Zee panik sepanik-paniknya. Wanita itu histeris meminta tolong sambil berusaha memapah tubuh sang papah.
Rendan kebingungan, tak kalah panik. Bedanya, alasan Rendan panik karena pria itu merasa berdosa. Rendan sadar dirinya memang bersalah. Sempat akan berusaha menolong, beberapa tetangga yang berbondong-bondong datang membuatnya urung dan hanya sesekali melirik. Ia berusaha bersikap setenang mungkin agar orang-orang tak curiga kepadanya.
Tak jauh dari kontrakan Zee, Devano yang sudah menunggu di depan gang menuju kontrakan, menyuruh pak Lukman untuk turun. “Sudah nunggu dua menit, masih saja belum datang.” Kebiasaannya yang perhitungan waktu sama sekali tidak berubah. Ia masih saja mempermasalahkannya bahkan walau kini status Zee dalam hidupnya sudah bertambah. Karena kini, Zee tak hanya sekretaris yang kadang merangkap menjadi asisten pribadi. Karena kini, Zee juga berstatus sebagai kekasihnya walau itu hanya pura-pura.
“Baik, Kak. Tunggu sebentar, saya pastikan dulu,” ucap pak Lukman sangat santun.
“Kalau dia masih rempong gara-gara bulu mata palsu, suruh pakai saja di sini. Toh, kentut di depan wajah saya saja dia enggak malu, masa pasang bulu mata palsu, malu,” ucap Devano masih sibuk membaca setiap laporan yang menghiasi ponsel pintarnya.
“Siap, Kak.” Kali ini, pak Lukman benar-benar turun. Meski baru keluar dari mobil, keramaian dari dalam gang dan menjadikan Zee sebagai bagiannya, juga langsung membuatnya terjaga. Sekejap kemudian ia menyampaikannya kepada sang bos yang sampai detik ini masih ia panggil “Kakak” sebagai panggilan kesayangan seorang Devano dari kecil.
“Si Zee bikin masalah dengan tetangga apa bagaimana?” sergah Devano langsung menyikapi dengan serius. Sempat berpikir begitu, tapi melihat Zee yang menangis kalut, Devano langsung berpikir lain. Apalagi, ada pria baya yang dipapah beramai-ramai keluar dari sana.
“Pak, Pak ... kita ke sana!” sergah Devano langsung turun, setelah sebelumnya sampai menyimpan ponselnya buru-buru ke saku dalam bagian jasnya. Ia terlalu panik, dan langsung tak karuan ketika Zee yang begitu kalut langsung memeluknya erat.
“Pak Vano, Rendan ... dia sengaja mau bunuh papah aku. Dia ngadu-ngadu enggak jelas dan papahku kena serangan jantung!” Terisak-isak Zee mengadu kepada Devano.
Devano yang langsung paham kondisi langsung meminta sang sopir untuk memboyong pak Samsudin ke mobil. “Kita bawa papah kamu ke rumah sakit. Rumah sakit papahku dirawat. Kamu sudah kunci kontrakan kami, kan?” sergah Devano ketika Zee mengakhiri dekapannya tapi menatapnya dengan banyak harapan. Zee tampak jelas memohon perlindungan sekaligus pertolongan.
“Sudah, sudah, ... kita ke rumah sakit!” sergah Devano sembari merangkul punggung Zee.
Di depan, pak Samsudin sudah berhasil dimasukkan ke mobil penumpang bekas Devano duduk. Buru-buru Zee juga masuk, memangku kepala sang papah. Sementara Devano memilih duduk di sebelah pak Lukman tanpa terlebih dulu menunggu dibukakan pintu.
“Kita langsung ke rumah sakit papah dirawat, Pak!” sergah Devano.
“Baik, Kak!” siap pak Lukman.
“Pah ... pah, tolong jangan tinggalin aku, Pah. Aku enggak punya siapa-siapa. Aku beneran cuma punya Papah.” Zee tak hentinya merintih pilu. Kedua tangannya terus menggenggam kedua tangan sang papah, selain ia yang sudah sampai mendekap tubuh kaku pak Samsudin yang ada di pangkuannya.
Devano yang menjadi terus memperhatikan Zee dari kaca spion yang ada di atasnya, berangsur menghela napas pelan. Tak beda dengan Zee, melihat Zee yang sangat kalut layaknya sekarang, juga membuatnya tak kalah takut.
“Si Rendan maunya apa sih? Niat banget bikin orang meninggal. Pengin dibikin meninggal juga tapi kesannya bunuh diri, apa gimana?” pikir Devano yang menjadi kesal sendiri. “Aku geprek nanti kamu kalau urusan pengobatan papahnya Zee sudah beres. Bisa-bisanya bikin Zee kalut dan otomatis Zee juga jadi enggak kerja. Kalau gini caranya, rugi bandar aku!” kesal Devano dalam hatinya.
Setelah menerobos kemacetan sana sini mengingat kini merupakan jadwalnya pemberangkatan kerja hingga hampir semua jalan macet, akhirnya mereka sampai di rumah sakit pak Restu dirawat. Pak Samsudin yang bernapas saja nyaris tak terdeteksi, segera diboyong keluar oleh pak Lukman dan Devano. Namun setelah petugas rumah sakit mengambil alih, Devano segera meraih sebelah tangan Zee, menahannya kemudian mendekapnya. Devano berusaha menenangkan Zee, dan untuk pertama kalinya, Devano memeluk lawan jenis yang bukan anggota keluarga, dengan benar.
“Pah ....”
“Tenangkan dirimu.” Devano menahan Zee di depan pintu IGD pak Samsudin dirawat. Pak Lukman yang memergoki upaya Devano menenangkan Zee, jadi ikut terharu. Bocah super aktif sekaligus kritis yang dari dulu ia rawat penuh sayang, kini sudah besar dan sudah tahu cara menenangkan pasangan. Sungguh kemajuan yang luar biasa, apalagi sejauh ini, Devano terbilang anti sosial, selain Devano yang hobi marah-marah.
“Kalau papahku kenapa-napa, gimana, Pak?” isak Zee masih bertahan di dekapan seorang Devano. Tubuhnya terlalu lemah karena kenyataan sang papah yang mendadak terkena serangan jantung, membuat nyawanya seolah dicabut paksa.
“Enggak! Kamu enggak usah mikir macam-macam. Kamu harus yakin Papahmu akan segera pulih. Karena setelah itu terjadi, aku akan langsung memberi Rendan dan betina gundik berkedok sahabatmu itu, pelajaran. Aku pastikan mereka akan sangat menyesal. Bisa-bisanya dia berniat membuat papahmu sakit dengan memanfaatkan kelainan di jantungnya!” yakin Devano masih mendekap erat Zee. Tangan kanannya mendekap punggung Zee, sementara tangan kiri, mendekap kepala Zee yang sampai ia sandarkan ke dadanya.
“Pak Devano, ... kalau sedang begini, dia terkesan tanggung jawab banget. Atau ini memang sisi lain dari pak Devano dan selama ini sengaja disembunyikan? Mungkin, sih. Dia kan seorang pemimpin, bisa jadi sama perusahaan sengaja disetel jadi bos kejam agar semuanya segan,” pikir Zee yang tetap merasa takut sesuatu yang fatal sampai menimpa sang papah, apalagi serangan jantung yang dialami papahnya kali ini, benar-benar parah.
Diam-diam, kebersamaan kini diabadikan oleh pak Lukman melalui bidik kamera ponsel dalam bentuk video. Pak Lukman mengirimkan video langka tersebut kepada nomor WA ibu Arnita, mamah Devano.
“Pah ... papah harua kuat ....”
Kenyataan Zee yang terus merintih pedih memandangi pintu IGD sambil memanggil-manggil sang papah, membuat seorang Devano tidak tahan. Kedua mata Devano menjadi merah dan perlahan basah. Dalam benaknya, Devano melihat adegan tidak begitu berbeda. Adegan yang membuatnya memeluk seorang wanita di depan IGD. Wanita yang ia peluk di ingatannya itu sang mamah. Sang mamah yang sampai berulang kali pingsan ketika sang papah meninggal. Kejadian tiga tahun lalu, saat usia Devano dua puluh delapan tahun.
Devano masih ingat, saat itu sang kakek selaku papah dari sang mamah dan ia panggil “mbah” memintanya untuk segera menikah.
“Papah kamu pasti baik-baik saja, Zee!” yakin Devano memberikan dukungan penuhnya seiring dekapannya kepada Zee yang makin erat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Lusiana_Oct13
kenapa juga si zee dr pulang mergokin si ramdan gk lgsg jelasin ke bapak nya salah juga sich harus nya apa oun itu harus jelasin dr wal
2024-07-15
0
Lusiana_Oct13
lukman kok bisa manggil devano kak??? sementara dia kenal devano masih bocil
2024-07-15
0
Fitri Prasetyo
innalilahi wa innailaihi roji'un, Mbah iman sudah meninggal..
2024-04-27
1