Leo di minta sang bunda untuk mendatangi rumah calon mertuanya, menemui calon istri yang katanya penasaran ingin bertemu dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Memang bundanya bilang Luna sudah di beri tahu soal perjodohan ini tadi malam oleh orang tua perempuan itu. Jelas, dia menolak dan terjadi cekcok antara anak dan ayah itu, sampai akhirnya Luna memutuskan menyerah dan meminta sang ayah untuk mempertemukannya dengan laki-laki pilihan orang tuanya itu.
Mengendarai mobilnya dengan kecepatan rata-rata, Leo memikirkan tentang bagaimana respons yang akan dirinya dapat saat Luna tahu bahwa Leo lah laki-laki yang akan mendampingi perempuan itu di pelaminan. Sepanjang perjalanan pula Leo menyusun kata yang akan di ucapkannya nanti pada gadis itu. Semakin dekat jarak rumah Luna membuat jantung Leo bedebar lebih cepat. Ia gugup juga cemas.
Setelah menekan bel sebanyak tiga kali barulah pinter terbuka. Wajah cantik dan teduh Sari yang menyambut kedatangan Leo, menyuruhnya untuk masuk dan mempersilahkan duduk. Baru pertama kali ini Leo datang ke rumah besar yang tidak jauh berbeda dengan rumahnya, ah ralat rumah ayahnya. Walau sudah bersahabat lama dengan Luna, tapi Leo belum sekali pun datang ke rumah ini dan mengenal keluarga perempuan yang menjadi sahabatnya selama hampir lima tahun itu sekaligus yang akan menjadi istrinya nanti.
Mereka lebih banyak berkumpul di rumah Lyra atau di ruang OSIS dan café-café, maka wajar jika saat ini Leo merasa asing dan canggung. Menilik kesegala penjuru mencari keberadaan perempuan yang akan di nikahinya, hingga Sari kembali dari dapur menyuguhkan jus jeruk dingin dengan bolu yang terlihat masih hangat.
“Maaf, Nak Leo, Mama hanya bisa sediakan ini untuk menjamu kamu,” ucap Sari.
Leo menggeleng cepat. “Gak apa Tan… eh Ma, ini udah cukup kok.”
Sari tersenyum melihat kecanggungan dari calon menantunya itu. Wajar memang mengingat ini adalah kali pertama laki-laki tampan itu datang ke sini, itu pun atas undangannya.
“Mau langsung ketemu, Luna?” Sari bertanya. Leo sedikit mengangguk membuat Sari kembali melayangkan senyum ramahnya, berharap laki-laki muda di depannya tidak lagi merasa canggung.
Sari lebih dulu melangkahkan kakinya menuju lantai dua dimana kamar Luna berada, di ikuti Leo dari belakang yang sibuk meneliti setiap sudut rumah besar ini, dan tanpa sadar sudah berhenti di depan pintu bercat pink, satu-satunya pintu dengan warna berbeda dari yang lainnya.
“Mama tinggal ke bawah, ya? Kamu masuk aja bicarakan soal pernikahan kalian,” ucap Sari dengan senyum lembut yang tak pernah surut. Leo tersenyum kemudian mengangguk menatap kepergian Sari, kemudian menatap pintu di depannya. Berkali-kali menghela napas untuk menetralkan detak jantung yang menggila sebelum akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu tersebut.
Satu ketukan
Dua ketukan
Tiga ketukan. Belum juga ada tanda-tanda pemilik kamar membuka sampai akhirnya Leo kembali mengetuk dan ya, suara kunci di putar dapat Leo dengar dan tak lama wajah Luna keluar. Terlihat jelas keterkejutan di wajah Luna yang tiba-tiba menegang.
Leo tersenyum canggung. “Hai Lun, baru selesai mandi?”
Pertanyaan bodoh yang sudah pasti siapa pun tahu jawabannya, melihat Luna yang masih mengenakan handuk membungkus rambut basahnya.
“Lo ngapain ke sini?” tanya Luna heran. Jelas perempuan itu heran, karena bagaimana pun Leo baru pertama kali ke rumahnya, dan bertambah kebingungannya lagi laki-laki itu berada di depan pintu kamarnya.
“Gak mau nyuruh gue masuk nih?” mata Luna semakin memicing.
“Untuk apa?” Leo menghembuskan napasnya lelah, mendorong pintu bercat pink itu untuk terbuka lebih lebar dan masuk tanpa di suruh oleh sang pemilik kamar.
“Apa-apaan sih lo, main masuk aja!” geram Luna saat sadar sahabatnya itu sudah duduk di tepi ranjang miliknya, meneliti setiap inci kamar yang di dominasi dengan warna pink dan putih.
“Leo keluar! Gak sopan banget lo main masuk kamar perawan. Cuma su…”
“Gue 'kan calon suami lo, Lun. Jadi, gue berhak masuk sini,” jawab Leo sebelum perempuan itu menyelesaikan ucapannya.
Tubuh Luna menegang, wajahnya mengeras, matanya membulat sempurna dan mulutnya menganga. Beberapa detik berlalu perempuan itu tersadar dari keterkejutannya dan langsung menatap tajam ke arah laki-laki yang duduk tenang di ranjang berseprai merah muda itu.
“Apa lo bilang? Coba ulangi?” Luna berjalan mendekat pada Leo masih menatap laki-laki itu dengan tidak percaya.
“Gue calon suami lo,” ulang Leo menatap tepat mata Luna. Perempuan itu tertawa hingga sudut matanya mengeluarkan setitik bulir bening.
“Ngarang lo, Le,” ucap Luna masih belum menghentikan tawanya.
“Gue emang calon suami lo, Lun.” Suara Leo kini berubah serius. Tawa Luna terhenti dan tubuh perempuan itu kembali menegang.
“Bukannya semalam lo minta orang tua lo buat ketemu laki-laki yang mereka jodohkan? Jadi, lo pasti tahu kan kenapa gue ada disini?” Luna mematung di tempatnya, wajah perempuan cantik itu memerah dan telapak tangannya mengepal. Leo tahu perempuan itu tengah menahan emosi.
“Kenapa harus lo?” tanya Luna buka suara setelah beberapa menit membisu.
“Kenapa gak lo tanya orang tua lo? Bukan karena gue gak mau jawab, tapi itu juga yang menjadi pertanyaan gue,” balas Leo dengan datar.
“Terus kenapa gak lo tolak?” kembali Luna melayangkan pertanyaan.
“Udah gue lakukan, tapi lo tahu 'kan hasilnya? Gue gak bisa berbuat apa-apa selain menerima,” kembali jawaban Leo berikan. Luna menggeram kesal, wajahnya jelas memancarkan kemarahan dan matanya jelas menunjukan ketidak sukaan.
Leo sudah dapat menebak sebelumnya bahwa perempuan cantik itu akan terkejut mendengar kenyataan ini. Meski sudah dapat menebak sebuah penolakan yang akan di terima, tapi mendengar langsung dari mulut perempuan itu membuat sisi hati Leo sedikit terluka.
Leo hanya membiarkan perempuan yang akan menjadi istrinya itu mengomel sendirian, mengutarakan penolakan. Leo menikmati setiap ekspresi yang di berikan perempuan cantik itu, melihat wajah kesalnya membuat Leo terkekeh, merasa lucu, apa lagi Luna mengomel dengan tangan dan kaki yang tak hentinya bergerak, mondar mandir di depan Leo yang masih duduk di sisi ranjang.
“Berenti deh, Lun kuping gue sakit dengar ocehan lo. Perut gue lapar, mending sekarang makan dulu, lo marah-marah juga butuh energi.” Leo bangkit dari duduknya menghampiri Luna yang kembali mengeraskan wajahnya.
“Pokoknya gue gak mau tahu pernikahan ini harus ba…!”
Belum selesai Luna bicara, bibir Leo lebih dulu mendarat di bibir Luna, membuat perempuan cantik itu menghentikan ucapannya dan membelalakan matanya, terkejut dengan apa yang dilakukan Leo.
“Lo be…” lagi, kecupan pada bibir tipis itu Leo layangkan membuat Luna kembali menghentikan ucapannya.
“Lo berhenti ngomel Lun, gue lapar.”
Tahu Luna hendak melayangkan protesannya lagi dengan cepat Leo memperingati perempuan itu, mengancam akan kembali menciumnya yang membuat Luna akhirnya urung memberikan protesan. Mendengus kesal kemudian meraih handuk di atas kepalanya, melempar sembarang dan melangkah menuju meja rias, menyisir rambutnya yang masih setengah basah.
Leo menggelengkan kepala tak habis pikir dengan perempuan cantik itu, Luna yang selama ini lebih banyak kelihatan kalem ternyata aslinya seperti ini, doyan marah-marah juga cerewet. Leo meraih handuk yang semula Luna lempar ke arah ranjang membawanya ke luar dari kamar dan menjemurnya. Kembali masuk ke dalam kamar dan masih melihat wajah cemberut Luna yang terlihat menggemaskan.
Setengah jam perempuan itu mengomel, marah-marah, melayangkan ketidak setujuannya dengan pernikahan yang sudah di rencankaan orang tuanya, namun Leo yang lebih fokus pada raut wajah perempuan itu tidak dapat menyimak apa saja yang Luna ucapkan.
“Ke bawah yuk, makan.” Leo meraih tangan Luna, menarik pelan tangan perempuan itu dan membawanya keluar dari kamar menuruni anak tangga dan berjalan menuju dapur.
“Dapur di sebelah kiri,” Luna memberi tahu saat Leo hendak belok ke lorong sebelah kanan. Akhirnya sampai di dapur, dapat Leo lihat Sari berada di sana, menata makanan di atas meja seakan tahu bahwa itu adalah yang di butuhkan anak juga calon menantunya.
“Susah ya bujuk, Luna?” tanya Sari pada Leo. Melirik sekilas pada perempuan yang masih berada beberapa centi di belakangnya, wajah cantik itu masih cemberut dan enggan menatap sang Mama.
“Mama tenang aja, Leo udah punya cara buat bikin Luna nurut,” ucap Leo melayangkan senyum manis pada calon mertuanya. Luna melayangkan tatapan membunuh yang tak sama sekali Leo hiraukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Vanni Sr
setuju sn luna dong jelas" perawan , klo Lyra g boleh ngerusak hub mereka lg hamil jg
2023-01-07
0
🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒
aku pusing lihat karakter Luna
2022-04-15
1
Riska Wulandari
suka banget sama Leo,,meskipun rada rusuh tapi aslinya Leo gentle,,hangat & perhatian..
2021-11-08
2