Salma berangkat ke rumah sakit setelah cukup lama berbincang dengan Dimas. Dia tidak tahu lagi mau cerita dengan siapa. Keluarga Askara juga terlalu cuek dengannya, meski memang kadang peduli. Seperti sekarang saja sepertinya mereka malah berpihak pada Zura. Apalagi saat bundanya Askara meminta dirinya untuk sabar dengan permintaan Zura.
“Kok sepertinya sekarang tidak ada yang ngerti perasaanku, ya? Kenapa sekarang lebih peduli ke Zura? Ya aku tahu dia sedang sakit, tapi apa mereka sedikit pun tak mengerti hatiku ini bagaimana?” gumam Salma.
Salma sudah sampai di rumah sakit, dia melihat mobil Dimas yang berhenti sejenak, lalu setelah dirinya masuk ke rumah Sakit, mobil Dimas melaju lagi. Salma tahu Dimas mengikutinya, masih sama seperti dulu kalau dia membawa mobil sendiri, Dimas selalu memastikan dirinya sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Askara melihat Salma di lobi rumah sakit, dia mendekati Salma dan ingin membicarakan soal Azzura yang akan dibawa ke Singapura.
“Sal, bisa bicara sebentar?” tanya Askara.
“Mau bicara apa lagi? Mau nyuruh aku menemani Fifah saat kamu ke Singapura? Maaf, aku ini bukan baby sitter, Mas! Aku istri kamu, tapi sejak ada Zura aku sudah tidak diperlakukan lagi sebagai istrimu!” jawab Salma.
“Sal, kamu jangan egois gitu, dong?”
“Aku gak mau ribut di sini! Aku mau kerja!” tukas Salma lalu meninggalkan Askara.
Salma sudah terlalu sabar, seminggu dia diuji suaminya yang selalu acuh dengannya selama ada Azzura di rumah. Kemesraan yang setiap hari Askara berikan seakan menguap. Askara bilang, dirinya tidak mau melihat Zura cemburu kalau mengumbar kemesraan saat di luar kamar. Oke, Salma paham. Tapi, di dalam kamar, Askara juga dingin, apalagi sampai meninggalkan Salma di kamar sendiri, dan dirinya tidur di sofa yang ada di depan kamar Zura. Saat itu juga Zura malah tidur dengan dirinya di sofa, memeluknya hingga pagi menjelang.
Selama ada Zura, Askara juga semakin kurang perhatian terhadap dirinya. Selalu menyalahkan dirinya kalau sedang cemburu karena Askara terlalu dekat dengan Azzura. Wajar kalau cemburu, karena Salma adalah istrinya, sedangkan Zura adalah mantan istrinya.
Salma mendengar perempuan memanggil dirinya. Risya adik bungsu Askara, memanggilnya. Adik perempuan Askara yang dari kemarin mengganggu dirinya, dan menyuruh dirinya untuk mengalah lebih dulu dengan Azzura.
“Ada apa, Ris?” tanya Salma.
“Bisa kita bicara, Kak?”
“Bisa, ayo ke ruanganku,” ajak Salma.
Risya mengekori Salma, dan Nina juga menyusulnya, karena dia melihat Risya dan Salma bersama. “Kebetulan ketemu kamu, Sal. Aku mau bicara denganmu juga,” ucap Nina.
“Iya, Kak, ikut ke ruanganku saja,” jawab Salma.
Salma tahu, mereka pasti akan bicara soal Zura, dan akan bilang pada dirinya, kalau dirinya harus mengalah dengan Zura untuk sementara.
“Silakan duduk, dan mau bicara apa,” ucap Salma.
“Sal, kamu tahu keadaan Zura, kan?” tanya Nina.
“Iya tahu, Kak, kenapa?”
“Sal, tolong dong kamu jangan egois, dia kan lagi sakit, lagi butuh Askara, lagi butuh ditemani Askara. Kamu harusnya mengalah, Sal. Hanya sebentar, Sal. Kamu kan tahu vonis dari dokter bagaimana? Kamu juga seorang dokter?” ucap Nina.
“Aku kurang ngalah yang bagaimana ya, Kak?” tanya Salma. “Aku sudah merelakan berbagi dengan dia, aku ngalah keluar dari rumah, terus harus ngalah apa lagi? Cerai sama Mas Askara? Lalu membiarkan Mas Askara dimiliki Mbak Zura seutuhnya? Aku siap, tapi Mas Aska yang gak mau!”
“Aku gak minta kamu cerai sama Aska, aku minta kamu jangan egois, Sal!”
“Egois gimana? Kalau aku egois, aku gak akan rela berbagi, gak akan rela kamarnya diminta Mbak Zura lagi? Egois dalam hal apa ya, Kak?”
“Karena Kak Salma gak mau membantu menangani Mbak Zura!” tukas Risya.
“Kalian pikir sendiri. Aku ini istri Mas Aska, tapi sejak ada Zura, boro-boro dia ngomong baik sama aku, ngomong baik saja saat ingin menikahi Mbak Zura, selanjutnya ya dia ngusir aku dari kamar? Apa aku juga harus membantu menangani orang yang sudah ambil suamiku, yang sudah mengusirku dari kamarku, ruang pribadiku?” ucap Salma.
“Kamu kan datang kedua setelah Azzura, Sal? Jadi ya wajar Azzura begitu?” ujar Nina.
“Tapi aku gak merebutnya! Kalian juga mendukung aku kan dulu untuk nikah sama Mas Aska? Kok jadi sekarang, seakan aku yang rebut Mas Aska dari Mbak Zura, ya? Aneh kalian!” ucap Salma.
“Apa salahnya bantu mengobati, Sal?”
“Aku takut, yang aku berikan bukan obat, tapi racun, Kak!” tukas Salma.
“Astaga, Sal ... kamu kok bicara begitu?” ucap Nina.
“Kamu tega ya, Kak? Mbak Zura itu sedang sakit, Mbak!” pekik Risya.
“Aku tahu dia sedang sakit, tapi apa kalian tahu perasaanku? Coba kalian jadi aku? Bagaimana perasaannya? Suaminya menikah lagi, setelah menikahi perempuan lain, bukannya dengan aku minta maaf, baik-baikin aku, tapi malah menyuruh aku keluar dari kamarnya, dan aku sampai pergi dari rumah dia tidak peduli, dia ke Bali liburan, atau bulan madu atau apalah itu namanya, aku tidak diberitahu, hanya lihat status mereka di whatsapp. Setalah pulang, Mbak Zura kolaps, aku yang dibutuhkan! Aku ini apa sebetulnya! Asal kalian tahu, aku bisa apa-apa tanpa Mas Aska!”
“Kamu itu harus ingat, kamu ini kerja di rumah sakit keluarga kami, Sal!” erang Nina.
“Kenapa kalau aku kerja di rumah sakit keluarga kalian? Aku tidak jadi dokter pun, aku tidak masalah, malah senang aku, tidak beban dengan nyawa orang!” pekik Salma tidak mau kalah. “Silakan suruh budhe kalian memecat saya! Saya tidak peduli!”
“Aku gak nyangka seorang Kak Salma yang aku anggap dia baik, sopan, lembut, ternyata hatinya sekeras batu!”
“Bukan urusan kamu ya, Ris! Mau hatiku sekeras batu atau sekeras apa!” tukas Salma. “Kalian sadar gak sih, yang kalian bela itu siapa? Dia wanita yang meninggalkan suami dan anaknya tujuh tahun lamanya tanpa pamit! Oke, alasannya untuk berobat, gak mau merepotkan suami, tapi setelah jadi mantan dia kembali, kan? Jangan sok gak butuh suami,lalu pada akhirnya menyingkirkan perempuan yang sudah menggantikannya!”
“Dia memang salah, Sal. Tapi, kamu tidak lihat bagaimana keadaannya sekarang? Empati sedikit lah, Sal?” ujar Nina.
“Ya aku tahu keadaannya bagaimana sekarang. Kak Nina meminta aku berempati pada dia, coba kakak empati padaku, kakak perempuan kan? Coba jadi aku, bagaimana perasaannya. Kalau aku untuk sakit, ya kalau aku sakit seperti Zura, aku malu untuk kembali dan merepotkan mantan! Apalagi mantannya sudah menikah lagi. Gengsi dong?” jawab Salma. “Coba kalau suami Kak Nina menikah lagi, demi mantannya yang sakit-sakitan, lalu mantannya meminta ingin bersama dengan suami kakak, tanpa kakak. Mau kakak seperti itu? Terima digituin? Kamu juga Ris, kita sama-sama perempuan, pasti tahu rasanya seperti apa! Jangan asal nyuruh aku berempati. Lihat dan rasakan perasaanku bagaimana!” Salma tetap kekeh pada pendiriannya, dia tidak mau membantu menangani Azzura, dan tidak mau menemani Fifah yang akan ditinggal ayahnya menemani ibunya berobat ke Singapura.
“Sana urus Mbak Zura sama-sama, aku angkat tangan, dan aku akan mengajukan gugatan cerai!” pekik Salma.
“Kamu keterlaluan ya, Mbak! Egois!” erang Risya
“Ya aku memang egois. Silakan kalian keluar dari ruanganku!” usir Salma.
Salma semakin dipojokkan oleh keluarga Askara. Dia benar-benar stres dengan keadaannya sekarang.
“Aku harus keluar dari keluarga toxic macam mereka. Yang terlihat peduli denganku, tapi sekarang malah berbalik menyalahkanku. Apa aku harus terima aku diperlakukan seperti ini?” gumam Salma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
guntur 1609
dasar kakka adik anjing bodat....cocoknya kau di gitukan sm suamimu nanti nina. biar tahu kau keadaanya. biar kau gak asala ngomong sembarangan
2024-04-24
1
Fifid Dwi Ariyani
tryssehst
2024-04-03
0
Nyoman Sumiati
yaa sama2 perempuan kok iparnya segitu marah sama dr salma..,doain aja nanti suaminya kawin lagi b8ar tahu rasa
2023-10-23
0