“Tongkat bisbol?” Alena bertanya sembari melihat tongkat bisbol yang baru saja diayunkan oleh Sadewa ke arah Pocong 3 dan Pocong 4. “Kenapa membawa tongkat bisbol kemari?? Apa kau berniat untuk bermain bisbol bersama dengan hantu-hantu di sini? Wahhh ... aku baru tahu hantu-hantu bisa diajak bermain bersama.”
“Ah ini ... “ Sadewa terkekeh melihat tongkat bisbol miliknya yang sekarang berada di genggamannya. “Kau mungkin tidak tahu, tapi ketika berjaga ... aku selalu membawa-bawa ini untuk berjaga-jaga ketika bertemu dengan keadaan seperti tadi.”
“Lalu kenapa waktu itu ... “
“Ahh saat itu, saat aku mengantar kalian, aku tidak membawa ini bukan?” Sadewa dengan cepat menduga pertanyaan yang akan keluar dari dalam mulut Alena dan melanjutkannya.
“Ya.” Alena menganggukkan kepalanya.
“Saat itu aku menyesal tidak membawa ini.” Sadewa melihat tongkat bisbol di tangannya lagi kali ini dengan tatapan menyesal terpancar di kedua matanya. “Sebagai penjaga makam ini atau durawapati, kami dibebaskan untuk memilih satu benda yang bisa kami gunakan sebagai senjata untuk melindungi diri ketika dihadapkan dengan situasi yang berbahaya. Tapi di antara semua durawapati, hanya akulah yang memilih benda ini sebagai senjata. Ayahku memilih pedang peninggalan kakekku sebagai senjatanya. Dan generasi-generasi sebelumnya juga memilih pedang atau keris peninggalan keluarga kami.” Sadewa terkekeh lagi melihat tongkat bisbol di tangannya.
Baik. Aku tahu hantu-hantu di pemakaman ini sedikit aneh. Mereka bahkan berbeda dengan kebanyakan hantu yang digambarkan dalam film-film horor. Tapi penjaga makam ini ... juga tidak jauh berbeda dengan mereka. Tongkat bisbol?? Oh ayolah ... tongkat itu mungkin berat dan menyakitkan jika mengenai manusia, tapi mereka hantu. Apa benda itu bisa melukai mereka?? Alena sedikit meremehkan tongkat bisbol di genggaman Sadewa.
“Kenapa kau memilih benda itu?” Alena mencoba bertanya. Alena merasa Sadewa punya alasan khusus memilih tongkat bisbol itu sebagai senjatanya dan bukan pedang dan keris yang sudah jelas terlihat tajam dan bisa menakuti lawannya.
“Ah ... ini adalah benda kebanggaanku. Dulu sewaktu sekolah dan kuliah, aku adalah kapten tim bisbol dan beberapa kali, timku memenangkan pertandingan. Jadi tongkat ini sudah menemaniku untuk waktu yang lama.”
Alena menatap tongkat bisbol itu masih dengan tatapan tidak percaya dan meragukan. Oke. Note. Benda itu memang benda kesayangannya, tapi ... apakah benda itu bisa dijadikan benda pelindung dari hantu-hantu itu? Pocong 3 dan Pocong 4 tadi lari ketakutan. Tapi bisa saja, mereka lari ketakutan karena melihat Sadewa dan bukan karena tongkat itu. Dari semua benda ... kenapa harus tongkat bisbol?
Sadewa menyadari tatapan meragukan dari Alena. “Kau tidak percaya benda ini bisa melindungiku bukan?”
Alena tersentak mendengar pertanyaan dari Sadewa dan sontak langsung memasang wajah bersalah karena pikiran meragukan yang muncul di wajah dan kedua matanya. “Sedikit. Aku tidak akan ragu, jika kau menggunakan tongkat bisbol itu untuk memukul manusia dan zombie. Tapi mereka hantu. Apakah tongkat itu bisa menyentuh mereka?”
“Akan aku buktikan padamu, Alena.”
Sadewa kemudian mengajak Alena berkeliling area pemakaman Durawa untuk menemukan hantu-hantu penghuni di sana. Dan dalam perjalanannya, Sadewa dan Alena bertemu dengan beberapa hantu. Hantu pertama adalah Kunti 3 dan Kunti 4 yang merupakan penghuni baru di pemakaman Durawa. Dua kuntilanak baru itu sedang duduk di atas ranting pohon di perbatasan area pemakaman Durawa dan menunggu tukang sate melewati jalanan itu. Dua kuntilanak itu berniat untuk menakuti tukang sate atau penjual makanan yang melewati jalanan di samping pemakaman karena jalanan itu adalah satu-satunya jalanan untuk bisa sampai di desa L.
“Apa yang akan kau lakukan dengan dua kuntilanak itu?” Alena bertanya dengan berbisik pada Sadewa dan bersembunyi di belakang Sadewa.
“Lihat saja.” Sadewa membalas jawaban Alena dan setelahnya, langsung mengejutkan dua kuntilanak yang sedang duduk di ranting pohon dengan berteriak. “Kalian berniat menakuti penjual makanan lagi bukan?”
Teriakan Sadewa itu benar-benar mengejutkan Kunti 3 dan Kunti 4. Keduanya langsung melompat turun dari ranting pohon di mana mereka berdua tadi duduk. Kunti 3 langsung berdiri di depan Sadewa dan memasang wajah bersalahnya.
“Maafkan saya, durawapati.”
Sementara Kunti 4, sepertinya lebih licik dari Kunti 1 dan berniat untuk melarikan diri. Sadewa langsung menancapkan tongkatnya ke tanah dan mengenai ujung baju dari Kunti 4 yang hendak melarikan diri.
“Ampun, durawapati!” Kunti 4 yang tidak bisa bergerak, langsung memohon ampun pada Sadewa dan Alena yang melihat hal ini hanya bisa bengong karena tidak percaya.
“Kau berbuat ulah lagi dan berniat untuk pergi begitu saja setelah tertangkap basah, Kunti 4?” Sadewa bicara dengan nada penuh wibawanya.
“Ampun, durawapati. Tolong lepaskan ujung pakaianku, bajuku ini hanya satu ini saja. Pakaian warna putih bulak ini, sudah robek-robek dan tidak lagi berwarna putih bersih. Jika pakaian ini robek, aku tidak akan jadi kuntilanak yang menakutkan lagi dan justru jadi kuntilanak yang seksi. Bagaimana jika para genderuwo yang jelek itu mengejarku karena melihat kakiku yang indah?? Aku tidak sudi jadi incaran mereka, durawapati!!”
Glek. Alena menelan ludahnya mendengar ucapan dari Kunti 4 karena tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Hiyaaaa .... Kuntilanak seksi??? Ekspektasinya kuntilanak satu ini, benar-benar .... Wah, dia bahkan jauh lebih buruk dari Kunti 1 dan Kunti 2 yang mengejar Sadewa dengan terang-terangan.
“Tapi ... “ Kunti 4 melanjutkan ucapannya lagi. Tapi menghentikannya ketika hanya satu kata yang keluar dari bibirnya yang hitam itu.
“Tapi apa?” Sadewa bertanya.
“Aku tidak akan keberatan jika durawapati yang mau melihat kakiku yang indah ini.”
Brak ... Alena mendengar suara genteng terjatuh. Tadinya ... Alena mengira suara itu memang berasal dari genteng rumah di dekat area pemakaman. Tapi Alena sadar bahwa pemakaman Durawa ini cukup jauh dari pemukiman penduduk desa K. Jadi Alena menoleh ke arah sumber suaa genteng itu dan menemukan dua Kuntilanak lain muncul dengan melayang dari atas, dengan kedua tangannya yang menghancurkan genteng yang dibawanya.
“Berani-beraninya kau menggoda durawapati milikku?” Kunti 1 turun sembari membuang genteng yang hancur, yang entah dari mana didapatkannya, Kunti 1 menatap ke arah Kunti 4 dengan matanya yang berwarna merah semerah darah.
“Ya. Berani-beraninya kau menggoda durawapati milik kami!’ Kunti 2 turun dari atas dan berdiri di samping Kunti 1.
“Kata siapa durawapati milik kalian? Durawapati masih belum memilih salah satu dari kita, jadi siapapun masih berhak untuk menggodanya dan membuat durawapati untuk jadi miliknya.” Kunti 4 membela dirinya dan apa yang diucapkan oleh Kunti 4 memang ada benarnya. Alena setuju dengan ucapan Kunti 4 dengan menganggukkan kepalanya.
“Apa kamu tidak tahu istilah senioritas?” Kunti 1 membalas masih dengan rasa tidak terima. “Akulah Kuntilanak tertua di pemakaman ini. Harusnya ... kamu bisa menghormatiku dan tidak bicara seperti itu, Kunti 4.”
“Tak ada istilah senioritas dalam cinta, Kunti 1.” Kunti 4 membalas. Dan sekali lagi ... Alena setuju dengan ucapan dari Kunti 4 yang memang benar adanya.
“Kau benar-benar .... “ Kunti 1 memasang wajah tidak terima, diikuti dengan Kunti 2 yang berada di belakangnya.
“Bagaimana kalau begini ... “ Tiba-tiba Pocong 3 dan Pocong 4 yang tadi mengganggu Alena muncul bersamaan dan membuat Alena kembali bersembunyi di belakang Sadewa. “Bagaimana kalau adakan pertandingan saja antara Kunti 1,Kunti 2, Kunti 4 dan ... “
Pocong 3 melihat ke arah Kunti 3 yang masih berdiri di depan Sadewa dengan wajah bersalah. Kunti 3 yang menyadari tatapan dari Pocong 3, langsung mengangkat wajahnya dan berkata. “Aku tidak ikut. Aku memang menyukai durawapati. Tapi hanya sebatas kagum saja.”
“Baiklah kalau begitu, pertandingan antara Kunti 1, Kunti 2 dan Kunti 4 saja. Bagaimana?” Pocong 3 bicara lagi.
“Apa gunanya melakukan hal itu?” Kunti 1 bertanya kepada Pocong 3.
“Pemenangnya punya hak untuk menentukan yang kalah untuk menggoda durawapti kita atau tidak. Lalu pemenangnya nanti akan berhadapan dengan perwakilan dari sundel bolong yang juga ingin menggoda durawapati. Bagaimana?”
Kunti 1, Kunti 2 dan Kunti 4 untuk sejenak terdiam. Tapi dalam hitungan kurang dari 60 detik, ketiganya kemudian menganggukkan kepalanya pertanda setuju dengan ide dari Pocong 3.
“Alena.” Sadewa berbisik kepada Alena yang berdiri di belakangnya.
“Ya?”
“Ayo pergi dari sini.”
“Bagaimana caranya?” Alena membalas.
Kunti 3 yang menyadari bisik-bisik antara Alena dan Sadewa, kemudian tersenyum ke arah Alena dan Sadewa. “Biar aku bantu, durawapati. Aku bisa mengalihkan mereka. Tapi setelah membantumu, tolong maafkan kesalahanku, durawapati.”
“Aku mengerti.” Sadewa setuju dan berkat bantuan dari Kunti 3 yang tiba-tiba menerbangkan rambut hitam kusutnya bak model, Alena bersama dengan Sadewa bisa lari dari situasi pertarungan tiga kuntilanak yang memperebutkan Sadewa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments