Tidak terasa waktu terus berjalan dan pernikahan tinggal dua hari lagi, Luna dan Leo masih juga belum dekat, entah apa yang membuat gadis itu terus menolak pernikahan ini padahal seharusnya dia bersyukur karena menikah dengan laki-laki setampan Leo yang bahkan sudah dia kenal lama.
Leo yang baru saja selesai dengan tampilannya, berdiri di depan kaca besar yang ada di kamarnya memperhatikan penampilan kasualnya yang ia akui bahwa dirinya begitu tampan. Meraih dompet, kunci mobil juga ponsel Leo bergegas keluar dari kamar menuruni setiap undakan tangga dan tidak lupa pamit pada kedua orang tuanya yang duduk santai di teras depan.
Pertama yang harus dirinya lakukan adalah mengendarai mobil putih kesayangannya meluncur ke rumah Luna untuk menjemput calon pengantinnya itu. Senyum Leo berkembang sempurna dan itu terjadi sepanjang perjalanan. Namun saat beberapa blok lagi sampai di kediaman Luna dengan cepat ia merubah ekspresinya menjadi datar kembali.
“Kemana aja sih lo, Le jam segini baru datang?” pertanyaan bernada kesal itu keluar dari mulut Dimas, sahabatnya yang kuliah jauh di luar kota yang sayangnya Leo tidak tahu apa nama kota tempat tinggal baru temannya itu.
“Kesiangan bangun gue,” jawab Leo yang tentu saja berbohong. Sebenarnya sedari pagi ia sudah bangun namun yang membuatnya telat adalah memilih pakaian, Leo ingin terlihat tampan di depan Luna pagi menjelang siang ini, karena siapa tahu nanti gadis itu akan jatuh cinta padanya.
“Udah gak usah banyak ngomong, mending sekarang kita berangkat, takutnya si Pandu sama Lyra pergi keluar.” Semua mengangguk membenarkan ucapan Amel. Leo menarik Luna untuk naik ke mobilnya saat perempuan cantik itu hendak membuka mobilnya sendiri.
“Dim, lo bawa si Amel sama Devi ya, awas jangan lo macem-macemin!” perintah dengan diakhiri ancaman itu mendapat delikan malas dari ketiganya, sedangkan Luna terus meronta meminta di lepaskan dan tetap kekeh ingin membawa mobilnya sendiri begitu juga dengan Leo yang tetap kekeh bahwa Luna harus ikut di mobilnya.
“Naik Luna!” titah Leo penuh penekanan.
“Gak! Gue punya mobil sendiri dan gue juga bisa nyetir jadi lepasin tangan gue, Leo gue gak mau barengan sama lo,” balas Luna tak mau kalah.
“Naik mobil gue aja, Lun jalanan akan semakin macet kalau lo bawa mobil sendiri. Buruan masuk, yang lain udah berangkat itu,” Luna masih bertahan untuk tidak masuk ke dalam mobil Leo walau laki-laki itu memaksa. Jelas Leo kesal karena perempuan keras kepala yang akan menjadi istrinya itu malah menggelengkan kepala. Leo melangkah mendekat mengikis jarak antara dirinya dan Luna, sedangkan perempuan yang semula menampilkan wajah kesalnya itu berubah menjadi was-was melangkah mundur.
“Lo mau ngapain?” cemas Luna saat laki-laki tampan yang akan menjadi suaminya dalam dua hari lagi itu semakin dekat.
“Leo jangan macam-macam lo!” Luna yang terus mundur pun membentur mobil yang pintunya terbuka, kini dirinya tidak lagi bisa kemana-mana karena Leo yang sudah memblokir jalannya. Dalam hati Luna terus menyumpah serapah laki-laki di depannya itu.
“Oke, gue bareng lo!” final Luna mendorong tubuh Leo agar pergi menjauh kemudian masuk kedalam mobil dan menutup pintunya dengan sedikit membanting. Leo yang masih berdiri di luar pun tersenyum penuh kemenangan.
“Belajar nurut sama suami lo Lun, jangan ngebantah mulu,” Leo berucap saat sudah duduk di balik kemudi.
Luna memutar bola matanya malas. “Kalau bukan lo yang akan jadi suami gue pasti gue baklan jadi istri yang manis, Le, tapi sayang karena lo orangnya jadi jangan salahkan sikap gue karena lo sendiri tahu kalau gue gak menginginkan pernikahan ini.”
“Sekarang lo boleh nolak gue Lun, tapi gue pastiin besok lo jatuh cinta sama gue.”
Luna memutar bola matanya malas. “Percaya diri sekali anda.”
Tak ada lagi obrolan hingga mereka sampai di kediaman Lyra-Pandu. Amel, Devi dan Dimas sudah lebih dulu sampai dan menunggu di teras rumah. Luna menyusul teman-temannya di ikuti Leo. Menekan bel dengan tidak sabaran sampai si pemilik rumah keluar dengan wajah kesal mereka.
“Kejutan!!” kelimanya berucap bersamaan,mengabaikan wajah kesal sang pemilik rumah.
“Ada tamu bukannya di suruh masuk malah di tinggal, dasar kalian tuan rumah gak sopan!” cibir Devi yang kemudian berjalan mengikuti Lyra dan Pandu, tidak perduli walau mereka tidak mempersilahkan.
“Gue malah pengen ngusir lo-lo pada ketimbang nyuruh masuk,” ucapan ketus sang nyonya rumah tidak membuat kelima orang itu tersinggung, apa lagi Leo yang sudah kebal dengan kepedasan sang sahabat.
“Kalian calon pengantin juga ngapain keluyuran bukannya diam di rumah?” Leo memutarkan bola matanya malas mendengar tanya dari Lyra
“Ya suka-suka kita dong.” Leo dan Luna menjawab secara bersamaan, keduanya menoleh melayangkan tatapan tajam kemudian sama-sama membuang muka seraya mendengus.
“Geli gue lihat kalian berdua, lusa udah mau kawin tapi masih aja pada musuhan,” Devi menggelengkan kepala, duduk di sofa panjang yang di kuti Luna, Amel dan Dimas, sedangkan Leo duduk di karpet berhadapan dengan sang calon istri dengan meja yang menjadi penghalang.
Meninggalkan perdebatan calon pengantin, obrolan di lanjut dengan basa-basi tuan rumah dengan ke dua orang yang memang baru kembali ikut bergabung, siapa lagi kalau bukan Amel dan Dimas. Masih dapat Leo lihat dari manik Lyra yang terlihat enggan menatap sahabat satunya yang pernah menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Leo cukup tahu bagaimana perasaan sahabat kecilnya.
“Kenapa gak bilang dulu kalau mau kesini?” Pandu yang sedari diam mulai membuka suara.
“Kenapa emang?” Devi bertanya mewakili semuanya.
“Bi Nani lagi gak ada, gak bisa nyiapin apa-apa. Kalian tahu sendiri Lyra lagi hamil gak mungkin kan, dia lakuin sendiri buat ngejamu kalian,” ucap si tuan rumah yang tangannya setia mengelus perut buncit Lyra. Membayangkan berada di posisi itu membuat Leo tanpa sadar mengulas senyum kecil. Jujur ia iri pada sahabatnya itu.
“Santai aja kali, kita kesini juga cuma mau main bukan minta makan.”
Ya memang ini tujuan mereka datang kesini walau jika di jamu pun tentu Leo dan yang lainnya tidak akan menolak.
Pandu mendelik. “Biasanya kan emang itu tujuan lo kesini,” hanya bisa tertawa Leo mengakui yang di kata kan sahabatnya itu.
Kembali meninggalkan perdebatan kecil antara dirinya dan Pandu, Leo menatap wanita di depannya yang sedikit menunduk saat mendengarkan pembicaraan tentang kehamilan dan juga rumah tangga Lyra-Pandu. Leo jelas melihat setiap perubahan raut wajah calon istrinya walau sesekali ikut terlibat dalam obrolan teman-temannya yang lain.
“Apa bisa nanti rumah tangga gue, sebahagia kalian?”
Pertanyaan yang Luna layangkan dengan suara lirih itu jelas membuat semua yang awalnya tengah mengobrolkan perasaan Pandu di kala istrinya hamil itu pun teralihkan termasuk Leo sendiri yang merasa sedikit terusik dengan ucapan calon istrinya.
“Lo masih gak percaya sama gue, Lun?”
“Apa yang harus gue percaya dari lo?”
Mendengar pertanyaan balik dari perempuan yang akan menjadi istrinya dalam waktu dua hari lagi itu membuat rahang Leo mengeras. Helaan napas berat Leo keluarkan, menatap iris mata Luna yang juga sedang menatapnya. Kini Leo tahu kecemasan Luna yang terus menolak menikah dengannya. Perempuan memang mudah takut dan cemas dengan hanya melihat bagaimana orang-orang di sekitarnya mampu mempengaruhi pikiran.
Dulu Leo juga sempat ragu memang, ragu pada dirinya sendiri yang terus mempertanyaan apa mungkin dirinya bisa menjadi suami yang baik untuk istrinya? Apa mungkin ia bisa untuk membahagiakan istrinya? Tidak membuat kecewa dan menyakiti istrinya nanti mengingat ia juga harus menikah karena perjodohan dan tanpa rasa apapun selain sahabat? Tapi Leo sadar, ia tidak akan pernah tahu jawabannya tanpa lebih dulu mencoba.
Pernikahan memang bukan untuk ajang coba-coba tapi Leo tahu disini ia harus membangun keyakinan dan berusaha untuk menjadi yang terbaik, membuktikan bahwa tidak semua laki-laki sama. Ia harus membuktikan bahwa dirinya layak untuk menjadi seorang suami.
“Gue tahu, gue bukan laki-laki baik seperti yang lo inginkan, tapi asal lo tahu gue bukan laki-laki berengsek yang lo takutkan. Pernikahan yang akan kita jalani memang dari sebuah perjodohan, tidak ada rasa cinta diantara kita,” Leo menghentikan sejenak katanya, menatap perempuan yang duduk di depannya dengan Meja yang menjadi pembatas, melihat reaksi Luna yang menatapnya dengan tatapan yang… entah lah tidak dapat Leo artikan
“Tapi lo harus tahu Lun, sejak gue menyetujui pernikahan kita, sejak itu pula gue mulai membuka hati gue untuk lo, belajar menerima lo dan berjanji pada diri gue sendiri bahwa gue akan berusaha semampu gue untuk gak mengecewakan lo.” Leo tentu serius mengatakan itu, ia akui, dirinya memang kalah karena sudah menyatakan perasaannya lebih dulu, tapi Leo tidak menyesal karena setidaknya dengan kejujurannya ini ia bisa meyakinkan Luna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
melia
tuhh lun kuping nya d buka dengerin apa kata calon suami kmu
2020-10-28
3
moemoe
klo serius bikin melting jg nih leo
2020-05-01
4
Andi Isriana
Luna dengerin tu ucapan si lele udah serius banget
2020-04-23
3