Azzura pelan-pelan melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah Askara. Tidak ada lagi harapan untuk tinggal di rumah Askara, karena akan menyakiti hati seseorang.
“Aku harus pergi, tidak mungkin aku menyakiti hati Dokter Salma,” ucap Azzura lirih.
Dibukanya pintu depan dengan perlahan, supaya derit tidak terdengar Salma atau Askara.
“Mbak? Mau ke mana, Mbak?”
Azzura terjingkat mendengar seseorang memanggil dirinya. Salma haus, jadi dia harus keluar mengambil air minum. Biasanya Salma langsung ke dapur, tapi dia memilih mengecek pintu depan, sudah di kunci atau belum. Dan, ia melihat Azzura yang sedang mengendap-endap pelan, melangkahkan kakinya dengan membawakan tas jinjing yang tadi ia bawa untuk membawa sebagian bajunya.
“Do—dokter Salma?” ucapnya dengan gugup.
“Mau ke mana, Mbak?” tanya Salma.
“Biarkan aku pergi saja, Dok,” ucap Azzura dengan menunduk. “Maaf kedatanganku kembali di sini, sudah membuat rumah tangga dokter dan Mas Aska terusik,” ucap Azzura dengan suara bergetar.
“Ini sudah malam, Mbak. Bisa dibicarakan besok pagi. Kalau mbak mau pulang, nanti biar Mas Aska yang antar. Lagian mbak mau pulang ke mana, dan tinggal dengan siapa? Bude dan pakde mbak bukannya ada di Singapura?” ucap Salma. “Di sini saja, Mbak,” ucap Salma mengalah.
Padahal dalam hati Salma ingin sekali Azzura pergi, dan tidak mengusik rumah tangganya dengan Askara. Tapi, sebagai seorang dokter, dia tahu apa yang dirasakan seorang pasien. Apalagi pasien yang menderita sakit seperti Azzura. Diobati pun tetap sama saja, hanya bisa menangkal rasa sakit, untuk sembuh itu tidak mungkin. Salma tahu, perasaan seseorang yang mengindap penyakit seperti Azzura. Dia akan takut, dia hancur perasaannya, apalagi tidak ada teman, atau seseorang yang sangat ia sayangi untuk menemani dan mensupport dirinya. Seperti Azzura sekarang. Tidak memiliki siapa-siapa lagi. Dia sebatang kara, dan itu karena perbuatan dirinya sendiri. Pergi bertahun-tahun tanpa pamit pada suaminya. Meninggalkan suami dan anaknya yang masih sangat kecil.
“Mbak, ayo masuk. Kita bisa bicara besok pagi,” ucap Salma.
Salma mendekati Azzura, ia memapah Azzura lagi dan mengantarnya ke kamar. “Mbak istirahat, ya? Mulai besok, mbak berada dalam pemeriksaanku. Mbak di sini saja, jangan ke mana-mana,” ucap Salma.
“Untuk apa, Sal?” tanya Azzura. “Untuk mengganggu rumah tanggamu?”
“Aku tahu, dulu mbak istri dari Mas Aska. Sekarang keadaannya sudah berbeda, Mbak. Aku memberikan kesempatan mbak di sini, untuk dekat dengan Afifah dan Mas Aska, tapi jujur dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak mau, dan aku tidak bisa jika aku harus dimadu,” ucap Salma dengan jujur. “Aku wanita biasa, Mbak. Aku tidak memiliki hati yang sabar dan tabah untuk berbagi suami. Aku bukan wanita yang terpilih untuk menjalani rumah tangga berpoligami, aku bukan istri Nabi yang sanggup menjalani semua itu. Mbak pasti paham bagaimana perasaanku. Tapi, aku pun tidak mau mbak hidup sendiri. Mbak di sini saja, ada aku, Afifah, dan Mas Aska. Kami akan merawat mbak,” tutur Salma.
“Terima kasih, kamu sudah mengizinkan aku untuk tinggal di sini, dan dekat dengan Afifah dan Mas Aska. Maafkan aku, jika aku sempat meminta lebih, Sal,” ucap Azzura.
“Mbak istirahat, ya?” ucap Salma.
Azzura hanya mengangguk. Dia tahu bagaimana hati Salma. Dirinya juga perempuan, pastinya sama, merasakan apa yang Salma rasakan saat ini.
^^^
Pagi harinya sebelum Salma bertugas ke rumah sakit, seperti biasa Salma menyiapkan sarapan pagi dengan dibantu asisten di rumahnya. Asisten yang dari dulu juga sudah bekerja di rumah Askara.
“Bu Zura?” Asistennya tidak percaya Zura kembali pulang ke rumah, kemarin Nani memang mengambil libur, jadi dia tidak tahu Zura tadi sore datang ke rumah.
“Bi Nani apa kabar?” tanya Azzura.
“Ba—baik, Bu. Ibu sehat?” jawabnya semabari bertanya.
“Sehat, Bi,” jawab Azzura.
“Mbak, nanti di rumah sama bibi ya? Aku harus ke rumah sakit, dan Mas Aska kan harus ke kantor,” ucap Salma.
“Iya, aku sama bibi di rumah,” jawab Azzura.
“Ra, nanti sore bunda,ayah, dan lainnya akan ke sini. Aku semalam bilang bahwa kamu pulang ke sini. Aku tidak mau menutupi semua ini, jadi aku ceriata pada mereka, dan sore nanti mereka akan ke sini,” ucap Askara.
“Iya, Mas. Memang seharusnya begitu,” jawab Azzura.
“Mbak, aku sudah siapkan air hangat untuk mbak mandi. Oh iya boleh aku tahu obat yang sedang mbak konsumsi sekarang?” tanya Salma.
“Iya sebentar aku ambil dulu, Sal,” jawab Azzura.
Azzura ke kamarnya, mengambil obat yang masih ia konsumsi sampai sekarang. Sakitnya semakin parah, sel kankernya sudah menyebar, dan menyerang paru-parunya.
Askara menggenggam tangan Salma, lalu menciumnya. “Jangan tinggalkan aku ya, Sal? Apa pun yang terjadi,” bisik Askara.
“Apa pun yang terjadi? Kalau yang terjadi kamu harus menikahi Azzura? Apa aku masih pantas bertahan, Mas?” jawab Salma.
“Aku tidak akan, Sal. Aku janji itu,” ucap Askara.
“Aku pegang janjimu, Mas.” Tegas Salma.
Askara tidak mau mengulang kejadian dulu yang menimpa orang tuanya, di mana papanya lebih memilih kembali pada mantan istrinya saat bundanya sedang hamil dirinya. Meski masih ada sisa cinta di hatinya untuk Azzura, dia tidak mau menduakan Salma, karena dirinya sudah sangat mencintai Salma.
“Aku tidak tahu harus bagaimana bilang pada semuanya, Sal, kalau Azzura akan tinggal di sini,” ucap Askara.
“Ya jujur aja, toh Cuma tinggal di sini saja, asal tidak dinikahi kamu mungkin mereka bisa mengerti, apalagi tahu keadaan Azzura bagaimana, kan?” jawab Salma. “Kita sama-sama jelasin pada semuanya nanti,” imbuhnya.
Azzura keluar membawa obatnya dan menunjukkan pada Salma. Salma sedikit terkejut dengan obat-obat yang Azzura konsumsi, karena Salma tahu sakit Azzura sudah semakin parah, dan sudah menyerang paru-parunya.
“Kenapa mbak menyembunyikan semua ini? Kenapa sampai separah ini, Mbak?” tanya Salma.
“Memang ini salahku, Sal. Aku berobat sampai jauh, meninggalkan suami dan anak, tapi hasilnya tetap saja, malah tambah parah. Mungkin ini hukuman buatku sudah meninggalkan dua orang yang aku sayangi dalam hidupku,” ucap Azzura.
“Yang penting sekarang, Mbak harus kuat, mbak harus menjalani pengobatan lagi di sini. Nanti aku akan bicarakan dengan tim dokter di rumah sakit,” ucap Salma.
“Iya, Ra. Kamu harus bisa jalani semua ini. Aku dan Salma akan menemanimu, juga Afifah. Kamu tidak sendiri, Ra. Ada kami,” ucap Askara.
“Iya, Mas. Terima kasih,” ucap Azzura.
Azzura meneguk tehnya. Lalu ia menyiapkan obat sebelum makan. Seperti ini hari-hari Azzura selama bertahun-tahun, sejak dirinya sakit.
“Kedatanganku ke sini, padahal ingin sekali kembali padamu, Mas. Ingin ditemani kamu di sisa umurku, hanya dengan kamu saja, dan anak kita. Tapi, keadaannya sudah berbeda. Kamu sudah memiliki Salma, kamu milik wanita lain, dan tidak mungkin lagi kumiliki dirimu, Mas. Ini memang salahku,” ucap Azzura dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
guntur 1609
kau gak belajar dari kisah orang tuamu. dasar biadab
2024-04-24
0
Fifid Dwi Ariyani
trussemangst
2024-04-03
0
A Yes
pemikiran gemblung
2023-08-26
0