Lemas tubuh Podin. Pulang kerja sebagai kuli bangunan, ia berjalan gontai. Enggan rasanya untuk pulang ke rumah. Pasti nanti akan dicegat istrinya di depan pintu, lantas sang istri akan meminta uang. Katanya banyak kebutuhan yang harus segera dibayar. Anaknya yang besar, yang sekolah kelas empat SD sudah terus-terusan menanyakan ongkos piknik. Lantas istrinya juga akan mengatakan kalau beras yang akan dimasak sudah habis. Kalau tidak beli, anak-anak dan dirinya tidak akan makan karena tidak ada nasi. Kalau disuruh hutang lagi ke warung, pasti justru akan dimarah-marahi oleh pemilik warung. Karena hutangnya yang kemarin saja belum dibayar.
Podin memutar otak, memikirkan bagaimana caranya untuk mencari uang agar bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Apakah ia akan menjadi pengemis? Jadi pengemis memang gampang. Tinggal duduk di pinggir jalan sambil menyadongkan tangannya, maka nanti orang-orang yang lewat akan memberikan uang receh kepadanya. Syukur kalau ada dermawan yang baik hati, biasanya akan memberikan jumlah yang berlebih. Enak, tidak capek, tidak lelah, tidak mengeluarkan keringat, uang datang dengan sendirinya. Tetapi mau ditaruh di mana mukanya, jika nanti para tetangganya tahu? Pasti mereka akan mengolok-olok, Podin jadi pengemis. Tentu anak-anak dan istrinya juga akan malu dan diejek oleh teman-temannya. Terutama anaknya yang sudah sekolah, pasti nanti teman-teman di sekolahannya akan membuli, "Anak pengemis ..., aanak pengemis ...." begitu kata teman-temannya. Maka saat anaknya pulang, akan menangis dan melapor pada ibunya, kalau di sekolah sudah diejek oleh teman-temannya, jika dirinya adalah anak pengemis.
Atau alternatif yang kedua, menjadi pencopet. Naik turun bus, berdesak-desakan sama penumpang bus yang penuh sesak, lantas mengambil dompet-dompet para penumpang. Pasti hasilnya lebih besar. Dalam waktu sekejap, akan mendapat uang dalam jumlah banyak. Tetangganya tidak ada yang tahu. Anak-anaknya juga tidak akan dibuli oleh teman-temannya. Tapi kalau sempai tertangkap, bagaimana? Kalau misalnya langsung digebuki ramai-ramai oleh masa, tubuhnya pasti babak belur. Ya kalau cuman babak belur, kalau sampai mati bagaimana? Pasti rahasianya juga akan terbongkar. Bahkan keluarganya akan lebih malu. Tidak hanya malu saja, tetapi juga lebih repot.
Atau jadi pencuri, mengambil barang-barang milik orang kaya? Nanti hasil curiannya dijual ke tukang tadah. Tapi sama saja. Kalau sampai tertangkap, pasti juga akan digebuki warga. Dan kalau sampai dimasukkan ke penjara, tentu lagi-lagi keluarganya yang bertambah repot. Tidak hanya mencemarkan nama baik, tetapi juga akan menyusahkan anak dan istrinya. Siapa yang akan bekerja kalau dirinya sampai dipenjara? Kasihan anak-anaknya. Belum lagi kalau sudah keluar dari penjara, namanya sudah tercemar dan diberi cap, "mantan napi".
"Uuhhh .... Hidup kok susah terus .... Haaaahhhh ....!!!" Podin berteriak keras. Ingin melepas penatnya.
"Ada apa, Den Mas ...? Kok sampai berteriak kencang sekali ...." tiba-tiba ada laki-laki tua yang layak disebut sebagai kakek-kakek, berjalan tertatih dengan menggunakan tongkat di tangan kanannya. Laki-laki ini berpakaian layaknya gembel. Pakaiannya kumuh dan lusuh, bahkan terlihat seperti compang-camping. Kepalanya mengenakan caping keropak dari anyaman daun pandan, seperti bekas miliknya turis yang sudah rusak dan dibuang, lantas diambil oleh kakek itu untuk dikenakan di kepalanya. Di pundak kirinya tercangklong buntalan kain, entah apa isinya, seperti layaknya membawa bungkusan bekal dan pakaian yang digandulkan di pundak.
Podin terkejut ditegur oleh si kakek compang-camping itu. Tidak tahu asal-usulnya dari mana, tiba-tiba saja si kakek itu sudah berada di dekatnya. Mungkin karena pikirannya yang kacau, maka Podin tadi tidak memperhatikan sekitarnya.
"Maaf, Kek .... Hati saya sedang kesal ...." jawab Podin yang merasa bersalah sudah berteriak-teriak, mengganggu orang lain. Padahal menurutnya tadi, jalanan pulang ke rumahnya itu sepi tidak ada orang. Makanya ia melampiaskan kejengkelannya itu dengan berteriak keras.
"Memang ada apa dengan dirimu, kok sampai hatinya kesal ...?" tanya si kakek itu lagi.
"Anu ..., Kek .... menyesali nasib ...." jawab Podin yang tentu malu untuk mengungkapkannya, karena melihat orang tua yang ada di sebelahnya itu terlihat lebih buruk nasibnya jika dibandingkan dengan dirinya. Paling-paling kakek tua itu hanyalah seorang pengemis.
"Nasib apa ...?" tanya si kakek itu lagi.
Sebenarnya Podin tidak sampai hati untuk mengatakannya. Takut akan menyinggung perasaan si kakek itu yang terlihat lebih miskin dari dirinya. Tidak enak untuk mengatakan jika dirinya sebenarnya miskin. Bahkan selama ini teman-temannya kalau didekati sudah langsung pergi meninggalkan dirinya, karena takut akan dihutangi. Tetapi Podin tetap ingin mengatakan, setidaknya bisa curhat. Untuk melepas penat dalam batinnya.
"Nasib hidup kami yang miskin terus-terusan, Kek ...." jawab si Podin, yang tentu juga ingin tahu reaksi kakek itu kalau ia mengatakan miskin. Khawatir menyinggung perasaan kkakek tua yang terlihat lebih menderita dari dirinya.
"Kamu bilang dirimu miskin? Coba lihat pakaianku .... Lebih jelek dari yang kamu kenakan, kan?" kata si kakek itu.
"Betul, Kek .... Tetapi hutang kami sudah sangat banyak .... Anak dan istri saya menunggu di rumah berharap saya pulang membawa uang .... Mereka belum makan seharian, karena tidak ada yang dimasak." jawab Podin yang tentu dengan wajah memelas, mengingat keadaan anak dan istrinya di rumah.
"Kamu itu pemalas .... Tidak rajin .... Makanya miskin ...." kata kakek itu menghantam alasan Podin.
Dalam batin Podin pasti juga mengatakan kalau kakek itu juga pemalas. Buktinya ia compang-camping miskin. Tetapi tentu Podin tidak berani mengatakan begitu.
"Saya sudah kerja banting tulang, Kek .... Saya ini cuman kuli bangunan. Meski kerja keras, bayaran saya ya cuman sedikit .... Makanya kami masih banyak utang untuk kebutuhan hidup keluarga." jawab Podin menjelaskan pekerjaannya.
"Hidup kok dipenuhi hutang .... Sampai seumur hidupmu kalau kamu selalu hutang, ya pasti tidak pernah mengenyam kenikmatan .... Kamu tidak bakal menjadi orang kaya ...." kata si kakek itu yang sudah ngepal Podin.
Dalam batin Podin, bagaimana si kakek itu berkata demikian? Sementara dirinya sendiri saja bukan orang kaya. Sesama miskin kok menceramahi tentang rajin, hidup tanpa hutang, menceritakan menjadi orang kaya. Seakan orang tua itu hanya mengumbar kata-kata kamuflase. Atau mungkin juga menyampaikan luapan kekesalannya selama dirinya hidup miskin. Paling-paling pekerjaannya juga mengemis. Begitu kok bisa menceramahi orang lain. Terlalu. Kalau yang ceramah seperti itu orang kaya, mungkin Podin langsung percaya. Tapi apa artinya kata-kata orang miskin bagi dirinya? Itu namanya "sok". Tapi Podin tetap saja membiarkan orang tua itu bicara menasehati sesukanya.
"Kek ..., jangan menceramahi saya seperti itu .... Kalau Kakek kasihan pada saya, jangan hanya kata-kata nasehat .... Hari ini saya tidak butuh nasehat, tetapi butuh uang .... Saya butuh menghidupi keluarga saya .... Saya butuh uang untuk beli beras, untuk belanja kebutuhan makan, agar istri saya bisa memasak. Agar anak saya tidak kelaparan ...." kata Podin yang sudah bosan mendengar nasehat si kakek itu. Sesama miskin kok menasehati, itu yang ada di benak Podin.
"Ooo .... Jadi kamu ini butuh uang .... Berapa?" tanya si kakek itu yang tentu sangat mengejutkan Podin.
Tentu Podin bingung. Masak kakek tua gembel dengan pakaian compang-camping seperti itu kok menanyai kebutuhan Podin. Antara mau menjawab, dan mau meninggalkan kakek itu, karena matahari sudah turun ke ufuk.
Namun si kakek itu menurunkan buntalan kainnya yang tergantung di pundak kirinya. Lantas membuka buntalannya. Ia mengambil lipatan kain, lantas dibuka. Ternyata dalam lipatan kain yang tersimpan dalam buntalan itu, ada sejumlah uang yang cukup banyak. Kakek tua itu pun mengambil secukupnya. Tanpa dihitung. Lantas diserahkan ke Podin.
"Ini .... Terima saja. Anggap ini pemberian dari saya. Pakailah untuk belanja, agar anakmu bisa makan." kata si kakek sambil memberikan uang ke Podin.
Podin kaget. Ternyata laki-laki tua yang dianggapnya miskin itu punya uang yang sangat banyak. Bahkan kini, Podin sudah diberi uang itu, tanpa dihitung. Dan jumlahnya bagi Podin tentu sangat besar. Belum pernah ia melihat uang lembaran ratusan ribu yang cukup banyak. Setidaknya itu ada satu juta lebih. Dalam hidupnya, baru kali ini tangannya memegang uang sebanyak itu. Bayaran dari hasil kerjanya saja tidak ada separonya. Itu saja masih dipotong kas bon oleh Pak Mandor. Makanya, tangan Podin gemetar menerima uang itu.
"Ini beneran, Kek ...?! Uang ini diberikan ke saya ...?!" Podin yang bingung dan ragu-ragu, tentu ingin kepastiannya.
"Iya, benar .... Pakai saja untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Kalau kurang, kamu bisa menemui saya dan meminta lagi. Akan saya tambahi." kata si kakek itu yang sudah kembali mencangklongkan buntalan kain di pundaknya.
"Yang benar, Kek ...?!" tanya Podin yang langsung hingar bingar mendengar tawaran itu. Pasti nanti kalau ada kekurangan, Podin akan senang menemui kakek itu. Hanya bilang butuh uang, langsung diberi. Enak sekali. Tidak susah-susah bekerja, tidak perlu capek-capek, tidak usah mengeluarkan keringat, ada kakek yang baik hati siap memberi uang. Pasti semua hutang-hutangnya dan hutang istrinya di warung-warung akan terlunasi semuanya.
"Iya .... Itu kalau kamu mau ...." kata laki-laki tua itu, yang sudah menapakkan tongkatnya, bersiap akan melanjutkan perjalanannya. Mau pulang.
"Terus ..., saya harus menemui Kakek di mana? Tempat tinggal Kakek ada di mana?" tanya Podin yang tentu sangat senang, dan akan selalu datang ke rumah si kakek itu untuk meminta uang jika ada kebutuhan.
"Kamu tinggal berjalan saja mengikuti jalan ini .... Terus saja ke arah selatan. Nanti di tepi pantai ada gubug kecil menyendiri. Di situ kamu bisa bertanya kepada nelayan. Nelayan dengan perahu kecil yang berada di gubug itu yang akan mengantarkan dirimu menemui saya." kata si kakek itu yang sudah berjalan cepat.
Tentu sangat aneh, tangannya saja memegang tongkat penyangga jalannya, tetapi laki-laki tua itu bisa berjalan lebih cepat dari orang biasa. Bahkan seperti setengah berlari. Hingga akhirnya laki-laki tua itu sudah hilang dari pandangan mata Podin. Maklum, hari sudah mulai gelap.
Dengan girang, dan tentu hatinya sangat senang, Podin pulang menuju rumahnya. Di tangannya sudah menggenggam uang. Istrinya pasti akan menyambut dengan senyum gembira. Bisa membayar hutang ke tetangga, di warung-warung, dan bisa berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Podin melangkah pasti menuju rumahnya.
"Buk ...!! Bukakan pintunya ...!" teriak Podin dari luar rumah, yang gelap dan cukup jauh dari para tetangga.
"Iya .... Sebentar ...." suara istrinya terdengar bergegas melangkah untuk membuka pintu dari papan itu.
"Bapak pulang ...!" kata anak-anaknya yang juga terdengar di telinga Podin. Hatinya ayem, mendengar suara anak-anaknya. Pertanda mereka sehat semua.
"Kok sampai malam, Pak ...?!" sambut istrinya saat membuka pintu.
"Ya .... Kan harus cari uang ...." sahut Podin agak santai. Tentu karena ia sudah membawa banyak uang.
"Mana uangnya ...? Dapat apa tidak ...?" tanya istrinya yang tentu langsung meminta. Istri Podin sebenarnya bukan perempuan mata duwitan, tetapi karena kebutuhan keluarga saja yang menuntut ia selalu meminta uang kepada suaminya.
"Ini .... Semoga cukup ...." kata Podin menyerahkan uang kepada istrinya.
"Ya ampun ..., banyak sekali, Pak ...?!" kata istrinya yang tentu langsung tersenyum girang menerima uang dalam jumlah yang banyak.
"Ya .... Hutang-hutang di warung segera kamu lunasi .... Terus uang untuk membayar piknik anaknya, tolong segera dikasih, biar anaknya tidak ditagih terus oleh gurunya ...." kata Podin yang menyuruh istrinya untuk mengatur uang itu.
"Iya, Pak .... Akan saya hitung .... Saya bagi-bagi dulu ...." kata istrinya yang langsung memilah-pilah uang itu. Tentu dibagi-bagi untuk melunasi hutang-hutangnya di warung-warung tetangganya. Dan juga untuk membayar piknik anaknya di sekolahan.
Podin duduk di kursi yang terbuat dari kayu bekas. Ada di pinggir dipan yang digunakan untuk tidur bersama-sama seluruh keluarga. Dipan dari kayu yang cukup besar, yang dibagian atasnya diberi kasur bekas, punya orang yang sudah tidak terpakai dan dibuang, diambil oleh Podin, kemudian bagian yang bodol ditambal. Ia manfaatkan untuk tidur anak-anaknya. Ada beberapa kasur bekas yang asal ditaruh di atas dipan, agar anaknya bisa tidur nyenyak. Tentu yang bagian anak kecil, baunya pesing karena sering terkena ompol bayinya.
Sambil memegang gelas berisi air bening, ia mengamati tiga anak-anaknya yang sudah pada menggeletak di tempat tidur itu. Tentu dengan pandangan yang terlihat sedih, menyaksikan anak-anaknya yang merana. Sedangkan anaknya yang paling besar, masih duduk di kursi kecil dengan meja pendek yang juga dibuat oleh Podin dari papan-papan bekas sisa bangunan. Anak itu masih belajar dibawah remang lampu yang hanya satu tergantung di tengah rumah. Tidak boleh banyak-banyak, nanti menghabiskan strum. Maklum, listriknya masih menyalur dari tetangganya. Podin nelangsa menyaksikan anaknya yang belajar itu. Kasihan belajar di tempat yang tidak terang.
"Pak ..., tadi Bu Guru menanyakan ongkos wisatanya ...." tiba-tiba anak yang paling besar itu berkata pada bapaknya.
"Iya .... Itu sudah dibawa Ibu. Besok dibayarkan, ya ...." jawab Podin yang kasihan dengan nasib anaknya.
"Ya, Pak .... Terima kasih ...." jawab anaknya, yang tentu senang karena bakalan ikut piknik dengan teman-temannya.
"Tadi kamu nyari kayu bakar?" tanya bapaknya.
"Iya, Pak .... Dapat banyak .... Sama tadi pulang sekolah dikasih orang, suruh ngangkuti kayu-kayu bekas yang tidak terpakai." jawab anaknya yang tentu selalu membantu keluarganya. Anak paling besar harus bisa menjadi contoh adik-adiknya.
"Dibantu adikmu?" tanya bapaknya lagi.
"Iya .... Malah sama Ibuk juga ...." sahut anaknya.
"Ya sudah .... Sana kalau sudah selesai belajarnya, terus tidur." kata Podin yang menyuruh anaknya agar segera tidur.
"Pak ..., uangnya pas .... Pas untuk membayar utang sama membayar piknik si Eko .... Ini ada sisa, pas untuk belanja besok ...." kata Isti pada suaminya.
"Ya ..., disyukuri .... Yang penting bisa untuk makan ...." sahut Podin pada istrinya.
"Tapi yang untuk lusa, kita kan juga butuh uang lagi, untuk belanja ...." kata istrinya yang tentu akan selalu meminta uang pada Podin.
"Semoga besok kita ada rezeki lagi .... Saya akan cari ...." sahut Podin, yang tentu langsung teringat si kakek baik yang tadi sudah memberikan uang kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments
Kardi Kardi
hmmm. sepertinya sedang di ulur-ulur sesuatuuu...
2024-05-13
1
Wiwik Astuti
okeyyyy
2024-04-14
1