“Awalnya, aku tersesat di hutan ini, selama beberapa jam berjalan, aku akhirnya menemukan sungai ini, aku memutuskan untuk mengikuti aliran air sungai, dan tidak sengaja menemukanmu terbaring di pinggir sungai.“ Isander terus berjalan sambil sesekali menoleh ke Giya.
“Memangnya dari mana asalmu? Mengapa bisa tersesat di hutan ini?“ Giya bertanya karena dorongan rasa penasarannya yang sangat besar.
Banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan kepada Isander. Asal-usul Isander belum ia ketahui, sangat jarang bisa melihat pria yang menggendong seorang putri kandungnya, apalagi bisa selamat di luar kota.
Isander terdiam sesaat sebelum menjawab, tampak memikirkan sesuatu. “Aku berasal dari suatu desa kecil di hutan ini, aku tidak tahu namanya, kurasa memang tidak memiliki nama.“
“Lantas, mengapa kamu keluar dari pemukiman? Bukankah lebih berbahaya jika keluar dari kelompok? Lebih-lebih kamu membawa seorang gadis kecil.“
Mendengar jawaban Isander membuat Giya makin heran dan tak mengerti mengapa Isander tersesat dari hutan ini.
“Jangan bilang desa kamu diserang?“ Giya menebak.
“Benar, desa itu diserang oleh monster, dan aku kabur dari desa untuk menyelamatkan diri.“ Isander mengangguk membenarkan tebakan Giya.
“Apakah ada yang selamat selain kamu?“
“Tidak tahu, aku belum bertemu dengan orang dari desa yang sama selama berlari di hutan.“
“Kemungkinan besar tak ada yang selamat, kamu beruntung.“ Giya menatap Isander sambil mengamati tubuhnya.
Tubuh Isander sangat berisi dan ramping, ototnya terbentuk sangat bagus, terlihat dari tangannya yang menggendong seorang gadis kecil, otot-otot itu terlihat mendominasi.
Pria yang memiliki fisik yang semacam ini memiliki kemungkinan untuk selamat dari serangan monster, tetapi itu tidak besar, kecuali memang memiliki kekuatan Agta.
“Obrolannya kita tunda dahulu, tempat untuk beristirahat sudah ada di depan sana,” ujar Giya sambil menunjuk ke suatu arah yang ada di kejauhan.
Mata Isander bergerak mengikuti arah yang ditunjuk oleh Giya, ternyata tempat yang maksud Giya adalah rumah pohon yang sederhana.
Rumah yang dibangun di atas pohon, terdapat tali usang yang menggantung di bawahnya, sebagai cara untuk mereka bisa ke atas.
“Rumah pohon?“ Isander berkata sambil menatap rumah pohon yang terlihat kokoh.
“Ya, aku dan beberapa orang teman membuat rumah pohon ini.“ Giya mengangguk, kemudian ia berjalan lebih dahulu menuju rumah pohon. “Langit sudah sangat redup, lebih baik kita ke dalam dengan cepat.“
“Ya.“
Segera, Isander mengikuti Giya sampai ke bawah rumah pohon. Giya dengan mudahnya memanjat tali sepanjang 4 meter hingga tiba di dalam rumah pohon.
Setelah memeriksa di dalam rumah pohon dan hasilnya tidak ada apa-apa, Giya memberi isyarat kepada Isander untuk naik ke atas.
Namun, begitu ia hendak membantu Isander membawa Meisya, dalam pandangannya Giya melihat Isander yang memanjat tali dengan satu tangan dan dua kakinya, tangan kirinya dengan stabil menggendong Meisya.
Terlihat dari wajah Isander yang datar, ia sama sekali tidak kesulitan dalam melakukan hal tersebut.
Dalam waktu kuran dari 10 detik, Isander sampai di rumah pohon tanpa bantuan Giya sama sekali.
Sesampainya di rumah pohon, Isander melihat bahwa rumah pohon ini sangat sederhana hanya ada ruang kosong yang luasnya 2x3 meter dan beberapa benda seperti kayu panjang dan besi panjang. Ada beberapa cangkir kayu yang letakkan di lantai rumah pohon.
Isander mengabaikan ekspresi Giya yang terkejut dan ia bertanya, “Apakah ada kain di sini? Atau sesuatu yang empuk?“
“Sebentar, aku akan mencari.“ Giya menggelengkan kepalanya dan bangkit untuk mencari kain di sekitar rumah pohon, ternyata cuma ada 1 kain yang panjangnya kurang dari 1 meter.
“Hanya ada satu ini, apakah baik-baik saja?“ Tangan Giya menyodorkan kain tersebut kepada Isander.
Kain tersebut diambil oleh Isander dan ia segera membersihkannya dengan cara menepuk beberapa kali pada kainnya. “Tidak apa-apa, kain ini cukup untuk dijadikan tatakan atau alas tempat Meisya tidur.“
Setelah itu, dengan satu tangannya Isander menghamparkan kain di sisi rumah pohon dan ia meletakkan tubuh Meisya yang masih tidur di atas kain tersebut.
Tangan Isander bisa merasakan bahwa lantai rumah pohon ini kasar, tidak bagus untuk kulit Meisya. Sengaja ia memilih pojok rumah pohon untuk tempat Meisya tidur karena bertujuan supaya Meisya tidak kedinginan, hawa dingin dari luar menghantam kayu sebelum ke kulit Meisya.
Merasa anaknya tidak nyaman tidur tanpa alas kepala, Isander membuka bajunya di depan mata Giya dan kemudian melipat baju lalu ditaruh di bawah kepala Meisya.
Bisa dilihat dahi Meisya yang mengerut menjadi hilang dam Meisya merasa nyaman dan tenang lagi.
Giya sama sekali tidak fokus dengan gerakan perhatian Isander kepada anaknya, matanya terfokus pada tubuh Isander yang dipenuhi oleh otot-otot yang padat dan keras.
Bukan karena dirinya belum pernah melihat otot pria, justru di kota dia sudah melihat beberapa kali pria yang berotot. Namun, otot Isander berbeda ini sangat indah dan estetik, tidak hanya sekadar kuat.
Kebanyakan pria berotot yang ia lihat tidak begitu bagus, dan terkesan berlebihan, malah ada yang memiliki otot sedikit, tetapi memilik kesombongan yang teramat tinggi.
“Apakah ada lampu penerangan? Di luar sudah remang-remang.“ Isander menoleh melihat wajah Giya yang masih terlihat tercengang.
Telinga Giya mendengar suara Isander, ia tersadar dan langsung menggelengkan kepalanya untuk menghindari pikiran yang aneh di dalam kepalanya. “Tunggu, aku akan mengambilnya.“
Dengan lekas Giya berdiri dan mengambil sebuah penerangan berupa lampu minyak serta korek kayu.
Melihat kedua barang ini membuat Isander terkejut, ternyata barang-barang seperti ini masih ada di dunia yang telah hancur.
Giya menggesek korek kayu lalu api tersebut disambar oleh sebuah kain yang dipenuhi minyak.
Sebuah penerangan berhasil dibuat oleh Giya. Namun, Giya dengan cekatan menutupi semua jendela yang ada di rumah pohon ini, termasuk lubang bawah rumah pohon tempat mereka masuk ke dalam rumah.
Sengaja dilakukan untuk mencegah cahaya keluar dari rumah sehingga tidak ada monster yang melihat cahaya di antara pepohonan.
Pasti akan menarik perhatian monster ataupun orang jika ada cahaya di dalam kegelapan.
Setelah menutup semua lubang yang ada di dalam rumah pohon, Giya kembali duduk di seberang Isander. Ia tidak berani menatap sosok tubuh Isander yang dangat panas dan seksi.
“Sejak kapan rumah pohon ini ada?“ Isander membuka pembicaraan karena di dalam rumah pohon ini terasa sunyi.
“Sudah lama, sejak dua bulan yang lalu. Letak rumah pohon ini berada di tengah-tengah antara pemukiman yang aku tinggali dan hutan gunung salak yang ada di atas.“ Mata Giya turun ke bawah, ia tidak mau konsentrasinya dalam berbicara teralihkan karena sosok Isander.
“Dari awal kamu sudah menyebutkan pemukiman. Sebenarnya, apa nama pemukiman itu? Berapa jauh letaknya dari sini?“ Isander menjadi penasaran dengan ucapan Giya dan ia segera bertanya.
Ia perhatikan, Giya ini menyebutkan dirinya tinggal di sebuah pemukiman, tak pernah ia sebutkan apa nama pemukimannya dan di mana lokasinya.
Giya langsung menjawab, “Rain Settlement atau Pemukiman Hujan, letaknya ada di sebelas kilometer arah utara dari tempat ini. Pemukiman ini sama dengan desa yang kamu tinggali, hanya lebih besar dan penduduknya cukup banyak.“
“Apakah di sana aman dari monster?“
“Lumayan aman, sebab ada beberapa Agter yang hidup di sana.“ Giya mengangguk tegas.
“Omong-omong tentang Agter. Aku ingin tahu mengenai Agter lebih dalam, apakah kamu bisa menjawab beberapa pertanyaanku nanti?“
“Pertanyaan?“ Alis kanan Giya naik. “Tergantung, aku akan menjawabnya kalau bisa.“
“Oke."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments
Yohanes Wijaya
semangat😊
2023-04-13
7