Rencana yang Alena katakan, disetujui oleh Gala dan Manda. Gala memang khawatir dengan keadaan nantinya, tapi melihat bagaimana keindahan desa K sepertinya mampu mengubah sedikit kekhawatiran Gala. Sementara itu Manda yang sangat-sangat menyukai horor merasa takjub dengan keindahan desa K. Dari mata air hangat yang berada di kaki gunung L hingga bagaimana pertanian yang melimpah di desa K, Manda benar-benar menikmati kegiatannya selama dua hari mengeksploitasi desa K. Manda bahkan sangat-sangat menikmati masakan khas yang disediakan oleh warga desa K.
“Kau tahu ... aku benar-benar jatuh cinta dengan desa ini.” Manda bicara dengan semangat setelah mengunyah makan siang pemberian warga desa K di rumah Ibu Ratih. Kebetulan saat siang hari, Ibu Ratih harus pergi ke sawah miliknya bersama dengan beberapa petani di desa K. “Makanan di sini enak dan desa ini benar-benar tenang sekali.”
“Kau yakin mencintai desa ini?” Gala bertanya setelah menelan makan siang berupa lalapan ayam goreng lengkap dengan sambal terasi dan sayuran rebus seperti kenikir dan bayam. “Jika aku meninggalkanmu di sini seorang diri, kau tidak akan marah, Manda?”
Buk. Manda meletakan piring di tangan kirinya dan langsung melayang pukulan kencang di bahu Gala. Pukulan itu cukup kencang hingga suaranya sedikit menggema di rumah Ibu Ratih.
“Kau tega meninggalkanku sendiri di sini huh?? Kau benar-benar jahat, Gala!!!” Manda mendengus kesal dan melanjutkan makannya. Menggigit paha ayam yang merupakan bagian favoritnya dengan kencang seolah sedang mengoyak daging Gala sebagai tanda kesalnya.
“Bukankah kau sendiri yang bilang jika kau mencintai desa ini??” Gala membalas lagi.
“Bisakah kalian makan dengan tenang??” Alena yang kesal dengan adu mulut Gala dan Manda, akhirnya angkat bicara dengan suara datarnya dan tanpa menatap keduanya. “Apakah makanan ini tidak enak hingga kalian masih sempat berdebat dan tidak menikmatinya dengan tenang?”
“Ini enak, benar-benar enak sekali.” Manda dan Gala menjawab dengan bersamaan.
Alena menggelengkan kepalanya melihat bagaimana respon Gala dan Manda secara bersamaan itu. “Aku tidak akan terkejut jika kalian nantinya mungkin akan memutuskan untuk menikah. Kalian mungkin terlihat seperti kucing dan tikus, tapi kalian benar-benar punya pikiran yang sama di waktu yang lain.”
Manda dan Gala terkejut mendengar ucapan dari Alena. Keduanya saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya menatap Alena. Manda kemudian menghentikan makannya dan melihat ke arah Alena dengan wajah penasaran. “Jika akhirnya kami benar-benar jadian, apakah kau akan marah, Alena?”
Alena melirik ke arah Manda dan Gala secara bergantian sebelum akhirnya membuat senyuman kecil di sudut bibirnya. “Kenapa aku harus marah?? Dari pandanganku, kalian cocok satu sama lain. Aku akan marah jika kalian yang sudah jadian justru membuangku.”
Gala meletakkan piringnya yang telah kosong dan bersih dari makanan. Gala bangkit dari duduknya untuk mencuci tangannya di belakang. Tapi sebelum itu, Gala menghentikan langkah kakinya dan bicara kepada Alena. “Kau teman kami, Alena. Kita bertiga adalah tim. Bahkan jika aku dan Manda nantinya memilih untuk menjadi pasangan, kami berdua tidak akan pernah berpikir untuk membuangmu, Alena. Kita rekan, kita teman dan kita juga keluarga.”
Gala melangkahkan kakinya ke belakang dan Manda menganggukkan kepalanya setuju dengan ucapan Gala. “Kami tidak akan pernah melakukan hal itu, Alena. Jangan pernah berpikir seperti itu lagi. Rasanya sedih membayangkan ucapanmu itu. Kita bertiga sudah bersama selama dua tahun ini dan membayangkan kita tidak bertiga lagi, rasanya akan sangat aneh. Jangan katakan itu lagi, berjanjilah padaku, Alena.”
Alena menganggukkan kepalanya sembari tertawa kecil. “Aku hanya bercanda, Manda. Kenapa kalian menganggap serius ucapanku itu??”
“Jangan katakan itu lagi, Alena!” Kali ini, Manda bicara dengan nada serius dan menatap Alena dengan tatapan tajam. “Kita bertiga akan tetap bersama. Kita rekan, tim dan keluarga. Itu tidak akan berubah!”
Alena menganggukkan kepalanya. “Aku mengerti, Manda. Aku tidak akan pernah mengatakan hal itu lagi, aku janji.”
Malam harinya.
Setelah Surya mengabari bahwa keadaan durawapati telah membaik dan mengatakan bahwa durawapati besok akan bisa menemani Alena bersama dengan Gala dan Manda untuk masuk ke dalam area pemakaman Durawa, Alena bersama dengan Gala dan Manda kini harus membuat pilihan.
“Jadi bagaimana?” Alena bertanya kepada Manda dan Gala. “Apa kita besok akan masuk ke dalam area pemakaman Durawa dan melanjutkan tujuan kedatangan kita di sini?”
“Aku setuju.” Manda menjawab dengan cepat dan tanpa berpikir dua kali. Alena sudah menduga jawaban dari Manda ini karena Manda sangat penasaran dengan pemakaman Durawa itu. Ditambah lagi dengan keadaan desa ini yang sebenarnya benar-benar indah, tapi kini kehilangan sebagian besar penduduknya karena ulah beberapa orang asing yang melanggar aturan ketika masuk ke dalam pemakaman Durawa. Hal itu membuat Manda merasa sedikit iba dengan keadaan desa K.
“Bagaimana denganmu, Gala?” Alena bertanya lagi.
Gala menatap Alena dan justru berbalik bertanya kepada Alena. “Bagaimana denganmu, Alena? Apa kau yakin akan tetap melakukan rekaman di pemakaman Durawa??”
“Ya. Jawabanku tetap sama.” Alena menjawab dengan penuh keyakinan. “Screamnight sekarang berada di titik yang berbahaya dan untuk menyelamatkan screamnight, kita harus mengambil rekaman di desa ini. Terlebih lagi, kita bisa menyelamatkan keadaan desa ini jika kita tidak menemukan apapun di area pemakaman nantinya. Dengan begitu ... sekali melangkah kita bisa menjangkau banyak hal.”
Huft. Gala menghela nafas sebelum menatap Alena. “Jika kalian berdua masih tetap yakin dengan keputusan kalian itu, aku tidak punya pilihan lain.”
“Yessss.” Manda berteriak senang mendengar jawaban yang Gala berikan. “Akhirnya besok ... kita bisa melihat bagaimana pemakaman Durawa itu!!!”
Malam itu baik Alena, Manda dan Gala tidak bisa tertidur dengan nyenyak. Gala hanya berbaring sembari berguling beberapa kali di atas ranjang tua di rumah Pak Rahmat. Sementara Manda dan Alena yang berada di kamar yang sama dan ranjang yang sama, mengusik satu sama lain dan kemudian akhirnya saling bicara satu sama lain.
“Kau belum tidur, Manda?” Alena bertanya untuk pertama kali.
“Ehm, belum. Kau juga?”
“Ehm, aku juga.” Alena menjawab. “Kenapa kau tidak bisa tidur?”
“Aku membayangkan bagaimana durawapati itu?? Apakah dia berpenampilan dengan janggut yang tebal dan panjang? Atau dengan rambut gondrong dengan banyak rambutnya yang mulai memutih ditambah lagi dengan rambutnya yang kusut karena jarang disisir dan dicuci? Atau mungkin dia berjalan dengan alat bantu tongkat dan tubuhnya yang sedikit bungkuk?” Manda menjelaskan apa yang saat ini ada di imajinasinya.
“Hehehe.” Alena tertawa kecil dengan bayangan imajinasi Manda yang semuanya terkesan bahwa durawapati adalah pria tua yang memiliki usia di atas 60-an. “Semua gambaran yang kamu buat adalah durawapati itu adalah pria yang sudah cukup tua, Manda.”
“Bagaimana denganmu, Alena? Bagaimana gambaranmu mengenai durawapati yang membuat kita menunggu selama beberapa hari ini?” Manda bertanya penasaran.
“Ehm ... mungkin tidak jauh dengan wajah gambaran Pak Rahmat. Kau lihat Pak Rahmat masih berdiri dengan tegap, memiliki wajah yang lembut dan penuh kharisma serta bicara dengan lembut??”
“Aku melihatnya.” Manda menganggukkan kepalanya setuju dengan gambaran Pak Rahmat. “Tapi kenapa kamu berpikir bahwa durawapati itu seperti Pak Rahmat?”
“Karena dua hari ini kita sudah berkeliling di desa ini, aku melihat bahwa kebanyakan penduduk di desa ini meski berusia sudah cukup tua, mereka masih berdiri dengan tegap. Hanya beberapa saja yang memiliki postur tubuh yang bungkuk. Jadi ... aku duga, durawapati itu tidak jauh dari gambaran kebanyakan penduduk di desa ini.”
“Hahahaha, kau benar juga.” Manda tertawa kecil mendengar penjelasan Alena dan mengingat bagaimana gambaran konyol yang ada di dalam imajinasinya. Manda kemudian memikirkan sesuatu di dalam benaknya. “Bagaimana kalau kita membuat taruhan kecil??”
“Taruhan?” Alena menolehkan kepalanya melihat Manda yang berbaring di samping kanannya. “Taruhan apa?”
Masih dengan tawa kecilnya, Manda menjawab. “Taruhan bagaimana rupa durawapati desa ini. Yang menang bisa meminta yang kalah untuk melakukan apapun yang diminta oleh pemenangnya. Bagaimana?”
“Lalu bagaimana jika tidak ada yang benar?” Alena berbalik bertanya dengan senyum kecil di wajahnya pertanda Alena suka dengan taruhan kecil ini.
“Jawaban yang paling mendekati yang akan jadi pemenangnya.”
Alena dan Manda kemudian sepakat satu sama lain dan tidak lama kemudian keduanya jatuh tertidur dengan harapan bahwa mereka bisa memenangkan taruhan kecil ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments