.

Daisha menyimpan tasnya di tempatnya kemudian dia duduk menghadap komputer. Helaan nafas terdengar sangat putus asa.

Seperti biasa, permasalahannya seputar tulisannya yang tak kunjung dilirik oleh penerbit atau para pembaca. Entah hal apa lagi yang harus dia lakukan.

Perlahan dia membuka platform yang selama ini dia gunakan untuk menulis. Dia akan kembali melihat apakah ada feedback yang positif hari ini atau masih sama seperti sebelumnya.

“Aku tak akan berharap lebih,” ujarnya.

Seperti yang dia kira, semunya masih sama. Tapi hal ini tak menjadikan Daisha malas untuk melanjutkan karyanya. Dia akan melanjutkannya tak perduli apakah akan ada yang membaca atau tidak.

Jari tangannya mulai menari dengan lincah di atas keyboard. Dia mengetikan sesuatu yang indah yang dia harap bisa menarik perhatian semua orang. Tak pernah dia setengah-setengah dalam menulis karena ini memang cita-citanya.

Daisha semakin masuk ke dalam cerita hingga dia tak sadar dia memvisualisasikan seseorang. “Tunggu dulu... Topi hitam? Masker?” Daisha berhenti saat dia menyadari sesuatu.

“Aku menulis tentangnya?” tanyanya. Tiba-tiba saja orang yang tadi membantunya terlintas dalam pikirannya hingga tanpa sadar Daisha memvisualisasikan orang itu.

“Tapi dia memang tampan,” sambungnya. Dia tak munafik jika dia menyukai orang itu hanya dalam satu kali pertemuan saja. Tapi bukan berarti dia jatuh cinta, dia hanya suka.

“Tak apa, aku akan melanjutkannya,” ujarnya.

Karena sudah terlampau panjang dia menuliskannya, akahirnya dia memutuskan untuk memasukan orang itu sebagai salah satu karakter dalam ceritanya.

“Kenapa menjadi sangat mudah ketika menuliskan tentangnya?” tanyanya. Biasanya untuk mencapai tiga ribu kata, dia memerlukan beberapa jam untuk selesai. Tapi sekarang, untuk tiga ribu kata, dia bahkan bisa menyelesaikannya hanya dengan satu setengah jam. Sungguh pencapaian yang sangat luar biasa.

“Sepertinya aku akan membuat versi lain dari orang ini. Dia akan menjadi pemeran utama di buku yang baru,” ucapnya. Itu adalah keputusannya dan dia harap kali ini dia akan berhasil.

“Tapi aku tak akan terburu-buru, aku harus melakukan riset dan edit setiap bagian,” sambungnya. Walau dia sama sekali belum memulai menulis, tapi dia akan bertekad dan lebih berusaha untuk yang satu ini.

“Untuk hari ini cukup sampai di sini.” Daisha meninggalkan mejanya dan mengambil handuk untuk membilas badannya.

Beraktifitas seharian membuat tubuhnya sangat lengket sehingga diaa merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Kebiasaannya untuk mandi di malam hari membuat dia tak merasa kedinginan. Justru dia akan segar dan tidur dengan nyenyak setelahnya.

Daisha keluar dengan rambut basahnya. Dia juga mencuci rambutnya. Sebelum dia mengeringkan rambut, tangannya meraih ponsel yang ada di atas meja ketika kebetulan ponsel itu berdering.

“Halo,” ucapnya ketika dia sudah menggeser tombol hijau pertanda dia menerim panggilan itu.

“Kamu udah sampai di rumah?” tanya Grace. Grace merasa menyesal karena dia tak bisa mengantar Daisha ke rumahnya.

“Hmm, aku udah di rumah.” Daisha menjawab seakan dia tahu jika temannya itu sangat mengkhawatirkannya.

“Maaf gak antar kamu.”

Daisha tersenyum simpul. “Tak apa, lagi pula aku juga biasa pulang sendiri,” ujarnya.

Baik Grace maupun Jayden memang jarang mengantarnya ke rumah. Itu juga karena Daisha yang selalu menolak. Dia tak ingin merepotkan orang lain, jadi dia selalu menolak.

“Syukurlah. Tapi gak terjadi apa-apa, kan?” Seolah mereka memiliki ikatan batin yang kuat, Grace kembali bertanya.

“Enggak, aku baik-baik aja.” Terdengar helaan nafas dari seberang sana sesaat setelah Daisha menjawab.

“Ya sudah. Selamat beristirahat.” Daisha menutup panggilannya setelah dia mengangguk pelan. Ternyata masih ada orang yang mengkhawatirkannya dan sangat peduli padanya.

“Aku harus bersyukur karenaa punya teman seperti mereka,” ujarnya.

Dia kembali menyimpan ponselnya dan melanjutkan dengan acara mengeringkan rambutnya. Tak nyaman juga jika harus tidur dengan rambut yang basah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!