Bab 2. Pertemuan.

Hari ini adalah hari dimana aku akan bertemu dengan wanita pilihan kedua orang tuaku. Perasaan kacau dan tidak tahu harus bersikap seperti apa nantinya saat aku bertemu dengan wanita itu. Papa bilang, dia wanita sholeha, berparas cantik, dan tentunya berhijab.

Aku bisa membayangkan wanita seperti apa dia, tapi yang ada dalam otakku sekarang adalah, apa aku mampu menjadi suami yang baik untuknya? Apakah aku akan menjadi orang yang berdosa karena telah membohongi kedua orang tuaku dan juga wanita yang akan menjadi calon istriku?

Ya Tuhan, ampunilah aku.

“Apa kamu gugup?” tanya Papa ku dengan senyuman seperti tengah mengejekku.

Aku hanya tersenyum kecut. Kalau aku jawab tidak, itu tidak mungkin. Karena kenyataannya saat ini aku benar-benar gugup. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan detak jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya, bahkan keringat dingin kini tengah menjalar di seluruh tubuhku.

Papa ku mulai mengetuk pintu rumah calon istriku, yang sampai sekarang aku belum tau namanya. Papa dan Mama juga tidak memberitahu aku nama calon istriku.

Kini aku mendengar suara pintu terbuka, tatapan ku aku fokuskan ke arah pintu yang terbuka. Aku terkesima melihat sosok yang saat ini berdiri di depan pintu. Mata ku seakan terkena cahaya surga. Aku seakan melihat bidadari surga kini tengah berdiri di hadapanku.

Meski aku sudah melihat banyak wanita cantik, tapi aku masih bisa membedakan mana wanita cantik dan wanita yang benar-benar cantik.

Wanita itu mentelakupkan kedua telapak tangannya untuk menyapa ku dan juga Papaku, tapi tidak dengan Mama ku, dia mencium punggung tangan Mama ku.

Untuk pria lain selain aku, mungkin mereka akan bersyukur mempunyai istri seperti dia, tapi tidak dengan aku, karena aku takut akan menyakiti wanita cantik ini.

“Apa kabar, Kinara?” tanya Mama ku kepada gadis itu.

Ternyata gadis itu bernama Kinara, nama yang cantik seperti orangnya. Aku bisa melihat betapa Mama sangat menyukai gadis itu.

“Baik, Tante,” jawabnya dengan sopan.

Kinara lalu mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya, tentu saja dia juga mempersilahkan kami untuk duduk. Tidak mungkin kan dia tega membiarkan kami terus berdiri.

“Apa Om, mengganggumu?” tanya Papa ku kepada Kinara yang bahkan tak berani menatap ke arahku.

Apa wajahku tidak tampan? Oh tidak, jelas wajahku sangat tampan. Buktinya banyak gadis-gadis yang sangat ingin menjadi kekasihku. Tapi sayang, aku sampai saat ini masih menutup diri untuk itu.

Saat ada niatan untuk menjalin hubungan, bayang-bayang masa lalu itu kembali menghantuiku. Aku takut akan cemoohan orang-orang nanti.

Aku pria normal, jelas aku normal, buktinya aku pernah tertarik dengan lawan jenis. Hanya saja, aku pernah terbelenggu dengan hal yang tak seharusnya aku lakukan. Masa lalu yang sangat ingin aku lupakan, justru sekarang seperti sebuah mimpi buruk untukku.

“Tidak kok, Om,” jawab Kinara saat menjawab pertanyaan Papa ku.

Aku bisa melihat senyuman di wajah Kinara. Senyuman yang sangat manis.

“Kamu pasti sudah tahu kan, maksud kedatangan Om dan Tante kesini?” tanya Papa ku lagi.

Aku tahu maksud arah pembicaraan Papa, pasti soal perjodohan yang telah Papa buat dengan sahabatnya, yaitu ayah Kinara.

Kinara menganggukkan kepalanya, dia menatapku sekilas lalu menundukkan kepalanya. Aku bisa melihat wajah Kinara yang mulai tersipu malu.

“Baiklah, karena kamu sudah tahu maksud kedatangan kami kesini, jadi Om tidak perlu bertele-tele. Ini juga permintaan terakhir ayah kamu. Jadi, sekarang Om mau bertanya sama kamu, kapan kamu siap untuk menikah?” tanya Papa aku membuktikan ucapannya dan langsung to the point'.

“Itu terserah Om dan Tante, Kinara ikut apapun keputusan Om dan Tante,” jawab Kinara dengan nada lembutnya.

Pasrah!

Apa saat ini dia tengah pasrah? Apa dia benar-benar mau menikah denganku? Pria yang bahkan tidak dikenalnya, kami pun juga baru pertama kali bertemu. Semudah itu kah dia menerima perjodohan ini, tanpa memikirkanya terlebih dahulu? Apa dia tidak takut aku akan menyakitinya nanti?

“Ra. Om teringat akan janji Om sama ayah kamu dulu. Jika kelak saat kami sama-sama sudah mempunyai anak, entah siapa yang akan mempunyai anak laki-laki atau perempuan, kami berniat untuk menjodohkan anak-anak kami. Tentu kamu sudah mendengar cerita itu dari ayah kamu,” jelas Papa ku.

Aku bahkan baru mendengar cerita itu sekarang. Papa tidak pernah menceritakan soal ini padaku, kecuali saat Papa memintaku untuk menikah, dan mengatakan kalau Papa sudah mempunyai jodoh untukku.

Aku menatap Kinara, dia terus menundukkan wajahnya. Tapi, sesaat tadi aku melihat dia menganggukkan kepalanya saat mendengar penjelasan dari Papaku.

Mamaku yang duduk di sebelah Kinara, kini tengah mengusap lengannya yang terbalut lengan panjang. Karena saat ini Kinara memakai baju lengan panjang yang menurutku kedodoran di tubuhnya, dan juga celana kain.

Penampilan Kinara memang tidak modis, seperti wanita-wanita yang pernah dekat denganku dulu. Tapi, penutup kepalanya itu, yang orang biasa menyebutnya hijab, entah mengapa membuat wajahnya terlihat begitu cerah dan cantik. Sangat menyejukkan saat kedua mata ini memandangnya.

Aku mendengar Mama dan Papa kini tengah mendiskusikan soal pernikahan aku dan Kinara. Kinara yang mendengar apa yang Papa ku katakan hanya menganggukkan kepalanya. Sepertinya dia setuju apapun keputusan kedua orang tuaku.

Akhirnya, kedua orang tua ku sudah memutuskan, pernikahan kami akan dilaksanakan dalam tiga hari kedepan. Tentu itu sudah diperhitungkan dengan matang oleh kedua orang tua ku. Selain mereka takut aku akan berubah pikiran, mereka juga tidak tega melihat Kinara hidup seorang diri.

“Om, Tante, Mas. Saya tinggal ke belakang sebentar ya,” pamit Kinara sambil membungkukkan sedikit tubuhnya.

Aku melihat Mama dan Papa ku menganggukkan kepala. Kinara lalu beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. Entah kemana Kinara akan pergi.

Apa dia akan ke dapur dan membuatkan kamu minuman? Karena sejujurnya aku sangat haus. Apalagi rumah Kinara sangat panas, karena tak ada AC di rumah ini.

Aku benar-benar tidak menyangka, Papa akan menjodohkan aku dengan wanita yang berasal dari keluarga yang sederhana. Bahkan ukuran rumah Kinara tak sebesar ruang tamu di rumahku. Bahkan ukuran kamarku lebih besar dari ruang tamu ini, dua kali lipatnya malah.

Aku menatap seluruh ruangan, dan aku tak sadar jika sejak tadi Papa dan Mama menatapku dengan senyuman di wajah mereka.

“Ada apa, Ma, Pa?” tanyaku sambil menahan rasa malu, karena tanpa sadar aku melisik setiap sudut rumah Kinara. Rumah calon istriku.

“Apa kamu sedang menghafal setiap sudut rumah calon istri kamu?” goda Papa ku. Bahkan senyuman Papa dan Mama ku terus mengembang.

“Ya gak ada salahnya kan, Pa. Aku gak nyangka, rumah Kinara sesederhana ini. Aku juga gak tau, kalau Papa punya teman di daerah sini.” Aku memang sangat penasaran dengan sahabat Papa itu, lebih baik aku tanyakan saja.

Belum sempat Papa menceritakan soal sahabatnya itu, aku melihat Kinara muncul sambil membawa nampan yang berisi minuman dan camilan.

Kinara meletakkan minuman itu di depanku, Mama, dan Papa. Tak lupa camilan yang menurutku mungkin rasanya sangat enak.

“Silahkan dicicipi, Om, Tante, Mas,” ucap Kinara dengan senyuman manisnya. Itu menurutku ya, karena senyuman Kinara memang sangat manis.

Kinara menyuguhi kami makanan ringan buatan dia sendiri. Papa mengatakan jika Kinara hobi memasak, dan semua masakannya tak kalah enak dengan masakan restoran bintang lima.

Aku mengakui itu, karena saat ini aku tengah mencicipi kue kering buatannya. Rasanya sungguh enak, renyah di mulut, dan bikin ketagihan. Tanpa aku sadari, aku sudah menghabiskan setengah toples.

Aku benar-benar merasa sangat malu, saat kedua orang tuaku menatapku dengan senyuman mereka. Kinara juga tengah menahan senyumannya.

Aku merutuki diri ku sendiri, yang tidak bisa mengendalikan diriku jika itu berhubungan dengan makanan yang begitu maknyus lezatnya.

Aku hanya bisa menahan rasa malu ku, seandainya aku bisa kabur dari situ, mungkin saat ini aku sudah berlari keluar dengan menutup wajahku. Tapi saat ini aku bahkan tidak bisa menyembunyikan wajahku.

“Apa kue-nya begitu lezatnya, hingga kamu tidak bisa berhenti mengunyah?” Papa ku sekarang sudah mulai mengejekku.

“Maaf, Pa. Kue ini memang benar-benar lezat.” Aku tidak memungkiri itu, kue ini benar-benar lezat.

“Kamu bisa memakan nya setiap hari, tapi setelah kalian menikah, karena Kinara akan membuatkan kue kering itu setiap hari.” Papa ku mulai menggodaku lagi.

Aku hanya menanggapinya dengan senyumanku. Mendengar kata menikah kembali mengingatkan ku dengan rasa takut ku yang akan menyakiti perasaan Kinara.

Apa aku tega menyakati gadis cantik ini? Oh Tuhan, maafkan aku, kalau akhirnya nanti pernikahanku akan berakhir dengan perceraian.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!