Aku sayup-sayup seperti mendengar suara Kinara yang tengah memanggilku, dengan perlahan ku coba untuk membuka kedua mataku.
Saat kedua mataku sudah terbuka, aku melihat wajah Kinara. Ternyata dia sudah bangun dari tadi. Aku mengusap kedua mataku yang masih mengantuk.
“Ada apa?” tanyaku.
Aku lalu mengubah posisiku menjadi duduk bersandar pada sandaran ranjang. Kedua mataku menatap kedua mata Kinara yang terlihat sangat teduh.
“Sudah saatnya sholat subuh, Mas,” ucapnya kepadaku.
Aku melihat jam di dinding. Ternyata benar, ini sudah saatnya sholat subuh. Aku lalu menganggukkan kepalaku dan segera turun dari ranjang.
Aku melihat Kinara sudah terlihat segar, dia pasti sudah mandi. Aku pun segera menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, setelah itu aku keluar dari kamar mandi.
Seperti biasanya, Kinara selalu menyiapkan sarung dan peci yang akan aku pakai untuk sholat. Aku segera memakai sarung dan peci itu. Setelah itu aku memposisikan diriku tepat di depan Kinara.
Aku dan Kinara pun mulai menunaikan solat subuh. Setelah selesai, seperti biasa, Kinara selalu mencium punggung tanganku. Aku berdoa, semoga kelak aku bisa mempunyai keberanian untuk bicara jujur sama Kinara.
Bagaimanapun aku tidak mungkin selamanya membohonginya, aku tidak tega, dia wanita yang sangat sempurna dan dia layak untuk bahagia.
Mungkin saat itu aku juga harus menerima resikonya, karena tentunya jika Kinara tahu semuanya, maka Mama dan Papa pasti juga akan mengetahuinya, dan mungkin saat itu mereka akan sangat kecewa, tapi bagaimanapun aku harus siap menerima apapun resikonya.
Setelah selesai sholat subuh, aku tidak langsung tidur, aku kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku tidak lupa, hari ini aku dan Kinara akan berangkat ke Paris. Jam penerbangannya memang masih beberapa jam lagi, tapi aku sama sekali belum mempersiapkan semuanya.
Jadi aku berencana untuk mengajak Kinara berbelanja terlebih dahulu sebelum berangkat ke bandara. Setelah selesai mandi, aku keluar dari kamar mandi. Aku melihat Kinara sudah selesai merapikan tempat tidur.
“Ra, sebelum berangkat ke bandara, aku ingin mengajak kamu untuk berbelanja, apa kamu mau?” tanyaku sambil berjalan menuju lemari pakaian. Aku mengambil kaos berwarna putih dan juga celana jeans.
“Terserah Mas saja. Oya, Mas, aku boleh bantu Bibi untuk menyiapkan makanan untuk sarapan? Aku mohon,” pinta Kinara.
Padahal semalam kita sudah membahas ini, aku mengizinkan Kinara untuk memasak makan malam saja, tapi sepertinya Kinara tak ingat atau pura-pura lupa.
“Ra, semalam kan aku sudah ….”
“Aku tau, Mas. Tapi aku gak tau mau ngapain lagi sekarang, jadi boleh ya?” pinta Kinara lagi, tapi kali ini sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.
Aku menghela nafas, mau tak mau aku akhirnya menganggukkan kepalaku. Tak tega juga melihat wajah memelas Kinara.
“Terima kasih, Mas, Mas memang baik deh,” ucap Kinara dengan senyuman di wajahnya.
Aku hanya mengangguk, lalu Kinara berpamitan untuk turun ke bawah. Aku melihat Kinara keluar dari kamar.
Aku berdiri di depan cermin besar yang ada di kamarku, aku menatap penampilanku saat ini, perfect. Aku pun langsung keluar dari kamar, aku puas melihat penampilanku saat ini.
“Pagi, Ma, Pa.” Aku menyapa kedua orang tuaku yang ternyata sudah berada di ruang makan bersama dengan Kinara.
Aku pun menarik salah satu kursi yang berada di dekat Kinara, dan mulai mendudukkan tubuhku disana.
“Terima kasih,” ucapku saat Kinara memberikan makanan di depanku.
“Apa kalian sudah siap? Kalian tidak lupakan dengan rencana bulan madu kalian?” tanya Mama kepada kami.
Astaga Mama! Masih ingat saja.
“Iya, Ma, kami tidak lupa kok,” ucapku sambil menatap Kinara.
“Apa kalian sudah mempersiapkan semuanya?” tanya Mama lagi.
Aku dan Kinara menganggukkan kepala, semalam Kinara sudah mengemasi barang apa saja yang akan kami bawa saat berbulan madu.
Aku melihat Bi Dasim melangkah mendekatiku. “Ada apa, Bi?” tanyaku.
“Maaf, Den. Di depan ada yang mencari Aden,” ucap Bi Dasim kepadaku.
Aku mengernyitkan dahiku, siapa yang mencariku di jam segini?
“Terima kasih, Bi, aku akan segera kesana.”
Setelah Bi Dasim pergi, aku pun beranjak dari duduk ku. Aku penasaran siapa yang mencariku, seingatku aku tidak ada janji dengan siapapun. Aku melihat Kinara yang sedang menatapku dengan penuh tanda tanya.
“Aku akan melihatnya sebentar, kamu lanjutkan saja sarapan kamu.” Aku melihat Kinara mulai menganggukkan kepalanya.
Aku pun melangkahkan kakiku meninggalkan ruang makan, dan menuju ruang tamu. Aku membulatkan kedua mataku, saat melihat sosok yang tidak asing di mataku.
“Eza!” seruku.
Aku langsung menghampiri Eza dan menariknya keluar dari rumahku.
“Kenapa kamu datang kesini? apa kamu sudah gila?”
Aku benar-benar lupa tentang Eza, aku tidak menyangka dia akan benar-benar nekat mendatangi rumahku, ternyata ancamannya kemarin tidak main-main.
“Aku ingin bertemu dengan istrimu!” Eza berbicara dengan keras, dan aku tidak tahu harus berbicara apa.
“Apa kamu sudah gila!” seruku sambil menatap sekeliling rumahku, takut ada yang mendengar obrolanku dengan Eza.
“Za, pergilah. Jangan membuat kekacauan di rumahku,” pintaku secara halus.
Eza menggelengkan kepalanya. “Aku gak akan pergi sebelum aku bertemu dengan istrimu itu,” ucapnya dengan menyunggingkan senyumannya.
Astaga! apa Eza sudah gila! sekarang apa yang harus aku lakukan, aku gak mungkin membiarkan Eza bertemu dengan Kinara.
“Za, pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran aku!” ucapku yang mulai sedikit meninggi.
“Kalau begitu bilang sama istrimu, kalau kamu mau cerai sama dia,” ucap Eza dan membuat kedua mataku membulat dengan sempurna.
Aku menggelengkan kepalaku, aku tidak akan menceraikan Kinara dengan cara seperti ini.
“Mas, kenapa Mas berada di luar?” itu suara Kinara.
Aku membulatkan kedua mataku, saat aku melihat Kinara tengah berjalan ke arahku. Apa yang harus aku katakan sekarang? Bagaimana kalau Eza mengatakan semuanya kepada Kinara.
Tidak! Aku belum siap untuk semua ini. Aku belum siap untuk melihat keluargaku hancur karena kesalahan di masa laluku.
Aku menatap ke arah Eza. Aku melihat senyuman di wajah Eza. Entah apa yang sedang dia rencanakan saat ini. Kalau sampai Eza membongkar rahasiaku di depan Kinara, aku tidak akan membiarkannya hidup tenang.
“Istri kamu ternyata cantik, aku tidak menyangka kamu tega membohonginya.” Eza berbisik di telingaku.
Kedua tanganku mengepal. Entah mengapa aku tidak suka cara Eza menatap Kinara. Aku benci tatapan itu. Eza seperti binatang buas yang siap untuk menerkam Kinara. Tatapannya sejak tadi bahkan tak berpaling sedetikpun dari Kinara.
“Jangan tatap Kinara seperti itu, Za!” geramku dengan kedua tanganku mengepal erat.
Eza menyunggingkan senyumannya. “Kenapa? apa kamu takut Kinara akan jatuh cinta padaku?” ucapnya dengan penuh percaya diri.
Aku akui, Eza memang tampan, tapi Kinara bukan wanita seperti itu. Dia tak mungkin akan tertarik kepada Eza, tidak akan pernah terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments