"Eh?! Jadi hal seperti itu terjadi padamu?!" tanya Alex panik setelah mendengar cerita dari Lucius.
"Begitulah. Aku harus berusaha keras untuk bertahan hidup disana." balas Lucius sambil merapikan kembali lengan bajunya.
Semua orang di kelas F ini melihat sebagian bekas luka yang ada di tubuh Lucius. Walaupun, semua itu bukan karena perbuatan Goblin. Melainkan perbuatan gurunya sendiri.
"Lucius.... Kasihan sekali. Ini untukmu, buku favorit ku." balas Emily sambil memberikan sebuah buku kecil. Tangan kanannya begitu kecil dan putih, karena jarang sekali beraktivitas di luar ruangan. Apalagi bergerak.
Hanya saja....
"Buahahaha! Lihat itu, Lucius! Bahkan Emily memintamu untuk belajar membuat boneka karena kau begitu lemah!" teriak Max sambil tertawa keras.
Itu benar. Karena buku yang diberikan oleh Emily, adalah sebuah buku mengenai cara membuat boneka yang cantik.
"Aah.... Terimakasih, tapi aku cukup menerima simpatimu saja."
"Kau serius? Tapi ini buku yang bagus." balas Emily dengan wajahnya yang begitu imut. Bukannya nampak seperti remaja berumur 16 tahun, wajah Emily masih nampak seperti anak-anak berumur 13 tahunan.
Oliver menyela pembicaraan mereka dengan topik yang berbeda.
"Meski begitu, Lucius. Kau tak perlu lagi khawatir karena Edward saat ini sedang dipenjara." ucapnya santai.
"Eh?"
Tentu saja Lucius terkejut atas berita itu. Sosok yang selalu membully dirinya, saat ini tengah dipenjara?
"Kenapa? Bagaimana bisa?" tanya Lucius kebingungan.
Emily, dengan wajah polosnya yang masih sibuk membaca buku mengenai cara memperbaiki boneka, menunjuk ke arah depan. Jari telunjuknya yang begitu mungil menunjuk ke arah sosok Sophia duduk.
"Hah.... Jangan bahas soal itu lagi, Oliver. Bagaimanapun, itu adalah pilihan Sophia sendiri." balas Alex sambil menggelengkan kepalanya.
Lucius hanya bisa menatap sosok Sophia dalam diam. Mungkin, di kelasnya yang sebelumnya, Sophia adalah satu-satunya sosok yang benar-benar berani berdiri untuk melindunginya.
Bahkan melawan sosok Edward Goldencrest itu sekalipun, Ia sama sekali tak ketakutan.
"Sophia, aku...."
Sebelum sempat menyelesaikan perkataannya, sosok pria tua mulai masuk ke kelas ini. Ia nampak berjalan sedikit membungkuk dan membawa beberapa buku di tangan kanannya.
"Selamat siang, murid-muridku. Mari kita lanjutkan pelajarannya." ucap pria tua itu dengan suara yang cukup lirih dan terpatah-patah.
"Ayolah, Pak Anderson. Ini masih pagi." balas Max dengan sikap santainya. Ia mengangkat kedua kakinya di atas meja sambil bersandar di kursi dengan kedua lengannya.
"Aaaah.... Iya kah? Ku pikir sudah sore...." balas pria tua itu.
Lucius akhirnya menyadari, bahwa salah satu fasilitas yang dimaksudkan dalam akademi ini, juga termasuk pengajar.
Dan di kelas yang terendah yaitu kelas F, tentu saja. Akan memperoleh pengajar biasa.
"Meskipun begitu, dia adalah pengajar yang baik. Jadi lumayan untuk kita yang berada di kelas terbawah ini." bisik Alex ke arah Lucius.
"Begitu kah?"
Dalam hati, tentu saja Lucius sedikit kurang puas. Ia berpikir bisa memperoleh pendidikan yang setidaknya sama seperti dulu ketika di kelas E.
Tapi ini? Ini bahkan jauh lebih buruk dari bayangannya. Lucius ragu, apakah dengan pengajar seperti ini Ia bisa terus berkembang menjadi lebih kuat.
Terlebih lagi mengingat permintaan terakhir dari Carmilla....
'Aaah, bukankah kau pikir lebih baik kita berlatih di goa itu dibanding diajar oleh kakek-kakek pikun ini?' ucap Carmilla dalam pikiran Lucius.
Memang ada benarnya. Dibanding menyia-nyiakan waktu di kelas seperti ini, lebih baik....
"Aaah, uuh.... Dimana kapurnya ya? Kurasa tadi ada di sini?"
"Pak Anderson, kapurnya ada di tangan kiri Bapak." balas Alex dengan ramah.
"Hahaha.... Benar juga. Kenapa aku bisa lupa? Eeh, jadi sekarang kita akan belajar mengenai.... Apa?" ucap pengajar tua itu kebingungan.
Rambutnya telah memutih. Begitu pula dengan kulitnya yang penuh keriput. Tak salah lagi, pengajar ini benar-benar sudah jauh melewatkan masa primanya.
"Buku Sihir Elemental, halaman 57, bagian formasi sihir elemen air tingkat rendah." ucap Sophia dengan cukup tegas.
"Benar.... Terimakasih, Sophia."
Dalam hati Lucius, Ia terus bertanya-tanya. Apakah memang ada artinya belajar pada kakek-kakek tua ini?
Tepat saat Lucius baru saja meragukannya....
"Formasi sihir air. Seperti formasi sihir pada umumnya, dibedakan menjadi 3 tingkat. Yaitu rendah, menengah, dan tinggi." ucap kakek-kakek tua itu sambil dengan mudahnya membentuk ketiga formasi sihir itu secara berurutan di ujung jari tangan kanannya.
Dari segitiga kebiruan kecil untuk sihir air tingkat rendah, hingga segienam biru tua dengan pola yang rumit untuk sihir air tingkat tinggi.
Semua itu terbentuk dalam sekejap di ujung jarinya. Membuat Lucius yang menyadarinya segera terkejut.
'Eeeh, kakek-kakek tua itu, menarik juga. Cukup jarang aku melihat manusia yang bisa memvisualisasikan formasi sihir secepat dirinya.' ucap Carmilla setelah melihat fenomena itu.
Dan apa yang dikatakan oleh Carmilla sama sekali tidak berlebihan. Bahkan Lucius yang telah belajar giat dibawah didikan Carmilla sekalipun, masih membutuhkan katalis untuk sihir tingkat menengah.
Sebuah katalis berupa kapur atau serbuk kristal untuk menggambar formasi sihir itu. Karena jika tidak menggunakan katalis, memvisualisasikannya saja akan memakan waktu beberapa menit.
Jika di tempat yang aman, itu bukanlah masalah. Tapi bagaimana jika di tengah pertarungan? Tentu menggambarnya secara langsung jauh lebih cepat.
Sedangkan kakek-kakek pikun ini....
"Sihir air sendiri termasuk elemen sihir yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Contohnya, di tempat yang agak lembab seperti kelas ini, akan mudah untuk menggunakannya." ucap pengajar tua bernama Anderson itu sambil menembakkan semburan air ke samping kelas.
Semburan air itu memang tak kuat, tapi itu menjadi poin penting dalam kelasnya hari ini.
"Sedangkan di tempat yang cukup kering, akan jauh lebih sulit." lanjutnya sambil menyemburkan sihir api ke arah yang sama seperti sebelumnya. Mengeringkan lingkungan di sekitarnya dari partikel-partikel air.
"Meski sulit dilihat, sihir airku sedikit melambat di tempat yang kering. Juga sedikit melemah." lanjut Anderson yang kini hanya mampu mengeluarkan semburan air yang kecil. Bahkan, aktivasi sihirnya juga sedikit lebih lama.
Lucius yang melihat semua ini segera tersenyum. Menyadari betapa luasnya dunia ini.
"Aaah, jadi begitu? Perbedaannya benar-benar kecil, tapi di situasi tertentu...." bisik Lucius pada dirinya sendiri. Ia mulai merasa dapat mempelajari banyak hal baru dari kakek-kakek pikun ini.
Hanya saja....
Selama pendidikan di kelas ini, Carmilla hanya terdiam. Tanpa sepatah kata pun yang keluar darinya setelah itu.
Selama pelatihannya di goa, Carmilla sama sekali tak mengajarkan mengenai berbagai teori seperti ini.
Fokus dari ajaran Carmilla saat itu hanya menjadikan dirinya kuat secara kemampuan fisik dan juga secara kemampuan sihir. Tak ada yang lain.
Apapun akan dilakukan Carmilla untuk menempuh dua tujuan itu. Termasuk membakar tubuh Lucius, ataupun memaksanya terluka parah.
Buktinya, Lucius saat ini benar-benar merasakan efek dari cincin sihir yang diberikan oleh Carmilla setelah melalui pelatihan neraka itu.
Begitu pula dengan tubuhnya yang sangat terlatih, mampu untuk pertarungan tangan kosong ketika kehabisan Mana, atau di situasi yang memaksanya bertarung tanpa sihir.
Tapi kenapa?
Kenapa tak pernah mengajarkan mengenai hal seperti ini padanya?
Mengenyahkan pemikiran tak berguna itu dari kepalanya, Lucius kembali fokus pada kelasnya. Menyerap sebanyak mungkin pengetahuan dari Anderson. Pengajar tua yang memiliki segudang pengalaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Ade Putra
kukira cupu ternyata suhu
2023-11-15
0
John Singgih
wah bisa2 salah kasih nilai dong kalau kayak gini
2023-08-23
0
Ogeg iraeinn
sialan. wkwkwk
2023-05-22
1