Leo duduk bosan di ranjangnya, berkali-kali menghela napas saat tidak juga menemukan siaran yang seru. Kembali mematikan layar 32 inch dan turun dari ranjangnya melangkah keluar dari kamar kemudian menuruni anak tangga dan menghampiri sang Bunda yang tengah berada di dapur berkutan dengan segala peralatan dapur.
“Bunda balikin dong ponsel Abang,” pinta Leo dengan wajah memelas.
Melinda menggeleng. “Hari ini libur dulu ya, sayang pegang ponselnya. Selesai pernikahan Bunda janji akan kembalikan.”
“Tapi Abang bosan Bun. Janji deh gak akan hubungin Luna,” rengekan Leo tidak sedikit pun Melinda hiraukan. Wanita setengah baya yang masih terlihat cantik dan awat muda itu tetap melanjutkan acara memasaknya tanpa merasa terganggu sedikit pun.
“Libur Bang. Lebih baik sekarang kamu hapalin aja buat ijab kabul besok biar gak salah.”
Leo menghela napasnya pasrah dan kembali melangkahkan kaki menuju lantai atas. Merengek sampai air mata darah menetespun Leo tidak akan menang melawan keputusan sang Bunda yang keras kepalanya mengalahkan batu.
Membantingkan tubuh pada kasur, Leo berbaring menatap langit-langit kamar pikirannya melayang pada pernikahannya dan gadis yang akan menjadi pendampingnya besok di pelaminan. Jujur Leo masih belum bisa percaya bahwa dirinya akan menikahi sahabatnya sendiri.
“Sahabat yang kunikahi. Ah, gila bahkan gue gak pernah sedikit pun membayangkan ini. Lyra yang udah sejak kecil gue kenal aja, Ayah dan Bunda gak pernah sedikit pun berniat jodohin gue sama tuh singa. Kenapa bisa jadi Luna yang jadi istri gue, kenapa harus dia? Memang gak ada anak teman bisnis Ayah yang lain?”
Leo menggelengkan kepalanya saat pemikiran-pemikiran itu muncul dari otaknya. Tidak seharusnya kan ia mempertanyakan semua itu? Meskipun bukan lewat perjodohan yang di sepakati jika memang tuhan sudah menggariskan Luna sebagai jodohnya tetap saja nanti Leo akan menikah dengan Luna yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri.
“Semoga gue bisa jadi suami yang baik dan berguna buat lo, Lun.” Kembali Leo menghembuskan napasnya. Baru saja ia hendak memejamkan mata suara berisik dari bawah terdengar dan itu mengganggu sekaligus membuat Leo penasaran.
Kembali keluar dari kamar Leo menuruni satu persatu anak tangga dan menyesal dengan keputusannya yang sudah memilih untuk mengecek keberisikan yang di timbulkan dari lantai bawah, tapi sayang Leo sudah tidak bisa melarikan diri karena salah satu dari mereka sudah menangkap keberadaannya dan meminta untuk bergabung. Walau malas Leo tetap menghampiri untuk sekedar menghormati semua keluarga besar dari pihak Ayah maupun Bundanya yang datang dari luar kota.
“Duh calon manten ganteng banget, Tante sampai pangling lihat kamu yang udah besar seperti sekarang ini.”
Leo hanya membalas dengan senyuman kecil. Duduk manis mendengarkan ocehan juga pujian yang saudara-saudaranya keluarkan tanpa mau menanggapi. Saudara-saudaranya terlalu heboh.
Satu jam berada di tengah-tengah saudaranya membuat Leo bosan dan beberapa kali menguap. Ia ingin segera pergi, tapi tidak enak jika pergi begitu saja jadi, terpaksalah ia tetap duduk.
Melinda datang memberinya segelas jus jeruk dingin dan duduk si samping Leo. Selesai meneguk minuman yang menyegarkan itu Leo bersandar di pundak sang Bunda yang langsung mendapat elusan lembut di kepalanya.
“Bunda gak nyangka kalau besok Abang sudah akan menjadi seorang suami. Waktu begitu cepat berlalu sampai Bunda gak menyadari bahwa Anak Bunda satu-satunya ini sudah dewasa. Abang harus menjadi suami yang baik, walau pernikahan kalian atas dasar sebuah perjodohan.” Melinda mengucapkan itu dengan tatapan lembutnya yang membuat Leo nyaman berada di samping sang Bunda.
“Abang janji Bunda, walau Luna bukan perempuan yang selama ini Abang cintai, tapi Abang akan berusaha untuk menciptakan rasa itu untuk istri Abang. Abang janji gak akan mengecewakan istri Abang nanti karena jika itu terjadi sama saja dengan Abang mengecewakan Bunda, Abang gak mau, Bun, karena Abang begitu menyayangi Bunda dan Abang tidak ingin perempuan yang Abang sayangi terluka karena Abang.”
Melinda mengecup kening anak semata wayangnya cukup lama, begitu terharu dengan apa yang di ucapkan anaknya. Ia bersyukur amat-amat bersyukur karena tuhan memberikan dirinya anak sebaik Leo. Walau pun kadang anaknya itu menyebalkan, Manja dan keras kepala tapi Melinda tahu bahwa hati Leo begitu lembut dan memiliki jiwa penyayang.
Saat sore menjelang, Melinda menyuruh anaknya kembali ke kamar untuk istirahat yang tentu saja tidak Leo tolak karena bagaimana pun ini memang keinginannya sejak tadi. Setelah mengecup pipi sang Bunda, Leo pamit pada yang lain dan menaiki tangga dengan sedikit berlari menutup kembali pintu kamarnya dan tidak lupa untuk menguncinya.
Leo berjalan menuju jendela kamar yang masih terbuka, menghirip udara sore yang sejuk sebelum akhirnya menutup jendela tersebut dan tidak lupa menutup serta gordennya. Membaringkan tubuh di atas ranjang besarnya dengan tangan yang ia lipat di belakang kepala.
“Mulai besok kamar ini gak akan lagi jadi milik gue seorang. Apa iya gue bisa berbagi area pribadi gue dengan Luna nanti? Ah, ngomong-ngomong kenapa gue jadi kangen cewek yang akhir-akhir ini jadi galak itu? Apa iya gue udah cinta sama dia? Masa secepat itu?”
Lagi-lagi Leo menggelengkan kepalanya menepis pemikiran yang tiba-tiba saja muncul di otaknya.
Tidak jauh berbeda dengan Leo, Luna pun berada dalam kebosanan dan memikirkan tentang nasibnya besok yang akan menjadi seorang istri dari Leo, laki-laki dengan tingkah playboy yang sayangnya tidak pernah memiliki pacar. Luna berpikir apa ia anak bahagia hidup bersama laki-laki itu? Apa ia bisa mempercayakan hatinya untuk sahabat yang akan menjadi suaminya? Memikirkan itu semua membuat Luna pusing dan bimbang.
Hanya berguling-guling di atas ranjang yang dapat ia lakukan saat ini, karena tidak bisa curhat pada teman-temannya atau pun bermain game dan membuka sosial media yang ia miliki karena ponselnya di rampas oleh sang Mama.
“Lun, kemasi beberapa pasang pakaian juga kebutuhan kamu lainnya ke dalam koper karena setelah menikah kamu akan tinggal di rumah keluarga suamimu.” Teriakan itu seolah menyadarkan Luna. Ia baru teringat bahwa setelah ini kamarnya yang serba pink ini akan ia tinggalkan. Luna sedikit tidak rela. Namun apa yang bisa ia perbuat sekarang mengingat hari pernikahannya akan berlangsung esok hari.
“Kamarku tercinta malam ini terakhir gue tidur di sini. Apa iya gue harus bawa kamar ini ke rumah Leo? Aish, gimana caranya coba, kenapa gue mendadak gila gini gara-gara mau nikah sama tuh curut?”
Dengan cepat luna menggeleng kan kepala, membuang jauh-jauh pikirannya yang konyol itu dan mulai mengemasi pakaian juga bara-barang lain yang begitu dirinya perlukan untuk sehari-hari termasuk perlengkapan kuliah.
“Berasa di usir sama keluarga sendiri gue. Jahat banget deh Papa sama Mama, udah mah nikah di paksa, eh sekarang malah nyuruh kemas baju. Benar-benar berasa jadi anak yang tidak di inginkan gue di rumah ini …”
Pletak
Luna langsung menyentuh kapalanya yang terasa sedikit panas, menengok kearah samping yang ternyata Papa berada di sana berdiri dengan kedua tangan yang di lipat di depan dada. Luna mencebik dan membuang muka.
“Sekarang kepala gue di sentil, memang deh jahat mereka, padahal gue anak satu-satunya,”
“Udah selesai belum meratapi nasibnya?” suara beriton itu terdengar menyebalkan di telinga Luna.
“Belum Pa. Papa sih keburu datang kesini jadi Luna lupa kan mau ngomong apa lagi!” perempuan cantik berusia 20 tahun itu berdecak kesal tangannya masih sibuk mengeluarkan pakaian dari lemari yang akan ia kemas kedalam koper.
“Pa, Pa beneran usir Luna dari rumah ini? Kok Papa jahat banget sih, Luna anak Papa loh kalau-kalau Papa lupa.”
“Luna sayang, Papa gak usir kamu, tapi kan kamu besok mau nikah. Seorang istri itu harus ikut suaminya, dan tanggung jawab atas kamu pun berpindah pada suamimu. Kamu juga bisa kapanpun ke rumah ini jika kamu kamu, ingat meskipun kamu sudah menikah bukan berarti Papa dan Mama lepas dari tanggung jawab sebagai orang tua. Kamu tetap anak Mama dan Papa sampai kapan pun itu. Papa jodohkan kamu dengan Leo karena Papa lihat dia pria yang baik, bertanggung jawab dan paling penting dia adalah laki-laki yang begitu menyayangi keluarga terutama ibunya. Laki-laki seperti itu sudah pasti akan menyayangi istrinya kelak karena itu Papa setuju saat Ayah Wisnu mengajukan perjodohan ini.”
“Jadi bukan karena ada sangkut pautnya dengan proyek bisnis Papa sama Om Wisnu?”
“Ya, salah satunya memang karena itu juga agar hubungan kekeluargaan kami semakin erat,” bibir Luna yang semula sudah mengukir senyum kembali menekuk dan menghentakan kakinya kesal, sedangkan Lukman, Papa Luna terkekeh geli.
“Alasan pertama Papa adalah agar kamu bahagia. Dan ingin kamu bersama laki-laki yang baik dan dapat membahagia kan kamu. Kamu… gak marah kan sama keputusan Papa?”
“Luna marah sama Papa karena seenaknya menjodohkan Luna dan mengatur pernikahan ini secara diam-diam. Luna marah sama Papa dan Mama, tapi mau bagaimana lagi, pernikahannya udah di depan mata. Walau pun Luna menolak, Papa tetap tidak akan mendengarkan meski Luna mogok makan sekali pun. Luna tahu ini yang terbaik. Ya semoga saja.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Yulis Yusni
visual thooorr
2021-05-16
1
Eno Mcf
konyol juga Luna
2020-01-16
3
ifcantthebestsotheworst
bentar thor bentar. itu si Luna mau nikahan ngga mandi dulu? bangun tidur ke kamar mandi cuma cuci muka sama gosok gigi langsung turun. pas turun sama mamanya langsung disuruh ke kamar tamu buat di rias??? 😂😂😂
2019-12-15
11