Hari memang belum pagi. Matahari masih jauh dari terbitnya. Namun Podin tetap ingin segera pulang, tentu ingin melihat harta karun yang dibawanya. Ya, niatnya Podin ingin membuka dan menghitung harta karun itu bersama dengan istrinya di dalam kamar yang tertutup. Dan nantinya, pasti akan disimpan ke dalam lemari yang selalu terkunci.
Setelah keluar dari pulau itu, dan sampai di daratan, Podin yang mengangkat peti harta karun itu dengan jalan tertatih-tatih, karena saking beratnya. Ia pun langsung menuju ke tepi pantai, untuk mengambil sepeda motornya yang ia parkirkan di tepi jalan pinggir parit. Lantas peti harta karun itu dinaikkan di atas motornya. Tentu amat susah, karena berat dan besarnya peti harta karun itu, yang memang sulit untuk ditaruh di kendaraan bagian depan. Akhirnya Podin meletakkan peti harta karun itu pada jok belakangnya, seperti halnya diboncengkan. Namun tentu, karena peti harta karun yang dibawanya itu cukup besar dan berat. Maka Podin harus memegangi peti itu secara kuat. Namun tentunya juga repot, karena jalan yang dilintasinya adalah jalan sempit yang berbatu, sehingga sulit untuk dilalui kendaraan bermotor.
Saking susahnya untuk memegangi peti yang ada di boncengan belakang, bahkan peti itu hampir terjatuh, maka Podin akhirnya harus berhenti sejenak, guna mencari tali untuk mengikat peti itu. Tentu di hari yang masih gelap, akan susah untuk mendapkan tali yang akan digunakan untuk mengikat petinya. Dan akhirnya, Podin dapat ide. Dia melihat pohon pisang, lantas ia mengambil beberapa helai pelepah batang pisang itu, kemudian digunakan untuk mengikat peti yang ada di boncengan motornya itu.
Bahkan Podin juga mengambil daun pisang itu, yang digunakan untuk membungkus, menutupi petinya, agar tidak terlihat oleh orang lain. Ia khawatir, jika peti yang bentuknya aneh itu dilihat oleh orang-orang, pasti yang melihatnya akan curiga dan bertanya-tanya. Pasti, karena wujudnya memang seperti layaknya penti harta karun yang dilihat orang dalam gambar cerita atau filem Aladin atau Alibaba pada zaman kuno. Akhirnya Podin mengambil daun pisang dan menutupkannya pada peti itu. Peti itu pun terbungkus rapat oleh daun pisang yang sudah diikat dengan jok motornya di bagian belakang.
Kini, Podin leluasa untuk mengendarai motornya. Petinya terbungkus rapat, dan yang jelas sudah terikat kuat. Sehingga Podin bisa menjalankan kendaraannya, berjalan leluasa dalam melintasi jalan raya. Podin pun bisa mengendarai dengan cepat. Tentunya ia harus ngebut, karena ingin segera sampai di rumahnya. Setidaknya ia bisa mencapai rumahnya saat masih pagi buta. Podin pun terus mempercepat laju kendaraannya agar segera sampai di rumah.
Namun, meski motor yang dikendarai oleh Podin sudah berjalan cepat, hitungan waktu tempuh adalah jarak dibagi oleh kecepatan. Walau Podin sudah cukup cepat untuk mengendarai motornya, namun karena jaraknya yang teramat jauh, waktu yang dibutuhkan pun juga cukup lama. Hari sudah terang bendarang. Bahkan sudah lumayan siang, ketika Podin masuk melewati gerbang penjagaan perumahan mewah itu.
"Selamat Pagi, Pak Podin .... Dari mana, Pak ..., pagi-pagi sudah bawa barang sebanyak ini ...?" tanya satpam yang berjaga di pos masuk itu.
"Pulang kerja .... Jatahnya lembur ...." jawab Podin yang terlihat lusuh karena kurang tidur.
"Bawa apa, Pak Podin ...?! Kok kelihatan berat, begitu ...?" teriak satpam yang satunya lagi, yang tentu ingin tahu dengan apa yang dibawa oleh Podin.
"Biasa ..... Ini pekerjaan, untuk bekerja lembur di rumah ...." jawab Podin yang tentu juga khawatir kalau peti yang di bawahnya itu diketahui oleh satpam yang sedang berjaga. Syukurlah, tanpa melihat dan tidak menanyai lagi, satpam itu langsung membukakan pintu, dan langsung saja mempersilahkan Podin untuk masuk. Tentu karena si pegawai satpam yang menjaga Perumahan itu sudah hafal dengan Podin. Podin pun langsung cepat-cepat masuk agar petinya tidak dilihat.
"Bu ...!! .... Ibuk ...!! Isti ...!!"
Sesampai di rumah, Podin berteriak memanggil istrinya, karena pintu rumahnya terkunci. Pasti istrinya ada di dalam rumah. Paling-paling sedang nonton TV. Dua anaknya yang besar tentu sudah berangkat sekolah. Maka kalau harus ngurusi anak-anaknya yang kecil, paling gampang distelkan TV, terus diajak nonton TV.
"Bu ...!! Ibu ...!! Isti ...!! Isti ...!!" Podin kembali memanggil istrinya, tentu sambil mengetuk-ketuk pintunya. Namun untuk beberapa saat, ternyata istrinya juga tidak keluar rumah.
Kemudian Podin mencoba membuka pintu garasi yang ada di samping teras. Ternyata pintu garasinya tidak terkunci. Podin langsung membuka garasi itu, kemudian motor yang memboncengkan peti harta karun itu langsung dimasukkan ke dalam garasi rumahnya. Tentu Podin pun langsung menutup rapat-rapat pintu garasi itu. Yah, agar barang yang ada dalam boncengan itu aman, tidak terlihat oleh tetangganya.
Selanjutnya dari ruang garasi yang memang hanya untuk menaruh motor dan mobil, Podin menuju ke ruang tengah. Kebetulan ruang penghubung itu tidak terkunci. Selanjutnya, Podin masuk ke dalam ruang rumahnya. Tentu sambil mengangkat peti harta karun yang dibawanya dari tempatnya meminta kekayaan kepada kakek tua di Pulau Berhala. Ya, ia mendapati istrinya sedang menangis. Bahkan dua anaknya yang kecil-kecil juga ikut menangis, karena takut dengan ibunya yang menangis. Tentu suara tangis istri dan anak-anaknya itu tidak terdengar dari luar. Karena saking besarnya rumah Podin. Apalagi suara tangis itu juga kalah dengan suara TV yang cukup keras.
Podin tetap berlalu melintasi istrinya yang masih menangis sesenggukan. Ia membawa benda berat berisi harta karun itu masuk ke dalam kamarnya. Lantas Podin memasukkan peti harta karun itu ke dalam lemari khusus miliknya. Selanjutnya lemari itu dikunci rapat. Tentu agar tidak ada orang yang bisa membukanya. Setelah itu, Podin masuk kamar mandi. Ia mencuci tangan yang semalam terumuri darah dan juga kakinya yang ternyata juga terkena darah. Mungkin saat ia menendang kepala manusia yang menggelinding ke kakinya semalam. Setelah terlihat bersih, barulah ia keluar menemui istrinya yang masih saja menangis.
"Ada apa, Bu ...?! Pagi-pagi kok nangis ...?" tentu Podin bingung melihat istri dan anaknya yang menangis itu.
"Oalah, Pak .... Bapak itu dari mana saja ...?! Ditelepon tidak bisa .... Dicari tidak ketemu .... Tidak tahu orang sedang kesusahan .... Tidak tahu anaknya mengalami kecelakaan, lah kok malah pergi tidak pamit, sekarang datang malah kayak begitu ...." kata Isti yang tentu bingung untuk menyampaikan kabar berita dari sekolahan.
"Maksudnya Ibu itu bagaimana ...? Kesusahan apa ...? Siapa yang kecelakaan ...?" tanya Podin yang tentu juga bingung mendengar kata-kata istrinya.
"Pak .... Tadi saya dihubungi gurunya Eko .... Katanya Eko mengalami kecelakaan di depan sekolahannya .... Huuhuhuuu ...." kata Isti yang langsung mengeras suara tangisnya.
"Hah ...?! Kecelakaan ...?!" Podin baru sadar kata-kata istrinya yang sambil menangis itu. Tentu ia kaget saat mendengar kata-kata istrinya yang menyatakan kalau anaknya yang paling besar mengalami kecelakaan.
"Iya, Pak .... Gurunya Eko yang menelepon .... Tadi saya telepon Bapak berkali-kali ..., tetapi tidak aktif .... Teleponnya tidak bisa dihubungi, tidak pernah diangkat .... Kita ini sedang dapat musibah, Pak .... Lah, kok ditelepon saja tidak bisa, ditelepon tidak diangkat toh, Pak .... Bapak itu bagaimana toh, Pak ...?? Kita harus bagaimana, Pak ...??? Huhuhuhu ...." kata Isti yang tentu sangat bersedih mendengar berita itu dari gurunya.
"Maaf, Bu .... HP-nya saya jual .... Habis, saya sudah tidak punya uang lagi ...." sahut Podin yang langsung menunduk karena merasa bersalah.
"Ya ampun Pak ... Bapak itu bagaimana? Ayo ..., sekarang kita berangkat ke sekolahannya Eko .... Kita tengok anak kita, bagaimana keadaannya ...!" kata Isti yang tentu menyuruh suaminya segera bergegas berangkat ke sekolahan.
"Ya ..., ayo, Bu ...." sahut Podin yang langsung bersiap berangkat.
Namun, baru saja Podin mengeluarkan motornya, akan menyusul anaknya yang katanya mengalami kecelakaan di sekolahan, Isti juga sedang menutup pintu rumahnya, akan membonceng Podin. Tiba-tiba ada petugas satpam yang naik motor, beriringan dengan motor satu lagi yang dikendarai oleh petugas polisi. Polisi itu memboncengkan Dewi, anak Podin yang nomor dua, yang bersekolah satu sekolahan dengan kakaknya, dan satu lagi seorang laki-laki, gurunya Dewi.
"Pak Podin ..., ini ada tamu dari kepolisian bersama Pag Guru, mengantarkan Dewi pulang ...." kata satpam yang mengantarkannya.
"Oh, ya .... Terima kasih ...." sahut Podin yang akhirnya meletakkan motornya lagi, tidak jadi berangkat. Demikian juga Isti, yang kembali membuka pintu rumahnya.
"Mari, Pak ..., Pak Polisi dan Pak Guru .... Silahkan masuk ...." kata Podin menyambut dua orang yang datang mengantarkan Dewi itu. Tetapi perasaan Podin tetap tidak enak, karena istrinya sudah mengatakan kalau Eko yang mengalami kecelakaan. Tetapi kenapa yang diantarkan pulang justru Dewi?
Dewi yang turun dari motor, langsung berlari masuk ke rumah. Ia langsung memeluk ibunya sambil menangis sejadi-jadinya.
"Ada apa, Sayang ....??" tanya ibunya yang tentu merasakan kesedihan anaknya.
"Mas Eko, Bu .... Hua .., hua ... hu ...hu ...." Dewi tidak sanggup bercerita.
"Maaf, Pak Podin .... Kedatangan kami bersama Pak Guru ini mau menyampaikan berita ...." kata polisi itu yang sudah duduk bersama di ruang tamu.
"Kabar tentang anak saya yang kecelakaan, ya, Pak .... Ini tadi saya sedang mau berangkat ke sekolahan, Pak ...." kata Podin yang memotong pembicaraan polisi itu.
"Betul, Pak .... Mungkin tadi pihak sekolahan sudah menelepon keluarga. Perlu kami sampaikan, Pak .... Putra Bapak mengalami kecelakaan di depan sekolahan saat menyeberang jalan .... Eko tertabrak truk, Pak .... Sekarang masih sedang visum di rumah sakit ...." kata polisi itu lagi.
"Terus ..., anak saya bagaimana, Pak ...??? Ayo kita segera ke rumah sakit .... Saya ingin tahu keadaan anak saya, Pak ...!" kata Podin yang tentu sangat ketakutan dengan nasib anaknya.
"Yang sabar, Pak .... Mohon Bapak Podin tabah .... Eko, putra Bapak Podin sudah meninggal ...." kata petugas kepolisian itu.
"Hah ...??!! Eko ..........!!!" Podin menjerit histeris, meratapi nasip anaknya.
*******
Menilik peristiwa kecelakaan yang terjadi di depan sekolahan. Sebenarnya, pagi itu saat Eko bersama Dewi berangkat sekolah, mereka naik angkutan dari jalan di depan perumahan menuju sekolahannya. Karena bapaknya, yaitu Podin, yang biasanya mengantar kedua anaknya itu, semalaman hingga pagi tidak pulang. Maka ibunya langsung menyuruh anak-anaknya untuk naik angkot saja. Ya, tentu agar anaknya tidak terlambat.
Saat Eko dan Dewi, dua anak ini turun dari angkutan kota, tentu mereka harus menyeberang jalan untuk masuk ke sekolahannya. Maka setelah turun, kemudian mereka berdua langsung menyeberang jalan. Namun tiba-tiba saja, ada sebuah truk yang datang dari arah berlawanan. Dan truk itu melaju sangat cepat. Mungkin tanpa diketahui oleh Eko maupun Dewi. Mungkin juga sang sopir tidak melihat ketika ada dua anak yang menyeberang jalan. Truk yang melaju sangat cepat itu langsung menabrak dan melindas Eko.
"Braakh .....!"
Eko yang tidak bisa menghindarkan diri, kemudian terlindas di jalan, tepat di depan gerbang sekolahan. Dan truk yang menabrak Eko tersebut langsung bablas melarikan diri. Tentu seketika itu orang-orang yang ada di situ dan melihat peristiwa itu langsung pada berteriak.
”Awas... !!”
”Hoei....!!”
"Ada kecelakaan ...!! Ada kecelakaan....!!!”
”Walah.... ada kecelakaan...!?"
"Di mana... ?"
"Di depan sekolahan.... "
"Siapa....?"
"Anak sekolah.... Murid SD...."
Tentu, pagi itu suasana di depan sekolahan langsung ramai. Semua orang kaget, semua orang langsung berhamburan keluar. Tidak hanya masyarakat di sekitar situ, tetapi juga murid-murid SD dan para gurunya. Semuanya keluar, menyaksikan peristiwa kecelakaan itu. Dan pastinya ingin menolong anak yang mengalami kecelakaan, Eko yang terlindas oleh truk.
Dewi, adiknya Eko yang kala itu menyeberang bersamaan, langsung menjerit histeris, menangis sejadi-jadinya bahkan sampai gulung Komeng di jalanan. Tentu saking kagetnya dan meratapi nasib kakaknya yang tertabrak truk.
"Ayo ditolong ...!!"
"Cepetan .... Ini darahnya berhamburan ...."
"We ..., lha dalah .... Ambil koran ...!!!"
"Bagaimana ...?!"
"Korbanya meninggal ...!"
"Tutupi koran ...!!"
"Inalillahi ...."
"Waduh .... Siapa itu ...?"
"Eko, Bu ...!"
"Kakaknya Dewi ...."
Beberapa guru perempuan langsung mendekap Dewi yang menangis histeris itu. Lantas kepala sekolah langsung menelepon pihak kepolisian, melaporkan ada kecelakaan di depan sekolahnya, dan memakan korban murid dari sekolah itu. Banyak orang yang menjerit, termasuk guru-guru juga menjerit, bahkan guru-guru perempuan pada menangis, karena saking ngerinya menyaksikan keadaan kecelakaan pagi itu yang menimpa muridnya. Darah yang menggenang tepat di depan gerbang sekolahan, sudah terlihat mengerikan. Apalagi ketika menyaksikan tubuh Eko yang terlindas truk itu, memang benar-benar sangat mengerikan, karena kepala Eko yang terlindas truk itu sudah hilang dari tubuhnya, dan tidak ada di tempat itu.
Gurunya Eko, guru kelas empat, langsung menelepon keluarganya. Tentu yang ditelepon pertama kali adalah bapaknya. Namun berkali-kali dihubungi, teleponnya tidak aktif. Maka guru itu menanya kepada Dewi, nomor telepon yang ada di rumahnya. Oleh Dewi diberikanlah nomor HP milik ibunya. Lantas guru itu pun menelepon ibunya, dan tentu hanya menyampaikan kalau anaknya mengalami kecelakaan di depan sekolahan. Tidak berani menyampaikan kalau anaknya sudah meninggal. Tentu agar ibunya tidak terlalu panik.
Sebentar kemudian, petugas kepolisian datang untuk menangani kecelakaan itu. Mereka langsung membuka koran yang digunakan untuk menutup tubuh korban. Dan setelah membuka sebentar, ia menutupnya kembali. Pastinya polisi-polisi yang datang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini sebuah kecelakaan yang sangat tragis.
"Kepalanya di mana ...?" tanya polisi itu kepada warga yang berani mendekat.
"Sudah dicari, tetapi tidak ketemu, Pak ...." jawab warga yang sudah menolong dengan menutupkan koran tadi.
"Minta bantuan untuk mencari kepalanya, ya ...." kata petugas kepolisian iyu yang tentu tengak-tengok mencari kepala korban yang sudah tidak ada lagi.
"Yang nabrak mobil apa ...?" tanya petugas yang satunya.
"Truk, Pak .... Langsung tancap gas, melarikan diri ...." sahut orang-orang yang ada di situ.
"Tahu ciri-cirinya ...?" tanya petugas itu lagi.
"Truk disel, depannya warna hijau ada gambar ular yang melilit di tubuh wanita, seperti penari ular .... Belakangnya warna biru gelap, tetapi ada semacam lukisan kobaran api dari belakang kepala hingga pintu belakang bak truk itu.
"Di pintu belakang bak truk itu ada gambarnya tengkorak-tengkorak manusia, Pak ....Banyak tengkoraknya ...." tambah yang lain, yang tadi sempat melihat truk yang melaju kencang itu.
"Ada yang tahu plat nomornya ...?" tanya petugas itu lagi.
"Walah .... Tidak tahu, Pak .... Truk itu melaju kencang sekali ...." sahut yang lainnya.
"Sopirnya aneh, Pak .... Kayak orang yang berpakaian di goa hantu yang ada di pasar malam itu ...." yang lain juga menambahkan.
"Ya, betul .... Sopirnya mirip hantu .... Rambutnya gondrong acak-acakan, pakai pakaian putih kayak kuntil anak, dan wajahnya serem ...." timpal yang lain lagi.
"Jangan-jangan karyawan pasar malam yang kesiangan ...?!"
"Ya ..., mungkin penjaga goa hantu yang belum sempat ganti baju ...."
"Wuiiiingngng .... Uwing .... uwing .... uwing ....!!"
Kini mobil ambulans yang datang. Dengan sigap petugasnya langsung mengangkut orang yang mengalami kecelakaan. Namun sesaat kemudian berhenti, karena kepala korban hilang dan belum ketemu.
"Bagaimana ini, Pak ...?" tanya petugas lakalantas.
"Kepalanya hilang .... Katanya sudah pada mencari, tetapi belum ketemu ...." sahut polisi yang datang pertama.
"Tapi kita tidak bisa lama .... Toh korban jelas sudah meninggal ...." kata petugas yang akan mengangkutnya.
"Apa kita angkut saja ...?"
"Ya .... Lebih cepat lebih baik ...."
"Bapak ..., Ibu ..., saudara semuanya .... Mohon maaf, ini korban akan dibawa ke rumah sakit. Tanpa kepala .... Jika nanti atau kapan, ada yang menemukan kepalanya, tolong langsung menghubungi atau lapor ke kami." kata petugas dari kepolisian itu kepada orang-orang yang masih mengerumuni tempat itu.
"Siap, Pak ...." sahut orang-orang yang ada di situ.
Hari itu, Eko, anak pertamanya Podin, sudah mengalami kecelakaan, ditabrak truk dengan sopir mirip hantu, serta bak truk yang bergambar menyeramkan. Dan kepalanya Eko hilang tidak diketemukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments