Bersandar di balik dinding kastil yang telah roboh ini, Lucius memandang langit-langit goa yang disinari cahaya kristal itu sambil bertanya.
"Jadi.... Siapa kau? Dan apa sebenarnya dirimu? Kenapa kau muncul menggantikan serigala yang harusnya ku panggil?" tanya Lucius penasaran pada dirinya sendiri.
Dalam pikirannya, terdengar balasan dengan suara yang sama merdunya seperti apa yang sebelumnya didengarnya.
'Carmilla Bloodthorne, itu namaku. Singkatnya, iblis. Anggap saja jiwaku terjebak di dalam kalung itu, jadi wajar saja aku muncul karena kau menggunakannya.'
"Iblis.... Selain dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak, aku tak pernah mendengar bahwa ras iblis benar-benar ada."
Balasan Lucius sedikit membuat Carmilla kebingungan.
'Kau tak pernah mendengar ras iblis sebelumnya? Kau yakin?'
Sambil memandangi tangan dan kakinya yang sedikit demi sedikit beregenerasi, Lucius pun membalas.
"Ya, aku sangat yakin. Tak pernah disebutkan mengenai ras iblis atau apapun itu di akademi sekalipun."
'Ngomong-ngomong, tahun berapa ini?'
"1407, kalender Naga."
'Kalender naga? Apa maksudnya dengan itu?'
"Maksudnya adalah 1407 tahun sejak bencana terbesar di dunia, yaitu terbunuhnya naga kuno Ashenflare."
Pada saat itu, Lucius sama sekali tak menduga jawaban yang akan didengarnya dari sosok yang mengaku sebagai iblis itu.
'Aaah, kadal kuning dengan ekor cacat itu?'
"Eh?"
Ashenflare, digambarkan sebagai pembawa malapetaka dan kehancuran dunia. Dengan sisik keemasan yang begitu keras, serta ekor yang terbelah dua di ujungnya, membuat siapapun yang melihat sosoknya bertekuk lutut.
Kekuatan dan daya hancurnya benar-benar melampaui batasan wajar dari manusia, bahkan bagi ras dengan sihir tinggi seperti Elf sekalipun.
Mengetahui hal itu....
"Kadal kuning?" tanya Lucius sekali lagi.
'Ya, itu benar. Dia adalah hewan yang dianggap suci pada zamanku, dimana banyak iblis yang memuja dan memberinya sesembahan.
Meskipun pada kenyataannya, dia hanyalah kadal yang lemah. Tapi tak ku sangka dia menyebabkan bencana? Hahaha.... Apa-apaan itu?' balas Carmilla sambil tertawa ringan.
Seakan-akan apa yang baru saja dibicarakannya memang adalah hal yang lucu.
Tapi bagaimanapun, Carmilla bisa mengetahui dengan cukup akurat ciri fisik Ashenflare. Dengan kata lain....
"Ka-kau pernah melihatnya? Naga mengerikan itu?"
'Aku bahkan pernah membelainya. Benar juga.... Saat itu dia mungkin hanya seukuran rumah kecil.'
Balasan Carmilla semakin membuat Lucius bertanya-tanya. Tapi untuk saat ini, Lucius memilih untuk diam. Tak menanyakan lebih lanjut atas apa yang sebenarnya ingin diketahuinya.
Bagaimanapun, Carmilla benar-benar telah menyembuhkan kembali tubuh Lucius yang terluka parah itu.
Beberapa jam berlalu....
Akhirnya tubuh Lucius pulih sepenuhnya. Bersamaan dengan itu, kristal Mana yang terdapat di kalung sebelumnya telah mengering sepenuhnya. Meninggalkan hanya kaca bening yang kosong.
'Kalau begitu, sekarang hanya perlu keluar dari sini kan?' tanya Carmilla dalam pikiran Lucius.
"Yah, tapi sebelum itu.... Ada seseorang yang harus ku selamatkan. Dia adalah alasan aku bisa berjalan sampai kesini."
'Tunjukkan arahnya.'
"Hmm, tapi masalahnya...." balas Lucius ragu sambil menunjuk ke arah sungai di luar kota ini.
'Aku hanya perlu mengikuti sungai ini kan? Serahkan padaku.'
Lucius sama sekali tak menduga. Bahwa kata 'serahkan padaku' benar-benar memiliki arti yang sebenarnya.
Saat ini, tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Bahkan Lucius sama sekali tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri.
'Eeeh?! Nona Carmilla?! Apa yang sedang terjadi?! Kenapa tubuhku bergerak sendiri?!' tanya Lucius panik.
Kali ini suara Lucius sama sekali tak keluar dari bibirnya. Seakan-akan dirinya bertukar posisi sepenuhnya dengan iblis itu.
Dengan senyuman, Carmilla yang menggunakan tubuh Lucius pun membalas.
"Tenang saja, aku hanya meminjamnya sebentar. Kau pikir sudah berapa lama aku tak bisa bergerak sebebas ini?" balasnya sambil tertawa ringan.
Tak banyak perubahan pada tubuh Lucius. Kemampuan fisik dan sihirnya sama sekali tak berubah.
Hanya saja, sorot matanya sedikit berbeda dengan adanya semburat tipis warna kemerahan di bola matanya.
Dengan cepat, Carmilla berlari menyusuri sepanjang sungai ini menggunakan tubuh Lucius.
Sesekali dirinya terpaksa memanjat untuk melewati medan yang terlalu sulit, termasuk air terjun yang sebelumnya menghilangkan kesadaran Lucius.
Gerakan yang dibuat oleh Carmilla begitu indah dan efisien. Bahkan Lucius sendiri tak sanggup percaya bahwa ini adalah tubuhnya, yang hanya dikendalikan oleh orang yang berbeda.
'Apakah aku memang sekuat ini?' tanya Lucius dalam hatinya sendiri.
Hanya saja....
Baru sekitar 10 menit saja....
"Hah.... Hah.... Hah.... Sialan, aku sudah kehabisan tenaga? Tubuh macam apa ini? Kenapa lemah sekali?! Hah?!" tanya Carmilla kesal sambil berusaha keras untuk mengatur nafasnya.
'Ma-maaf.'
Hanya satu kata itulah yang mampu dikeluarkan oleh Lucius, karena pada kenyataannya tubuhnya benar-benar sangat lemah.
...........
'Krettakk! Kreettakk! Kreettakk!'
Suara langkah kaki barisan prajurit kota terdengar menggema di tengah goa yang sempit ini. Mereka semua mengenakan perlengkapan zirah besi ringan yang lengkap. Termasuk senjata yang terasah tajam.
Sebanyak 20 prajurit kota dikerahkan untuk misi pencarian ini.
Dua orang prajurit nampak perjalan di samping sambil membawa sebuah obor api. Menerangi goa yang gelap ini.
Di bagian depan, sang kapten nampak berjalan bersama dengan seorang pelajar berambut keemasan.
"Lapor, kapten. Barusan telah kami pastikan, 27 ekor Goblin yang menyerang kita telah dibereskan. Tak ada satu ekor pun yang hidup."
"Bagus, tetap siaga jika ada serangan mendadak seperti barusan." balas sang kapten itu.
"Siap laksanakan!"
Bagi prajurit terlatih dengan perlengkapan yang memadai, melawan Goblin sama halnya seperti melawan anak-anak dengan senjata mainan.
Setelah membersihkan darah yang mengotori zirah besinya, sang kapten pun bertanya pada pemuda yang berjalan di sebelahnya.
"Jadi, kalian bermain-main di sini lalu tiba-tiba Goblin datang menyerbu? Setelah berusaha melawan dan hampir kalah, kalian sadar salah satu teman kalian menghilang?"
"Itu benar, teman kami Lucius menghilang saat pertarungan dengan 8 ekor Goblin itu." balas pelajar yang tak lain adalah Edward Goldencrest.
Wajah kapten prajurit itu nampak mengeras. Ia menopang dagunya dengan tangan kirinya sembari berfikir.
"Hmm, ini buruk. Katakan, apakah temanmu laki-laki atau perempuan?" tanya kapten itu sekali lagi sambil sedikit melirik ke arah Edward.
"Laki-laki. Seharusnya dia baik-baik saja kan? Lagipula Goblin biasanya menargetkan perempuan untuk...."
"Justru sebaliknya." balas kapten itu memotong perkataan Edward.
"Eh?"
Wajah Edward terlihat kebingungan. Dari sekian banyak informasi yang telah dipelajarinya, Ia tahu bahwa Goblin sering menargetkan perempuan untuk dijadikan mainan mereka.
Sesekali, perempuan yang mereka culik juga biasa dijadikan alat untuk menambah jumlah mereka.
Setidaknya itulah yang diketahuinya. Tapi ini?
"Perempuan mungkin akan sangat tersiksa oleh perlakuan Goblin, itu pasti. Tapi setidaknya, mereka akan menjaga perempuan itu tetap hidup. Sedangkan jika laki-laki...."
Kapten prajurit itu berhenti berbicara sejenak, seakan-akan sedang memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan pada pemuda di sebelahnya ini.
"Singkatnya, mereka akan dimakan." lanjutnya.
"Apa?! Di-dimakan?! Ja-jadi temanku...."
"Maaf mengatakannya tapi, peluang besarnya dia sudah mati."
Kalimat balasan yang cukup dingin itu menusuk tepat di hati Edward. Memang benar bahwa dia membenci Lucius karena Ia berasal dari golongan bangsawan terendah.
Tapi hanya itu saja.
Edward hanya ingin dirinya sedikit lebih dihormati karena memiliki gelar yang lebih tinggi.
Mengetahui bahwa tindakannya membuat seseorang kehilangan nyawanya....
'Lupakan soal hukuman, jika Lucius benar-benar mati karena perbuatanku....'
Saat Edward masih memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang terjadi padanya soal kejadian ini, beberapa orang prajurit nampak kembali dari salah satu lorong goa.
"Kapten! Kami menemukan seseorang!" teriaknya.
Tanpa ragu, semuanya segera berlari ke arah yang dimaksudkan.
Mereka menemukan sebuah goa besar dibalik pintu kayu tua, dimana dalam goa itu tercium bau yang sangat menyengat.
Bau darah dan kotoran memenuhi goa yang seperti ruangan sederhana ini. Di beberapa sisi, terlihat rak kayu yang dipenuhi berbagai peralatan besi dan kayu sederhana.
Sedangkan di sisi lain, cahaya dari obor api memperlihatkan puluhan ranjang kayu dan kain yang sederhana yang cukup berantakan.
"Kapten! Disini!" teriak salah seorang prajurit.
Dengan cepat, kapten pasukan itu mulai mendekat ke arah wanita yang hanya terbalut oleh selembar pakaian saja. Tubuhnya terlihat begitu lemah dengan banyaknya luka yang dideritanya.
"Nona, tenang saja. Kami akan segera menyelamatkanmu. Apakah kau masih ingat namamu?" ucap kapten itu.
"Aeryl...." balasnya lemas.
Edward di sisi lain, tatapan matanya hanya terfokus pada satu hal saja. Yaitu pakaian yang dikenakan oleh wanita itu, yang tak lain adalah seragam akademi tempatnya belajar.
"Syukurlah.... Terimakasih, Dewi.... Jadi bocah itu berhasil keluar dan memanggil kalian kan?" ucap wanita itu sambil menangis tersedu-sedu.
"Bocah? Apakah ada bocah yang seumuran dengannya di sini?" tanya Kapten itu.
"Yah, dia berhasil kabur dan memberikanku pakaian ini. Ah, benar juga, bukankah seragam ini sama dengan miliknya? Dia juga sudah selamat kan?" tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah Edward.
'Deg! Deg!!'
Jantung Edward berdegup kencang setelah mendengar perkataan wanita itu.
Bagaimana tidak?
"Maafkan kami, Nona. Tapi kami telah menyusuri hampir keseluruhan goa ini dan sama sekali tak bertemu siapapun meskipun banyak menemukan jejak darah.
Dan jujur saja, kami juga mencari bocah yang seumuran dengan anak ini." balas kapten itu sambil menepuk pundak Edward dengan ringan.
"Tapi.... Tapi dia berhasil kabur! A-aku sendiri yang membantunya kabur! Dia memiliki rambut hitam dan mata coklat gelap! Hanya saja...."
Wanita itu seakan tak sanggup untuk menyelesaikan kata-katanya.
"Hanya saja?" tanya kapten penasaran.
"Tangan kirinya.... Telah.... Dimakan.... Sedangkan kaki kanannya...."
Mengingat sosok bocah yang bersamanya dalam neraka ini, wanita itu tak lagi sanggup menahan tangisannya yang semakin menjadi-jadi.
Dengan berat hati, sang kapten akhirnya paham atas situasi ini.
"Nona, maaf. Tapi mungkin bocah itu tak selamat. Karena saat kami berjalan kemari, banyak sekali Goblin yang menanti untuk menyergap, jadi...."
'Berakhir sudah....' pikir Edward dalam hatinya.
Setelah mendengar dan melihat semua itu, Edward juga sudah yakin. Bahwa peluang besarnya, Lucius terbunuh oleh kawanan Goblin selagi berusaha untuk kabur dengan tubuh terluka parah seperti itu.
'Karena diriku.... Lucius.... Benar-benar mati?'
Pada akhirnya, tim pencarian itu pun kembali dari goa hanya dengan wanita bernama Aeryl itu saja. Dan setibanya di kota, sosok Lucius masih dinyatakan hilang.
Meski begitu, semua orang yang ikut serta dalam pencarian itu tahu. Termasuk juga Edward. Bahwa Lucius, sebenarnya telah mati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
John Singgih
ada yang menyesal karena MC dianggap telah tiada
2023-07-13
0
RyuCandra7
bjieer kadal kuning, gw kira merah karena namanya mengandung unsur api
2023-05-22
1
Raylanvas
Penokohan Edward cukup menarik ya. Dia bully tapi masih memikirkan korban bullynya.
2023-04-11
3