Aku tahu dia begitu tulus mencintaiku. Aku ingat awal pernikahan kami, memang susah sekali untuk menyatukan hati kami berdua. Hati yang masih sama-sama terluka oleh masa lalu. Bulan keenam di pernikahan kami, kami baru sadar apa arti cinta. Aku benar-benar dibuat jatuh hati oleh sikap Mas Aska yang begitu sederhana memberikan cinta padaku. Tidak berlebihan, namun menghangatkan dan menentramkan jiwaku. Damai dan nyaman saat bersamanya.
“Maafkan aku, Sal. Aku tidak bisa meninggalkan Zura sendiri, dan aku juga tidak bisa meninggalkan kamu, Sal.” Mas Aska memelukku erat.
“Aku tahu itu, aku juga sangat mencintaimu, Mas. Aku izinkan kamu untuk menikahi Mbak Zura, ya aku harus ikhlas, aku juga tidak mau kamu mengurusnya tanpa ada ikatan apa pun,” ucapku.
Benar, aku harus belajar ikhlas, aku harus bisa menerima keadaan ini. Mungkin kalau Zura keadaannya tidak seperti itu, aku tidak akan mengizinkan Mas Aska menikahinya, tapi aku paham keadaan Zura bagaimana sekarang. Yang Zura butuhkan hanya Mas Aska dan Afifah. Biarkan saja, biar mereka kembali bersama, daripada aku egois dan terus merasa cemburu saat Mas Aska dekat dengannya, lebih baik aku izinkan Mas Aska menikahi Azzura.
“Sudah aku mau mandi, segera urus keperluan pernikahan kalian. Dan, bicarakan niat baik kalian ini pada keluarga kamu, Mas. Setelah aku selesai seminar, silakan nikahi Azzura,” ucapku.
Aku melepaskan pelukan suamiku, aku ke kamar mandi, menyelesaikan tangisku. Sakit rasanya, tapi ini jalan yang harus aku pilih, daripada aku becerai lagi, aku tidak mau bercerai lagi, meski keadaannya begini.
Entah kenapa aku dengan mudah memberikan izin pada Mas Aska yang ingin menikahi Azzura? Padahal aku benci sekali dengan keadaan ini, aku benci diduakan, aku benci cintaku terbagi, benci sekali. Tapi, kenapa aku mengizinkan Mas Aska menikahi Azzura? Apa karena Azzura sakit? Ya, mungkin karena itu. Aku paham bagaimana perasaan orang yang sedang berada di posisi Azzura.
^^^
Aku sampai siang tidak keluar kamar. Bahkan aku sampai meninggalkan sarapanku. Tadinya aku ingin keluar sarapan, tapi aku melihat Mas Aska, Azzura, dan Afifah sedang sarapan bersama dengan suasana yang hangat, dan layaknya keluarga yang bahagia. Aku mengurungkan niatku untuk sarapan bersama dengan mereka. Baru saja aku mengizinkan Mas Aska menikahi Azzura, tapi Mas Aska sudah melupakan aku. Harusnya dia basa-basi mengajak aku sarapan bersama, tapi malah dia lebih dulu sarapan bersama Azzura dan Afifah, aku dilupakan begitu saja.
Ini baru pertama, dan baru dapat izin dariku. Baru dapat izin saja sudah melupakanku, bagaimana nantinya jika sudah menikah? Apa akan melupakan aku? Sampai siang saja Mas Aska masih asik di luar? Tidak ingat aku yang belum keluar kamar sama sekali. Apa ini yang dinamakan adil? Apa ini yang dinamakan sangat mencintai? Hal sepele saja yang biasa dia lakukan saja sampai lupa?
Aku keluar dari kamar dengan keadaan sudahr rapi dan akan segera berangkat untuk seminar. Aku menghampiri Mas Aska yang sedang menemani Azzura di teras. Rasanya mereka begitu lengket sekali, setelah sudah mendapat izin dariku untuk menikah lagi.
“Mas, aku berangkat sekarang, ya?” pamitku.
“Sudah mau berangkat, Sal? Ini memang jam berapa?” tanya Mas Aska.
“Sudah hampir jam sepuluh, aku sudah ditungguin di rumah sakit, mobil yang mau antar kami ke stasiun sudah siap kata temanku,” jawabku.
“Kamu yakin gak mau aku antar?”
“Gak usah mas,” jawabku.
Kalau dia niat mau mengantarku, kenapa gak dari tadi bersiap-siap? Aneh sekali kamu, Mas! Bagaimana ingat mau mengantarkanku, mengajak aku sarapan bersama saja dia lupa?
“Kamu tadi belum sarapan kan, Sal?” tanya Azzura.
“Iya, belum. Nanti di kereta saja, sekalian makan siang,” jawabku.
“Aku pamit ya?” pamitku. Lalu mencium tangan Mas Aska, dan kali keduanya dia tidak mengecup keningku. Apa dia lupa, atau gak enak ada Zura?
“Aku pamit ya, Mbak?” pamitku pada Zura.
“Iya Sal, hati-hati,” jawabnya.
“Hati-hati ya, Sayang?” ucap Mas Aska.
“Oke, sudah ini gak ada yang lupa, Mas?” tanyaku memancing, karena aku ingin melihat dia peka atau tidak.
“Enggak ada, lupa apa, Sal?” tanya Mas Aska.
“Oh ya sudah, aku berangkat, Mas. Taksi sudah nunggu juga tuh,” ucapku.
Aku melangkahkan kakiku menuju ke taksi yang aku pesan. Aku meminta sopir taksinya memasukkan koperku ke dalam bagasi.
“Sal tunggu!” Mas Aska berlari mendekatiku, saat aku akan masuk ke dalam taksi. Aku mengurungkan niatku untuk masuk ke dalam.
“Iya kenapa, Mas?”
“Ada yang lupa, maaf.” Mas Aska meraih tubuhku, dan memelukku.
“Apa yang lupa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“I love you.” Ucapnya, lalu mengecup keningku dan mengecup kilas bibirku.
“I love you too, Mas,” jawabku dengan tersenyum lalu mengecup pipinya.
“Ayo aku ikut.”
“Ikut ke mana, Mas?” tanyaku.
“Aku mau antar kamu sampai stasiun,” jawabnya.
“Lalu Mbak Zura? Nanti sendirian dong mas?” ucapku.
“Ada suster dan bibi, dia gak sendirian,” jawabnya.
“Ra, aku antar Salma ke stasiun dulu!” teriak Mas Aska, dan Mbak Zura menganggukkan kepalanya, sambil melambaikan tangannya.
“Kalian hati-hati!” teriaknya.
Aku mengangguk, dan tersenyum pada Mbak Zura lalu kami masuk ke dalam taksi, Mas Aska duduk di sebalhku dan dari tadi memelukku.
“Bilang sama teman kamu, ketemu dia stasiun saja, bias kan?” ucap Mas Aska.
“Iya bisa, Mas,” jawabku.
“Pakai kereta yang jam berapa?” tanyanya.
“Yang jam setengah dua belas,” jawabku.
“Kita bisa makan dulu, kamu tadi belum sarapan, kan? Aku gak enak mau manggil kamu, karena tadi kamu sedang menangis, aku tahu perasaanmu, dan mungkin tadi kamu butuh waktu untuk sendiri, makanya aku tidak mengajakmu sarapan bersama,” ucapnya.
“Lain kali jangan gitu, ya? Aku lapar, aku nunggu kamu ajak aku sarapan tadi, soalnya aku tadi sudah keluar, tapi aku lihat kalian bertiga sedang bahagia sekali. Aku takut mengganggu kalian,” ucapnya.
“Kamu juga jangan begitu, Sal. Aku tadi sudah disuruh Zura manggil kamu, tapi aku tahu keadaan kamu, jadi aku putuskan untuk begini, menemani kamu sarapan di luar, sebelum berangkat. Ini belum jam sepuluh, jadi masih pantaslah buat sarapan,” ucapnya. “Kita sama-sama belajar ya, Sal? Jangan saling merasa tidak enak seperti tadi, kita harus saling terbuka, tegur aku saat aku melupakan kewajibanku padamu, jujur pikiranku tidak karuan, Sal. Aku bingung, aku kacau, pekerjaanku jadi terbengkalai semuanya. Jangan seperti kemarin, kamu tidak mengingatkanku sebelum kamu berangkat seminar.”
“Memang mengingatkan apa?”
“Untuk menciumu seperti tadi. Aku tahu kamu tadi mengingatkanku, ada yang lupa atau tidak, aku sengaja jawab tidak ada yang lupa, biar aku tahu bagaimana ekspresi wajahmu,” ucap Mas Aska.
“Ih sukanya gitu! Jangan begitu lagi!” tukasku.
“Makanya ingatkan aku. Karena akhir-akhir ini pikiranku tidak tenang, Sal. Tegur aku kalau aku salah, Sal. Jangan diam saja,” ucapnya.
“Iya, aku akan mengingatkan dan menegusr mas kalau mas ada salah,” jawabku.
Aku mengeratkan pelukanku pada Mas Aska. Aku paham sekarang, aku tidak boleh merasa Mas Aska tidak adil padaku. Kami memang masih sama-sama belajar, untuk menjalani hidup kami bertiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
guntur 1609
laku2 anjing kau memang. kalau keadaanya dibalik apa kau bisa terima
2024-04-24
0
Fifid Dwi Ariyani
trussehar
2024-04-03
0
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
koq aq yg kesel yaaa,,,,,,
2023-04-13
0