Isi dari amplop coklat

Kedua mataku mulai terbuka saat aku merasa ada yang mengguncang tubuhku, aku juga mendengar suara Kinara yang mencoba untuk membangunkan aku.

“Sudah saatnya sholat subuh, Mas,” ucapnya.

Aku pun menganggukkan kepala dan bergegas beranjak dari ranjang. Aku masuk ke dalam kamar mandi, sebelum mengambil air wudhu, aku ingin membuang air kecil terlebih dahulu, setelah itu aku sekalian menggosok gigiku. Setelah itu aku baru mengambil air wudhu dan keluar dari kamar mandi setelah selesai berwudhu.

Kinara masih setia menantiku, karena aku adalah Imamnya. Aku bangga bisa menjadi Imam untuk Kinara, seorang gadis yang soleha, tapi aku juga sangat berdosa karena telah membohonginya selama ini.

Setelah 15 menit, kami pun selesai menunaikan solat subuh. Aku melihat Kinara mulai melipat mukenanya dan dia masukkan kembali ke dalam lemari pakaian.

“Mas, mandi saja dulu, bukankah hari ini kita mau jalan-jalan?” tanyanya padaku, dan aku pun menganggukkan kepalaku.

Aku sudah berjanji kepada Kinara untuk mengubah acara bulan madu kami menjadi liburan. Aku akan mengajak Kinara untuk melihat semua destinasi yang ada di Paris, terutama Menara Eiffel yang sangat ingin dikunjungi Kinara.

“Kalau begitu aku mandi dulu.” Aku pun beranjak berdiri dan melepas sarung dan juga peciku, lalu aku berikan kepada Kinara agar dia menyimpannya kembali ke dalam lemari pakaian. Aku pun langsung berjalan menuju kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, aku bahkan masih bisa mendengar suara Kinara yang begitu kegirangan, dia ternyata sudah tidak sabar ingin pergi berjalan-jalan denganku. Setelah 20 menit, aku selesai mandi dan keluar dari kamar mandi. Sepertinya aku sudah terbiasa bertelanjang dada di depan Kinara, tapi tidak dengan Kinara, dia masih terlihat tersipu malu saat melihat tubuh kekarku yang sama sekali tidak berpelindung.

Kinara selalu membalikkan tubuhnya saat aku berganti pakaian, aku memang tidak terbiasa memakai pakaian di dalam kamar mandi, dan aku sudah memberitahu Kinara soal itu, itu sebabnya dia tidak protes saat aku memakai pakaian di kamar.

Setelah selesai bersiap-siap, aku dan Kinara bergegas keluar dari kamar hotel, kami memutuskan untuk pergi sarapan terlebih dahulu sebelum melakukan perjalanan untuk melihat destinasi kota Paris.

Aku meminta Kinara untuk duduk, sedangkan aku mengambilkan makanan untukku dan juga Kinara. Untung kami datang lebih awal, sehingga restoran itu belum terlalu ramai pengunjung. Setelah 15 menit mengantri, aku akhirnya bisa mendapatkan dua piring makanan dan juga minuman. Aku lalu membawa makanan itu menuju meja yang Kinara duduki.

Aku mengernyitkan dahiku saat melihat ada seseorang yang tengah duduk di depan Kinara. Aku penasaran siapa laki-laki itu, ini di tempat asing, jadi tidak mungkin Kinara mengenal seseorang disini, apalagi Kinara bilang, ini pertama kalinya dia datang ke Paris.

Aku mempercepat langkahku menuju meja Kinara, aku ingin melihat seperti apa wajah laki-laki itu. Sesampainya di meja Kinara, aku di buat semakin terkejut saat melihat siapa sosok laki-laki itu.

“Eza!” seru terkejut.

Kenapa dimana-mana selalu ada Eza? Apa dia semacam demit yang bisa muncul dimana saja?

Eza melambaikan tangannya dan tersenyum, untuk apa Eza ada disini? Bagaimana Eza bisa tahu kalau aku dan Kinara ada di hotel ini? Apa dia diam-diam mengikuti kami tanpa sepengetahuan aku?

Aku melihat ada amplop coklat di atas meja, tepatnya di depan Eza. Amplop apa itu, kenapa aku sangat penasaran dengan isinya? Atau jangan-jangan isi amplop itu ....

Aku menatap Eza yang kini juga tengah menatapku dengan menyunggingkan senyumannya. Mungkin dia bisa menebak apa yang tengah aku pikirkan saat ini.

“Mas, kenapa Mas malah bengong?” tanya Kinara kepadaku.

Aku sedikit gugup, aku tidak tahu apa yang telah direncanakan Eza, aku harus lebih waspada, aku tidak ingin Eza sampai memberitahu Kinara tentang kebenaran masa laluku. Aku pun menepiskan senyumanku dan meletakkan makanan dan minuman yang tadi aku pesan ke atas meja.

Aku menarik salah satu kursi di samping Kinara dan mendaratkan tubuh ku di kursi itu, aku tak henti-hentinya menatap ke arah Eza dan juga amplop coklat yang ada di depan Eza.

“Mas Eza, kok tidak makan?” tanya Kinara kepada Eza.

Aku begitu terkejut saat mendengar Kinara memanggil Eza dengan sebutan Mas, aku merasa tidak rela, Kinara memanggil Eza seperti itu, tapi aku melihat Eza bersikap normal dan tidak membuka semua rahasia kami.

“Aku belum lapar, aku akan makan setelah aku mendapatkan apa yang aku inginkan,” ucap Eza sambil melirik ke arahku.

“Memang apa yang Mas Eza ingin dapatkan, siapa tahu Mas Bian bisa membantu, iya kan Mas?” tanya Kinara kepadaku. Aku bingung harus menjawab apa, aku melihat Eza mulai tersenyum, senyuman yang seperti sebuah bom waktu untukku, karena kalau sampai mulut Eza mulai bicara, maka hancur sudah semua harapanku selama ini.

“Em ... i—ya, kalau kamu butuh bantuan, aku siap membantu kamu kapan saja,” ucapku dengan senyuman yang aku paksakan.

“Baiklah, jika kamu memaksa, nanti aku akan menghubungimu kalau aku membutuhkan bantuan kamu,” ucapnya dengan menyunggingkan senyumannya.

Aku melihat Eza mengambil amplop itu dari atas meja.

"Tadinya mau aku titipkan kepada istrimu, tapi karena kamu sudah datang, aku kasih ke kamu aja. Jangan lupa nanti dibuka setelah sampai di hotel," ucap Eza sambil menyerahkan amplop itu padaku.

Aku mengambil amplop itu dari tangan Eza. Setelah itu Eza mulai beranjak dari duduknya, mungkin dia ingin pergi.

"Kalau sudah kamu buka amplopnya, jangan lupa hubungi aku, aku tunggu jawaban kamu," ucap Eza lalu pamit pergi.

Aku menatap amplop yang ada di tanganku. Aku penasaran dengan isi amplop ini. Tapi aku tak mungkin membukanya di depan Kinara.

"Makan dulu, Mas, keburu dingin makanannya," ucap Kinara membuatku tersadar dari lamunanku, aku pun menganggukkan kepala, memasukkan amplop itu ke dalam saku celanaku.

Setelah selesai makan aku mengajak Kinara untuk keluar dari restoran itu. “Ayo kita jalan sekarang,” ajakku.

“Ayo, Mas, aku sudah tidak sabar ingin melihat keindahan kota Paris,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.

Aku dan Kinara melangkah keluar dari restoran, kami akan berkeliling kota Paris memakai mobil yang sudah aku sewa selama aku berada di Paris, karena aku juga tak mungkin terus menerus naik taksi.

Aku melirik ke arah Kinara yang tengah menikmati pemandangan kota Paris dari kaca jendela mobil. Sesekali Kinara bertanya kepadaku tentang apa yang dirinya lihat dan membuatnya penasaran.

“Mas, nanti kita akan naik ke Menara Eiffel kan?” tanya Kinara sambil menatap ke arahku.

Aku mengangguk. “Kamu sangat ingin kesana ya?” tanyaku dan langsung mendapat anggukkan kepala dari Kinara.

“Tapi kita ke Menara Eiffel-nya nanti, kita pergi ke tempat lain dulu, aku yakin, kamu juga akan suka dengan tempat-tempat yang akan kita kunjungi nanti,” ucapku dengan menepiskan senyumanku.

Aku melihat Kinara menganggukkan kepalanya, lalu kembali menatap ke luar jendela. Aku menghentikan laju mobilku, karena ada lampu merah di depan.

Astaga, aku gak menyangka Kinara akan sebahagia ini aku ajak ke Paris.

“Ra, apa lain kali kamu mau kesini lagi sama aku?” tanyaku, membuat Kinara mengalihkan tatapannya jadi menatapku.

Kinara menganggukkan kepalanya. “Sama anak-anak kita juga nanti, Mas,” ucapnya dengan tersenyum.

Anak? Astaga! kenapa harus membahas soal anak lagi? Papa, Mama, Kinara, kenapa yang mereka pikirkan hanya anak-anak dan anak.

Aku yang tak ingin ribut dengan Kinara, hanya menganggukkan kepalanya. “Ya, dengan anak-anak kita nanti,” ucapku dengan memasang senyum di wajahku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!