Saat hari sudah beranjak sore Luna dan Leo pulang lebih dulu karena sudah mendapat titah dari sang Prabu dan Ibunda masing-masing, menyuruh mereka untuk segera pulang karena mereka kata tidak baik calon pengantin masih berkeliaran saat hari mulai gelap.
Sepanjang perjalanan keduanya berada dalam keheningan, saat memutuskan pulang pun tidak ada perdebatan seperti saat akan berangkat tadi. Luna sibuk dengan pikirannya tentang apa yang di ucapkan laki-laki di sampingnya tadi, sedangkan Leo tengah menyusun kata yang akan kembali ia ucapkan untuk meyakinkan calon istrinya.
Sampai di depan taman yang ramai di saat sore hari ini Leo menghentikan laju mobilnya, membuat Luna yang sedari tadi tidak memperhatikan jalan menoleh sekeliling dan menatap Leo dengan tatapan bertanya.
“Pernikahan kita tinggal dua hari lagi Lun. Bukan cuma lo yang menolak pernikahan ini, gue juga sama seperti lo, tidak menginginkan ini. Sekian lama kita bersahabat, dan gue benar-benar menganggap lo sebagai sahabat. Tidak pernah sedikit pun dalam pikiran gue untuk menikahi sahabat gue sendiri bahkan pada Lyra sekalipun yang walau gue memiliki perasaan lebih …”
Luna mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Leo. Ia memang sedari dulu tahu bahwa laki-laki itu memiliki perasaan lebih pada Lyra jadi pengakuannya itu tidak membuat Luna terkejut.
“… seperti lo, gue juga gak memiliki perasaan apapun, tapi Bunda bilang bahwa perasaan itu akan hadir dengan seiring berjalannya waktu. Sama seperti lo, gue juga menentang keputusan Ayah dalam perjodohan ini dan lo tahu sendiri bukan? Keputusan mereka tidak pernah bisa di ganggu gugat, dan gue sebagai anak hanya bisa pasrah menerima walau hati menolak, gue hanya ingin mereka bahagia dan mungkin dengan cara ini salah satunya. Dan setelah gue memutuskan untuk menerima perjodohan ini, saat itu juga gue bertekad untuk membuka hati dan menerima lo dalam hidup gue,” Leo menghentikan ucapannya, menoleh pada Luna yang masih duduk di sampinya menatap dengan tatapan yang lagi-lagi tidak dapat ia artikan.
Leo tersenyum kecil, menatap kembali kearah depan dan meletakan punggungnya pada sandaran kursi mobil, menghela napas pajang sebelum akhirnya kembali membuka suara, “kita bersahabat sudah cukup lama Lun dan bahkan mungkin sedikit banyak lo tahu bagaimana gue, kegilaan gue, sikap dan perilaku gue mungkin lo tahu, tapi satu yang mungkin gak lo tahu dari gue, gue gak pernah main-main dalam sebuah komitmen. Sekalinya gue memutuskan untuk serius maka seterusnya akan tetap seperti itu. Ayah mengajarkan gue untuk bisa bertanggung jawab pada apa saja yang memang harus gue pertanggung jawabkan.”
Luna semakin menundukan kepalanya, memang ia dapat melihat keseriusan dari mata laki-laki itu, tapi entah kenapa Luna masih saja merasa cemas dan ragu. Sedari dulu ia hanya menginginkan pernikahan sekali seumur hidup, membina rumah tangga dengan laki-laki yang mencintainya dan juga ia cintai. Seperti kata Leo, menikah dengan sahabat sendiri tidak pernah ada dalam pikirannya begitu pun dengan Luna.
Menghembuskan napas pelan, Leo menoleh pada Luna yang masih menunduk. Meraih tangan Luna yang berada di pangkuan gadis itu membawanya berpindah pada pangkuannya dan yang dilakukannya itu membuat Luna mendongak menatapnya. Leo meremas pelan tangan putih dan lembut yang sedikit berkeringat dingin itu, menatap tepat pada manik Luna yang juga tengah menatapnya dengan serius. “Lun, gue mungkin bukan laki-laki yang lo inginkan, bukan juga yang lo harapkan. Pernikahan yang akan kita hadapi memang berdasar akan sebuah paksaan, tapi gue percaya bahwa di dalamnya ada campur tangan Tuhan …”
“… izinin gue untuk masuk ke dalam hati lo, Lun gue janji akan menjaga kepercayaan lo, gue akan senantiasa menjaga hati lo dan gue akan terus berusaha untuk membahagia kan lo. Saat ini, lo boleh ragu terhadap gue, tapi gue mohon untuk selanjutnya biarkan gue menyentuh hati lo, membuktikan apa yang baru saja gue ucapkan. Hati gue sudah terbuka lebar untuk lo Lun dan gue berharap lo pun akan melakukan hal yang sama.”
Leo membawa tubuh mungil Luna kedalam pelukannya, mendekap punggung yang bergetar hebat akibat tangis itu dengan erat untuk menenangkannya dan memberi wanita itu kenyamanan.
“Mari belajar untuk saling mencintai, Le dan bantu gue untuk percaya sampai keraguan ini tidak lagi gue rasakan.” Kata yang di keluarkan Luna di tengah isak tangisnya menerbitkan senyum di bibir Leo.
Melepaskan pelukan dan menangkup wajah cantik Luna yang sudah basah dengan air mata, jari Leo bergerak untuk menyeka sudut mata cantik perempuan di hadapannya dengan lembut, memberikan senyum kecil yang begitu manis dan membuat siapa saja akan terpesona kemudian mengecup kedua mata itu secara bergantian.
“Gue janji, Lun gue janji akan menjaga kepercayaan lo dan gue pastikan lo akan kehilangan rasa ragu itu.” Keduanya tersenyum dalam hati masing-masing mereka berjanji untuk belajar menerima dan belajar untuk saling membuka diri. Tidak akan sulit bukan untuk jatuh cinta pada sahabat sendiri?
“Apa yang akan jadi jaminannya kalau sampai lo gak bisa menepati ucapan lo?”
“Lo rentenir Lun?” cepat Luna menggelengkan kepala. “Terus kenapa minta jaminan? Lo kira gue pinjam uang di Bank!”
Satu geplakan mendarat tepat di kepala Leo, cukup keras sampai si empunya meringis. “Lo emang bukan pinjam uang, Le tapi lo pinjam hati gue. Uang yang mudah di cari aja ada jaminannya, ya, masa hati yang sulit di perbaiki gak ada jaminannya, harus ada dong. Jadi apa yang akan lo jadikan jaminan?”
“Emm apa ya? Kulkas di rumah Bunda kayaknya boleh deh di jadiin jaminan,” Leo berucap dengan ekspresi yang terlihat seperti orang yang tengah berpikir.
Lagi satu geplakan kembali mendarat di kepala Leo, wajah kesal Luna tunjukan, melipat kedua tangannya di dada kemudian membuang muka.
“Lo lucu kalau lagi cemberut gitu, Lun. Mirip bebek.” Tangan Leo terulur untuk mencubit pipi Luna, tapi sebelum itu terjadi Luna lebih dulu menepisnya dan menatap tajam Leo.
“Gue nanya serius Leo, kenapa lo becandain? Gimana gue mau yakin nikah sama lo kalau apa-apa lo selalu becandain? Jangan-jangan nanti hati gue lo becandain juga!” Marah. Ya Luna marah karena ia merasa bahwa Leo tengah mempermainkan perasaannya.
“Kalau lo cuma mau main-main dengan perasaan gue, lebih baik batalkan pernikahan yang akan di selenggarakan lusa. Kalau emang lo gak sanggup dan gak mau mempermalukan orang tua lo, biar gue yang pergi dan membatalkan pernikahan kita.” Luna berkata dengan raut wajah yang kembali murung, air sudah menggenang di pelupuk matanya dan itu membuat Leo merasa bersalah.
“Gue minta maaf, Lun maaf kalau gue salah, tapi asal lo tahu, gue gak pernah main-main dengan perasaan dan gak pernah sedikit pun berniat untuk mempermainkan lo. Lo bisa pegang ucapan gue, Lun dan jika sampai gue melakukan kesalahan dan mengingkari ucapan gue, apa yang akan lo lakuin untuk hukum gue, akan gue terima. Gue akan berusaha untuk menepati semua ucapan gue, Lun termasuk membahagiakan lo.” Mata Leo memancarkan keseriusan yang tidak dapat Luna elakkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Riska Wulandari
segitu dewasanya Leo..
2021-11-08
1
puji rahayu
lg romantis2na palah mikir jamina.
😁😁😁😁😁
2021-06-12
1
dite
yg dibilang si leo bener sih, apalagi yg dicari coba.. bukankah lebih baik hidup dg orang yg memang sudah kita kenal dg baik, dan kita nyaman dg dia, drpd kita ksana kmari
2021-06-07
1