Ancaman Eza tadi terus berputar di otakku. Kedua mataku yang sejak tadi aku pejamkan pun sama sekali tak bisa terlelap. Aku akhirnya kembali membuka kedua mataku, lalu bangun dan mengubah posisiku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang.
Aku melihat Kinara yang baru saja keluar dari ruang ganti, kini istri cantikku itu sudah memakai piyama tidurnya yang sama persis seperti yang aku pakai, tapi punya Kinara berlengan panjang dan piyama itu sedikit kedodoran di tubuhnya.
Kalau hanya berdua seperti ini, Kinara bahkan tak memakai hijabnya, mungkin karena aku suaminya, jadi sudah halal untuknya.
“Mas kok bangun lagi? gak bisa tidur?” tanya Kinara sambil naik ke atas ranjang.
Aku sendiri salut sama Kinara, ini adalah malam kedua setelah kami sah menjadi suami istri. Tapi sejak di hari pertama kami sah menjadi suami istri, sama sekali aku tak pernah melihat kecanggungan darinya.
Kalau biasanya pasangan yang menikah tanpa cinta, pasti akan meminta salah satu diantara mereka untuk tidur di sofa, karena mereka tak ingin tidur seranjang. Tapi sepertinya itu tak akan berlaku untuk hubungan aku sama Kinara.
Aku juga tak mungkin meminta Kinara untuk tidur di sofa, selain itu aku juga tidak akan tidur di sofa. Kinara juga tak keberatan kami tidur dalam satu ranjang.
“Kok Mas malah bengong sih? Mas lagi ada masalah?” tanya Kinara lagi, saat aku tak menjawab pertanyaan tadi karena terlalu sibuk dengan lamunan aku.
“Em … gak kok, aku hanya gak bisa tidur aja.”
Aku lihat Kinara yang duduk di sebelahku, lalu telapak tangannya menyentuh keningku, mungkin dia pikir aku demam, karena aku kehujanan tadi.
“Mas gak demam kok.”
“Aku memang gak demam, cuma kehujanan gitu aja gak mungkin bisa membuatku langsung demam. Oya, Ra, soal makan malam lagi ….” Kinara seperti ingin memotong ucapanku, jadi aku tak melanjutkan ucapannya.
“Aku yang minta sama Mama, Mas. Habisnya aku gak terbiasa berdiam diri, aku terbiasa melakukan apapun sendiri, jadi saat disini aku kayak gimana gitu. Mas marah ya?”
Aku lihat wajah Kinara yang entah mengapa terlihat sangat menggemaskan saat ini.
“Marah sih enggak, tapi kan kamu itu istriku, bukan pelayan di rumah ini. Untuk urusan memasak, kan sudah ada Bibi, kamu cukup mengurus keperluan aku saja.”
Kinara hanya diam, mungkin apa yang aku katakan tak seperti keinginannya. Tapi, setelah aku cerna ucapan Kinara tadi, ada benarnya juga. Di rumah sebesar ini, Kinara pasti merasa jenuh dan bosan, apalagi sampai tak melakukan apapun.
Aku melakukan itu juga karena ada alasannya, aku tak ingin Kinara sampai kelelahan nantinya, jadi aku melarangnya untuk melakukan aktivitas lainnya, selain menyiapkan semua keperluan aku.
“Ra, kamu yakin ingin membantu pekerjaan Bibi di dapur?” tanyaku lagi, dan aku melihat anggukkan kepala dari Kinara.
Aku menghela nafas, mungkin aku memang harus mengizinkan istriku untuk bekerja di rumah aku sendiri.
“Ok, tapi hanya untuk makan malam saja, lainnya biar Bibi yang masak,” ucapku dan langsung membuat Kinara tersenyum bahagia.
“Terima kasih, Mas, terima kasih,” ucap Kinara dan langsung memelukku erat.
Aku terkejut, saat Kinara tiba-tiba memelukku, apalagi ini pertama kalinya dia memelukku. Aku akhirnya menggerakkan kedua tanganku untuk membalas pelukan Kinara, lalu ku kecup puncak kepala Kinara dengan lembut.
“Sekarang kamu tidur, kamu pasti sudah mengantukkan?” Aku lalu melepaskan pelukan Kinara, kulihat kedua pipi Kinara yang bersemu, dan itu membuat wajahnya semakin menggemaskan.
“Ra, untuk … untuk malam pertama kita, aku … aku belum siap untuk melakukannya. Ka—kamu gak apa-apakan?” tanyaku ragu-ragu.
“Iya, Mas. Gak apa-apa kok. Anggap saja sekarang kita saling mengenal satu sama lain lebih dulu. Ya, anggap saja kita sekarang seperti sepasang kekasih, jadi Mas gak perlu memikirkan soal itu lagi,” ucap Kinara dengan menepiskan senyumannya.
Aku menganggukkan kepalaku. Ide Kinara boleh juga, jadi anggap saja sekarang aku sama Kinara dalam masa penjajakan. Kencan gitu lah, sepasang kekasih tapi sudah sah di mata hukum dan agama.
Aku bahkan bisa melakukan apapun sama Kinara nantinya, tentu saja kalau aku benar-benar sudah siap.
“Ya sudah, kamu tidurlah, aku mau keluar dulu.” Kinara menyentuh lenganku saat aku ingin beranjak dari ranjang.
“Mas mau kemana? Mas sudah gak mau tidur satu ranjang sama aku lagi?”
Astaga, kok Kinara mikir gitu sih?
“Gak, aku cuma mau ambil minum, aku haus. Aku akan tetap tidur di ranjang, selama kamu gak keberatan kita tidur satu ranjang,” ucapku sambil mengusap lembut puncak kepala Kinara.
Aku bisa merasakan rambut hitam Kinara yang begitu lembut.
“Oya, tumben kamu gak pakai kerudung?” tanyaku yang sebenarnya aku sudah tau jawabannya.
“Karena Mas adalah suamiku, jadi aku gak perlu lagi menyembunyikan apapun dari kamu, Mas. Apapun yang ada pada diriku adalah hak milik, Mas sekarang,” ucap Kinara dengan tersenyum malu.
Aku hanya mengangguk, karena aku sendiri bingung harus menanggapi seperti apa. Aku bukan kucing garong yang akan langsung menerkam Kinara, karena Kinara sudah memberi lampu hijau padaku.
“Tidurlah dulu, aku keluar dulu.” Aku lalu beranjak turun dari ranjang, mengambil ponselku, lalu melangkah keluar dari kamarku.
Kepalaku rasanya pening. Saat berada di dekat Kinara dan membayangkan lekuk tubuh Kinara, membuatku ingin menerkamnya saat itu juga. Aku normal, aku juga butuh tempat untuk menyalurkan hasratku, tapi aku masih menahan diri sampai sekarang.
“Bian, sedang apa kamu disini?” tanya papaku yang tengah duduk di kursi mini bar sambil menyesap secangkir kopi.
Aku yakin, kopi itu buatan Papa sendiri, karena jam segini biasanya Mama sudah tidur.
“Papa sendiri kenapa ada disini? Ini sudah malam loh, Pa, kenapa Papa malah minum kopi? Ntar makin gak bisa tidur gimana?” kedua kaki ku tetap aku langkahkan menuju lemari pendingin, karena aku ingin mengambil botol air mineral yang memang disimpan di lemari pendingin.
Aku membuka botol air mineral sambil melangkah menuju meja mini bar, lalu ku dudukkan tubuhku di samping Papa ku, ku teguk air mineral yang tadi aku ambil.
“Gimana? Apa sudah goal?” tanya Papaku, membuat dahiku mengernyit, karena aku tak paham maksud pertanyaan Papa ku.
“Goal? Memangnya aku lagi main bola, Pa?” celetuk ku yang membuat Papa ku tertawa.
“Bukan goal itu, Bian. Apa kamu dan Kinara sudah … sudah ….”
“Malam pertama maksud, Papa?” tanyaku saat memotong ucapan Papa, dan malah mendapat anggukkan kepala dari Papa ku.
“Nah itu tau, Papa mau secepatnya punya cucu. Papa dan mama kamu makin tua, Bian, jadi sebelum Papa meninggal, Papa ingin melihat cucu Papa dulu,” ucap Papaku yang membuatku semakin bersalah.
“Aku gak suka Papa ngomong kayak gitu lagi. Papa dan Mama masih sehat, bahkan akan hidup seratus tahun lagi.” Aku sengaja bicara seperti itu agar Papa tak lagi bicara soal ajal ataupun kematian lagi.
Aku beranjak dari duduk ku dan berpamitan pada Papa ku untuk kembali ke kamar. Papa bahkan masih sempat-sempatnya menggodaku dan memintaku untuk mengajak Kinara membuat anak sampai tiga ronde.
“Iya, Pa, iya!” ucapku sambil terus melangkah keluar dari dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments