Setelah puas menyaksikan rumah yang ditawarkan, setelah selesai menyaksikan rumah mewah itu, Podin bersama Pak Mandor, dan juga laki-laki pegawai dari pemasaran itu langsung menuju ke gedung pemasaran. Tentu selanjutnya akan berembuk dengan pegawai pemasaran yang ada di perumahan itu, terkait dengan harga rumah itu.
"Bagaimana, Din ...? Kira-kira setuju apa tidak ...?" tanya Pak Mandor.
"Cocok, Pak .... Tapi, harganya tolong ditawar ya, Pak ...." sahut Podin yang minta tolong dibantu menawar harga rumah yang oleh pegawai pemasaran itu dikatakan seharga satu setengah milyar.
"Iya, Din ...." sahut Pak Mandor.
"Mari, Pak .... Kita berembug ke kantor pemasaran, biar nanti Bapak-bapak bisa membahasnya dengan Mbak Hanik ...." kata laki-laki pegawai pemasaran yang sudah mengantarkan melihat rumah itu.
Pak Mandor bersama Podin langsung naik motor berboncengan. Deminikan juga dengan pegawai pemasaran itu, yang naik motor, berjalan beriringan menuju ke kantor pemasaran. Tentu mereka akan menanyakan harga yang sesungguhnya, yang bisa ditawar, dan akan dilepas sampai harga terendah berapa.
Setelah sampai di kantor pemasaran, Pak Mandor langsung membahas harganya dengan perempuan cantik pegawai pemasaran itu, yang oleh temannya disebut namanya, Mbak Hanik.
"Tolong Mbaj Hanik ..., kami diberikan harga yang terbaik. Setidaknya dari harga penawaran itu masih bisa ditawar dan diturunkan lagi ...." begitu kata Pak Mandor pada perempuan pegawai pemasaran tersebut.
"Sebentar ya, Pak .... Saya akan menghubungi pemiliknya, untuk meminta harga net yang akan menjadi kesepakatan." kata Mbak Hanik, pegawai pemasaran itu.
Lantas perempuan itu mengangkat telepon, menghubungi pemilik rumah. Yang pasti akan meminta harga jadi, dan tentu menyampaikan kalau rumah ini sudah ada yang berniat akan membeli. Pastinyam nanti pemilik itu juga akan datang ke perumahan, untuk penandatangan akta jual beli. Sebagai bukti legalitas kepemilikan rumah.
Setelah bicara dengan pemilik rumah, lantas Mbak Hanik menyampaikan kepada Pak Mandor dan Podin, "Pak ..., ini dari pemiliknya hanya mau turun seratus juta .... Jadi harga net rumah itu satu koma empat milyar." kata pegawai pemasaran itu.
"Harga satu koma empat M ..., bagaimana, Din ...?" kata Pak Mandor melanjutkan ucapan pegawai pemasaran itu.
"Ya, Pak .... Saya sih, setuju-setuju saja ...." sahut Podin.
Akhirnya, sudah terjadi kesepakatan, Podin akan membeli rumah itu, dan tentu akan langsung membayarnya. Tetapi laki-laki lugu itu harus kembali meminta bantuan kepada Pak mandor, karena Podin tidak mungkin membawa uang sebanyak itu, ditenteng dengan jalan kaki. Oleh sebab itulah, ia ingin Pak Mandor membantu untuk mengantarkan membawa uang yang akan digunakan untuk membayar rumah itu.
"Pak Mandor ..., saya minta tolong lagi, Pak ...." begitu kata Podin pada Pak Mandor.
"Iya, Din .... Ada apa?" tanya Pak Mandor.
"Begini, Pak .... ini kan uangnya sangat banyak, saya kan tidak mungkin jalan kaki membawa uang itu .... Takut kalau nanti dirampok orang di jalan ...." kata Podin pada Pak Mandor.
"Terus gimana ...?" tanya Pak Mandor.
"Saya minta tolong diantar lagi ya, Pak .... Ini sekalian pulang mengambil uang, terus nanti ke sini lagi untuk membayar rumah ini." kata Podin pada Pak Mandor.
"Maaf, Pak .... Ini kan uangnya sangat banyak, tidak mungkin Bapak membawa uang itu kemari dan membayar di sini .... Saya pun tidak berani menyimpan uang sebanyak ini, Pak .... Di tempat ini riskan, ya kalau dicuri orang masih bisa dikejar satpam ..., kalau yang nyuri tuyul? Itu loh, Pak ..., saya kan bisa mengganti uang sebanyak itu .... Terus mau jualan apa saya, Pak?" begitu sahut perempuan yang ada di kantor pemasaran itu.
"Lah ..., terus bagaimana? tanya Podin.
"Bagaimana kalau sebaiknya kita pergi ke bank? Jadi nanti pembayarannya bisa dilaksanakan di bank .... Kita sama-sama aman, Pak .... Tidak beresiko." begitu kata perempuan itu yang menawarkan mengajak Podin untuk membayarnya di bank.
"Lah, caranya bagaimana? Saya kan belum pernah ke bank?" begitu sahut Podin yang tentu bingung karena dia belum pernah tahu seluk beluk tentang perbankan.
"Begini saja, ini Pak ..., nanti Bapak bawa uang ke bank, terus nanti langsung dimasukkan ke rekening perusahaan kami." begitu kata perempuan pegawai pemasaran itu.
"Rekening ...? Apalagi itu rekening? Saya kan tidak tahu itu." sahut Podin yang memang tidak tahu sama sekali tentang dunia perbankan.
"Sudah begini saja ..., kamu saya antar pulang mengambil uang, terus nanti uang kamu itu dibawa ke bank. Kita ketemu dengan mbak-e ini di bank. Terus nanti langsung diatur oleh si mbak pegawai pemasaran ini. Nah ..., nanti di sana kamu udah langsung membayarkan uangnya itu diserahkan di sana. Begitu, Din ...." kata Pak Mandor yang memberitahu Podin.
"Ooo .... Ya ..., ya ..., ya ..., ya .... Saya setuju. Saya mau, Pak ...." jawab Podin.
"Jadi ..., nanti kita ketemuan di bank. Bapak diantar Pak Mandor membawa uang ke bank. Saya nanti bersama dengan pegawai sini, juga ke bank. Kita ketemu di sana. Nah, Bapak nanti langsung menyerahkan uangnya di bank, saya yang akan mengaturnya, Pak. Jadi tidak usah khawatir, Bapak tidak perlu repot-repot. Pokoknya bawa saja uang itu, nanti diserahkan di sana, petugas bank yang akan menghitungnya." kata perempuan pegawai pemasaran perumahan itu.
"Ayo, Pak Mandor, cepat antarkan saya ke rumah untuk mengambil uang. Kita berangkat ke bank sekarang." kata Podin yang tentu tidak sabar ingin segera melunasi tumah itu.
"Silakan, Pak .... Saya juga bersiap untuk berangkat ke bank." sahut perempuan pegawai perumahan itu.
Pak mandor langsung berboncengan dengan Podin, beranjak pulang ke rumah untuk mengambil uang. Tentu dalam perjalanannya, Pak Mandor juga bicara pada Podin.
"Din ..., hidup di perumahan mewah itu harus mempunyai kendaraan. Sebab untuk keluar dari rumah menuju jalan saja, itu cukup jauh. Dan di perumahan itu tidak ada angkutan, tidak ada tukang ojek, karena semuanya yang tinggal di perumahan itu adalah orang-orang kaya yang punya mobil banyak, punya kendaraan, sarana transportasi yang sangat mudah, Din .... Kamu harus beli kendaraan, Din. Itu untuk transportasi kamu mengangkut anak, mengangkut istri, memboncengkan anak, memboncengkan istri. Sebab, Din ..., tinggal di perumahan itu kalau tidak punya kendaraan kamu bisa repot sendiri. Coba bayangkan untuk keluar dari rumah menuju jalan saja itu lumayan jauh loh. Kalau jalan kaki bisa capek deh." begitu kata Pak Mandor yang memberi gambaran kepada Podin.
"Betul Pak, saya itu juga sudah kepikiran mau beli kendaraan .... Tapi ya itu, Pak ..., yang penting bagi saya itu beli rumah dahulu. Nah, setelah beli rumah, nanti saya baru beli kendaraan." jawab Podin pada Pak Mandor.
"Ya sudah.... Nanti habis membayar rumah, kalau masih ada sisa uang, saya sarankan untuk beli motor." kata Pak Mandor yang terus melajukan motornya.
Pak mandor yang mengendarai kendaraannya, berboncengan dengan Podin, menuju rumah Podin. Ia mulai melintasi jalan setapak dari perkampungan, setelah jalan kampung itu selesai. Maklum bahwa rumah Podin itu terletak di pinggiran yang hanya menempati tanah dari milik desa yang tidak boleh dimiliki secara pribadi. Itu hanya kebaikan hati Pak Lurah yang memberikan lahan desa kepada Podin untuk membangun rumahnya sebagai tempat tinggal. Tentu Pak Mandor sangat berhati-hati dalam menyetir kendaraannya, karena sebenarnya yang dilewati bukanlah jalan, melainkan hanya sebuah bekas jalan air kalau musim hujan.
Hingga beberapa saat kemudian, Pak Mandor yang mengendarai kendaraannya berboncengan dengan Podin, sampailah di depan sebuah gubug reot yang memang tidak pantas untuk dihuni oleh manusia, gubug itu hanya pantas untuk digunakan sebagai tempat kandang ternak. Pak Mandor berhenti di depannya.
"Pak Mandor, silahkan masuk ke rumah saya .... Ini gubug yang nanti sebentar lagi akan saya tinggalkan, Pak Mandor ...." begitu kata Podin saat mempersilahkan Pak Mandor untuk masuk ke rumahnya.
"Kita kan buru-buru cepat, Din .... Saya tidak usah masuk, nunggu di luar saja. Kamu cepat-cepat ambil uangnya, kita langsung menuju ke bank. Karena kita sudah ditunggu oleh bagian pemasaran di bank." kata Pak Mandor yang tetap duduk di motornya.
"Ya, Pak Mandor ...." saut Podin yang langsung bergegas masuk, tentu untuk mengambil bungkusan kain yang berisi uang.
Setelah Podin masuk, ada perempuan yang menggendong bayi, keluar dari gubug.
"Oo ..., ada tamu toh ...? Ayo Pak, silakan masuk ...." begitu kata perempuan yang tidak lain adalah istri Podin, yang mempersilahkan masuk Pak Mandor.
"Terima kasih, Bu .... Saya di sini saja, hanya sebentar kok. Ini menunggu Podin untuk cepat-cepat ke bank." begitu saut Pak Mandor yang masih duduk di atas kendaraannya.
"Walah .... Mau ke bank? Mau ngapain, Pak?" tanya perempuan yang masih menggendong bayinya itu sambil meneteki.
Tentu Pak Mandor sebagai seorang laki-laki yang menyaksikan istrinya Podin yang sedang meneteki bayinya itu, langsung menelan ludah. Karena Pak Mandor sudah menyaksikan sesuatu yang indah pada dada wanita itu.
"Ini lho, Bu ..., Podin kan beli rumah baru, sebentar lagi Ibu tidak akan menempati rumah ini. Sebentar lagi Ibu akan pindah ke rumah yang bagus, gedung yang megah. Wah ..., selamat ya, Bu ..., pasti Ibu nanti bersama anak-anak dan suami, akan senang tinggal di gedung itu." kata Pak Mandor yang sambil menelan ludah, karena tergiur dengan bayi yang ******* itu.
"Walah ..., yang bener ini, Pak?" tanya istri Podin.
"Betul, Bu .... Makanya ini saya ke sini mengantar Podin mengambil uang untuk membayarnya di bank." kata Pak Mandor lagi.
"Oh, begitu toh, Pak .... Ya syukurlah, Pak .... Saya juga senang bisa punya rumah yang layak." begitu sahut perempuan yang masih saja memperlihatkan bagian dadanya untuk memberikan susu kepada anaknya.
Sebentar kemudian Podin keluar dengan membawa buntalan kain, lalu dia menghampiri Pak Mandor yang sudah siap.
"Ayo, Pak Mandor, kita berangkat sekarang .... Bu, saya mau ke bank .... Ini saya mau bayar rumah, Bu. Nanti kita akan pindah ke rumah yang baru. Doakan saya cepat selesai ya. Bu ...." begitu kata Podin yang langsung berpamitan pada istrinya, Ia pun langsung membonceng di kendaraan Pak Mandor.
"Iya, Pak .... Hati-hati .... Semoga berhasil ...." begitu sahut istrinya yang melepas kepergian Pak Mandor yang memboncengkan suaminya.
Akhirnya Pak Mandor bersama Podin sudah sampai di depan bank yang telah dijanjikan. Pak Mandor menyandarkan motornya, lantas masuk ke ruang bank itu bersama dengan Podin yang membawa buntalan kain berisi uang. Tentu saat Podin masuk ke bank tersebut, banyak orang yang melihat Podin, semua mata tertuju pada Podin. Tentu karena menyaksikan hal aneh yang dilakukan oleh Podin, yaitu membawa buntalan kain itu masuk ke dalam bank. Buntalan kain yang berisi uang, layaknya seperti orang yang akan melakukan perantauan atau perjalanan jauh dengan membawa bekal pakaian yang dibungkus kain taplak meja yang dipanggul pada pundaknya. Orang-orang merasa aneh menyaksikan Podin yang berkelakuan seperti itu. Tentu karena memang di bank biasanya sangat jarang orang-orang yang membawa uang dalam jumlah besar hanya menggunakan buntalan kain taplak seperti layaknya orang yang akan membawa bekal pergi jauh. Tetapi itulah Podin, orang miskin yang belum pernah membawa uang, apalagi masuk ke dalam sebuah bank.
Namun Podin cuek saja. Begitu juga Pak mandor. Ya, memang seperti itulah kondisinya Podin yang tidak punya pengetahuan, sangat minim pengalaman, bahkan masuk ke bank saja baru pertama kali ini. Kebetulan kali ini dia akan membayar rumah yang oleh pihak pemasaran diminta untuk membawa uangnya ke bank. Tentu untuk membawa uang dalam jumlah banyak, satu-satunya yang paling gampang ya hanya dibungkus kain begitu saja.
"Pak Podin ...., sini ...!" tiba-tiba perempuan yang bekerja di kantor pemasaran Perumahan itu memanggil Podin yang baru saja masuk dengan membawa buntalan kain yang berisi uang. Uang yang hampir satu setengah miliar itu tidak sedikit. Tentu kalau dibungkus dengan kain juga akan kelihatan sangat besar.
"Ya, Mbak ...." saut Pak Mandor yang kemudian mengajak Podin untuk menemui pegawai pemasaran yang sudah datang lebih dulu di Bank itu.
"Pak Podin, sini .... Sekarang kita akan membayarkan uangnya ke bagian kasir Bank." kata perempuan pemasaran itu.
Selanjutnya Podin yang membawa uang itu duduk di samping perempuan pegawai pemasaran itu, tentu diapit oleh Pak Mandor.
"Tunggu sebentar ya, Pak." kata seorang Kasir di bank, perempuan yang cantik juga dengan dandanan khas sebagai seorang pegawai bank.
"Pak Podin .... Silakan kemari." kata kasir yang ada di depannya itu. Lalu kasir itu meminta uangnya, "Mana pak uangnya?" kata kasir itu.
"Ini Mbak." sahut Podin yang menyerahkan buntalan kain taplak yang isinya adalah uang.
Ttentu orang-orang pada tersenyum menyaksikan kejadian itu. Peristiwa yang memang sangat tidak layak untuk dilakukan di sebuah bank besar. Bahkan kasir itu juga tersenyum menerima taplak yang berisi penuh uang.
"Sebentar ya, Pak .... Saya hitung pakai mesin dulu." begitu kata kasir yang sudah menerima buntalan uang dalam kain taplak itu. Tiga orang berdiri di depan kasir menyaksikan kasir yang menghitung uang itu dengan menggunakan mesin.
Memang penataan uang yang dilakukan oleh Podin sudah lumayan, uang Podin itu setiap 100 lembar diikat dengan karet, tetapi penataannya memang tidak seperti yang diharapkan oleh kasir-kasir di bank. Kalau kasir biasanya ditata rapi sesuai dengan ujung-ujung uang itu. Lembaran depan ke depan semua sehingga kelihatan rapi.
Ikat demi ikat uang itu dimasukkan ke dalam mesin penghitung. Tentu kasir yang menghitung uang itu sabar, sambil menata uang yang dibawa Podin yang memang penataannya tidak sebagus yang dilakukan oleh kasir.
"Sabar ya, Pak ...." begitu kata kasir yang masih menghitung uang-uang ikatan yang diserahkan oleh Podin.
"Ya, Mbak." begitu sahut Podin yang tentu sabar menunggu, berdiri bersama Pak mandor dan pegawai dari pemasaran itu di depan meja teller.
Hingga akhirnya, setelah beberapa saat kasir itu menghitung uang yang diserahkan oleh Podin, selesailah sudah sampai angka yang menunjukkan empat belas juta lembar uang ratusan ribu. Satu miliar empat ratus juta rupiah. Uang yang sangat banyak, uang yang sangat besar jumlahnya, sehingga memang cukup lama kasir itu melakukan penghitungan.
"Pak Podin .... Ini uang untuk pembayaran rumahnya sudah saya ambil .... Sudah saya masukkan ke dalam rekening pengembang perumahan. Nah, Pak Podin, ternyata uang yang dibawa oleh Pak Podin yang ada di dalam bungkusan kain taplak ini, masih ada sisa banyak, Pak Podin .... Apa Bapak mau buka rekening sekalian di bank kami ...? begitu kata teller yang menaikkan kain taplak dengan berisi sisa uang milik Podin.
"Rencananya mau buat beli motor lebih dahulu, Mbak ...." jawab Podin.
"O, ya sudah .... Besok nabung di sini ya, Pak ...." sahut kasir itu lagi.
Setelah menyelesaikan pembayarannya di kasir, selanjutnya Podin dan Pak Mandor, diajak bicara oleh Mbak Hanik, bagian pemasaran itu.
"Pak Podin .... Secara legal pembayaran rumah itu sudah selesai. Pak Podin langsung bisa menempati rumah itu ..., monggo kapan silakan saja. Nanti kami hanya minta KTP Pak Podin, untuk administrasi di perumahan. Tetapi untuk kelengkapan berkas legalitas dari pembelian ini, nanti kalau yang mempunyai rumah ini sempat datang ke sini, kami akan melakukan pembuatan surat jual beli di notaris. Pak. Besok kalau pemiliknya sudah siap. Pak Podin akan kami kabari. Pastinya dia nanti akan datang menyerahkan sertifikat dan akta jual beli. Pak Podin tidak usah khawatir, hanya menunggu beberapa waktu. Kita yang akan menyiapkan pembuatan akta jual beli di notaris. Jangan khawatir, Pak ..., notarisnya itu sudah lenggangan dari pihak Perumahan. Jadi Pak Podin tidak perlu repot-repot." begitu kata perempuan pegawai pemasaran tersebut.
"Iya, Mbak .... Terima kasih atas bantuannya ini semua. Nanti sepulang dari sini, rencananya kami akan menempati rumah itu." jawan Podin.
Setelah semuanya beres, Podin kembali berboncengan dengan Pak Mandor. Tentu dengan perasaan senang. Demikian juga Pak Mandor yang pastinya juga senang, karena sudah bisa membantu Podin beli rumah hanya dalam waktu sekejap. Dan pasti, Pak Mandor sudah diberi persen, dua ikat uang berwarna merah yang dilolos dari buntalan kain taplak yang dicangklong oleh Podin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments